31. Teror Bertubi-tubi

49 16 3
                                    

Ting, tong!

"Ra, beneran teman-teman kamu pada ke wisma?" bisikku.

Siera mengangguk. Kami saling berpandangan hingga aku berinisiatif untuk mengambil kursi kecil di dapur. Lalu meletakkannya di depan pintu. Saat aku melihat pemandangan luar lewat lubang pintu, seketika bulu kudukku meremang. Baba Sheriff berdiri tepat di depan pintu.

Kemudian tiba-tiba, pandanganku dipenuhi oleh bulatan bola mata cokelatnya.

"Saya tahu kalau kamu ngelihat dari lubang pintu. Memang selama ini saya tidak tahu?" Samar-samar suara berat Baba Sheriff terdengar dari balik pintu. Posisi kami yang saling menempel dengan pintu membuatku bisa mendengarnya.

Dasar Jihan bodoh! Selama ini aku selalu mengintip balik lewat lubang pintu. Aku mengira bahwa hanya orang dari dalam yang bisa melihat keluar.

Tubuhku semakin menegang kala terdengar suara hantaman pada pintu. Terkadang terdengar seperti pintu digaruk dengan sesuatu yang tajam berkali-kali. Lalu suara bel ditekan terus menerus hingga terasa memekakkan telinga kami.

Siera menarik tanganku hingga hampir saja aku ambruk dari atas kursi kecil. Dia menarikku paksa menuju kamarnya yang berada di samping dapur.

Wajahnya Siera sudah seputih kapas. Aku bisa merasakan tubuhnya bergetar hebat dari tangannya yang tanpa sadar masih menggenggamku dengan erat.

Lalu Siera lekas merogoh sakunya dan menekan tombol pada ponselnya. Selama menunggu panggilannya terjawab, Siera berkali-kali menggumamkan, "ayo, diangkat."

"Halo, Bran." Oh, ternyata dia menelepon Ghibran. "Hah? Bukannya kamu lagi di Asrama Bu'uts? Kok bisa di KBRI?"

"Si Baba itu ngikutin aku ternyata. Sekarang lagi neror di depan pintu apartemen," kata Siera lagi.

"Ghibran mau ke sini. Dia dari Asrama Bu'uts ke KBRI buat ngelaporin kasus ini. Dia juga bakal nelepon Ketua DKKM," ucap Siera ketika menutup panggilan tersebut.

"Ra, emang tetangga enggak pada keluar ngedenger itu bel dibunyiin terus? Kali aja ada yang mau nolongin kita," cetusku.

"Han, aku aja bahkan jarang ketemu sama orang depan apartemen. Kadang ketemu orang di tangga, tapi enggak tahu dia tinggal di apartemen nomer berapa. Rata-rata begitu. Kita tinggal di kota. Bukan di desa yang saling peduli. Kira-kira kalau kita di posisi mereka, ngelihat ada orang gila neror tetangga kita, apalagi sampe bawa senjata tajam, kita mau mengambil risiko dengan keluar apartemen?" Siera menatapku.

Aku menggaruk kepalaku. "Memangnya dia bawa pisau?"

"Dari suara tadi, aku yakin itu kalau enggak pisau, ya senjata tajam lainnya," ujar Siera.

Lalu aku teringat pada kejadian jasad Ningsih yang hanya ditutupi kardus. Tidak ada yang menelepon ambulans, kecuali Baba Sheriff. Ternyata pria laknat itu sengaja tampil peduli untuk menutupi kebusukannya. Lalu peristiwa nahas yang menimpa Mbak Midah. Aku dan Ghibran yang mengurusnya, bukan orang Mesir yang menemukannya pertama kali.

Akan tetapi, ada yang peduli. Zain dan Bron. Namun Zain sendiri akhirnya sadar akan bahaya yang mengintai, dan dia menarik diri untuk tidak berurusan dengan Bron yang sudah diincar oleh Baba Sheriff. Ah, tapi aku jadi teringat pengkhianatan yang dilakukan oleh Balsam. Rasanya ingin aku mencabik-cabik wajahnya.

Namun aku segera tersadar oleh lamunanku saat Siera membuka pintu kamar. Aku membuntutinya dari belakang. Terdengar sangat jelas suara hantaman yang berasal dari pintu depan. Tanpa sadar, kedua mata Siera meneteskan air dan tubuhnya melorot ke bawah saat bersandar kepada dinding.

Dadaku terasa nyeri. Aku telah membuat semua temanku dalam bahaya. Lalu teringat butuh waktu lama untuk menunggu Ghibran datang dari KBRI di Tahrir. Belum lagi kami tidak tahu bahwa Ketua DKKM akan datang atau tidak.

Apartemen Sebelas (Proses Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang