6. Kasus yang Pelik

80 17 3
                                    

"Pulang sendirian, Kak?" tanya Nena. Dia membawa satu panci berisi mie instan yang mengepul.

Ah, di cuacanya yang dingin seperti ini memang cocok menyantap mie kuah yang hangat. Namun apa boleh buat, ayam penyet telah memenuhi lambungku.

"Kak Jihan mana pernah pulang sendirian," celetuk Lia. Dia membawa mangkuk ke ruang tengah. "Kak, ayo sini ikut makan."

Apa boleh buat? Mana bisa aku menahan godaan aroma mie instan. Bahkan orang Mesir sekalipun tergoda dengan kenimatan Indomie. Terbukti dengan iklan mie kebanggaan Indonesia yang terpampang di setiap sudut stasiun metro.

"Temen-temen aku pada banyak yang ngomongin Kak Ghibran lho. Tapi langsung ciut, karena lihat dia ke mana-mana sama Kakak. Apalagi ada Kak Siera yang cakepnya naudzubillah." Nena terkikik sembari mengikat rambutnya supaya tidak terkena cipratan kuah mie.

Nena dan Lia satu tingkat di bawahku. Makanya aku jarang pergi bersama mereka. Hanya kebetulan jika jadwal kepergian dan tujuannya sama, kami akan berjalan bertiga.

"Apaan sih kalian? Belajar. Bentar lagi ujian. Masih dua tahun lagi lho kalian lulusnya. Kecuali kalian mau nikah sebelum lulus," ujarku.

"Masih ada sebulan ujiannya, Kak. Kalau yang ngelamar modelnya kayak Kak Ghibran, aku rela nikah sebelum lulus," sahut Nena lagi dan Lia menjulurkan tanggannya untuk menoyor kepala temannya.

"Sebulan juga enggak kerasa. Belajar di Azhar justru persiapannya lebih jauh lagi. Oh iya. Aku tadi ketemu sama Mbak Midah. Dia pindah dan katanya mau pulang ke Indonesia," ucapku.

"Beneran, Kak? Aku malah belum ketemu Mbak Midah semenjak kejadian Ningsih itu. Sumpah, aku suka mimpi buruk sejak ngelihat Ningsih ...." Lia menutup wajahnya, lalu menggelengkan kepalanya.

"Sama. Aku juga," sahut Nena. "Tadi aku ketemu Baba Sheriff. Dia cerita, katanya dia berencana mau nyewain apartemen yang ditempati Ningsih ke laki-laki. Dia enggak mau kasus Ningsih terulang kembali. Meskipun pelakunya udah ketangkap, tapi ngeri aja gitu."

Aku hanya bisa terdiam. Tidak, aku tidak boleh menceritakan kasus Ningsih kepada mereka. Lagipula Ghibran mendapatkan info ini eksklusif dari Mikail, Ketua PPMI. Mikail dekat dengan Ghibran. Tak ayal keduanya populer di antara masisir. Satunya menjabat sebagai Ketua Presiden PPMI. Lalu satunya lagi Pemimpin Redaksi majalah paling bergengsi.

Alasan lainnya, aku takut kalau Nena dan Lia memutuskan untuk pindah apartemen saat mengetahui bahwa orang Afrika itu sewaktu-waktu bisa dibebaskan jika terbukti tidak bersalah. Mereka pasti akan paranoid.

Bisa-bisa tidak ada yang ingin menghuni apartemen ini. Lebih parahnya, Kak Ratna yang sedang di Indonesia mengetahui berita ini. Dia pasti langsung memutuskan untuk hengkang dari apartemen.

"Temen-temen di kelasku juga pada nanya terus ke aku. 'Kalian enggak takut tinggal di sana?'" keluh Nena.

"Tapi InsyaAllah enggak kenapa-napa kok. Pelakunya udah ditangkap. Terus ada Baba Sheriff kalau kita minta bantuan. Ya kan, Kak?" Lia menelengkan kepalanya ke arahku.

Aku seketika tersadar dari lamunanku dan segera menganggukkan kepala. "Iya, jangan khawatir. InsyaAllah kita enggak kenapa-napa."

Bohong banget kamu, Jihan! Tapi mau bagaimana lagi? Aku sebagai orang tertua di apartemen ini menggantikan Kak Ratna, harus bisa menenangkan mereka, bukan?

Di dalam kepalaku banyak sekali pikiran yang menggelayut. Ah, aku teringat dengan pesan dari Ghibran. Kenapa dia mengirim pesan seperti itu? Jangan-jangan Mbak Midah menceritakan sesuatu kepada Ghibran. Apa aku telepon saja Mbak Midah?

Namun sebelum menuju kamar, aku teringat sesuatu. "Nena, Lia. Tadi Baba Sheriff ngasih aku kunci gerbang. Mulai besok gerbang ditutup setelah jam sebelas. Jadi nanti kalian duplikat kunci ini pas pulang kuliah ya."

Apartemen Sebelas (Proses Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang