10. Korban Tabrak Lari

72 15 9
                                    

"Makasih buat traktirannya ya. Jangan sering-sering. Nanti kamu bangkrut," kataku sembari terkekeh.

"Santai. Terus gimana? Jadi mau ke apartemennya Mbak Midah?" tanya Ghibran.

Aku terdiam. "Enggak usah deh."

Ghibran mengembuskan napas. "Beneran? Kamu bukannya ngambek, kan?"

"Ih, siapa yang ngambek?"

"Kamu kan suka gitu. Waktu aku sama Siera yang enggak bisa nemenin kamu ambil uang bulanan dari KBRI, kamu bilang enggak apa-apa. Tapi habis itu diem terus. Ngejawab pertanyaan singkat-singkat doang."

Apa yang dikatakan Ghibran benar, tapi aku tidak ingin mengakuinya. Aku hanya mengedikkan bahu, lalu masuk ke dalam gedung tanpa menoleh sedikit pun ke arah Ghibran saat menaiki tangga.

Namun langkahku terhenti ketika melihat Zain, tetangga depan apartemenku sedang menekan bel apartemen. Sepertinya pria perlente itu sudah berdiri dari beberapa menit yang lalu. Setahuku Nena dan Lia tidak ke mana-mana dari sepulang kuliah.

"Permisi. Ada apa ya?" tanyaku.

"Oh, tadi saya menemukan ini jatuh di samping gedung. Sepertinya jatuh dari balkon milik kalian. Soalnya saya sudah menanyakan ke semua tetangga di lantai satu dan dua." Zain menyodorkan sebuah keset kaki yang memang sengaja kujemur di jendela samping dapur tadi pagi. Akibat aku menumpahkan air di atasnya.

Biasanya aku menjemur di balkon dekat ruang tengah. Namun karena terburu-buru, jadinya aku meletakkannya di dekat dapur. Sebenarnya tidak ada balkon dekat dapur. Hanya saja jendelanya panjang dan terdapat tali jemuran dari penghuni sebelumnya.

"Terima kasih." Aku menerimanya. Kemudian aku melihat Balsam keluar dari apartemen beserta pria berandalan yang tak lain adalah pacarnya.

Kedua mata besarnya yang dipoles oleh celak hitam menatapku dari ujung kepala sampai kaki. Aku merasa tak nyaman. Sementara pacarnya sibuk menyalakan api pada rokoknya. Rambut keritingnya seperti baru saja ditumpahi minyak jelantah.

Namun ketika aku membuka kunci pintu apartemen, ternyata Zain masih di belakangku. Tepat ketika aku membuka pintu, dan aku menoleh ke arahnya, dia seperti meneliti isi apartemen dari tempatnya berdiri. Aku menelengkan kepala ke arahnya dan mengangkat sebelah alisku.

Zain segera tersadar dan dia malah berjalan mendekatiku. Aku sedikit menutup pintu, khawatir Nena atau Lia keluar kamar tanpa mengenakan jilbab.

"Saya ingin bertanya. Orang Indonesia yang tinggal di lantai enam. Yang teman satu apartemennya ...."

"Jatuh dari balkon?"

Lalu Zain mengangguk. "Ya, itu. Apakah dia pindah?"

"Ya, dia mau pulang ke Indonesia. Tapi dia di apartemen temannya dulu."

"Di mana?"

"Di Musal—" Ups! Aku tidak seharusnya membocorkan hal ini! Aduh, Jihan! Mulutmu tidak terkontrol!

"Ah, maaf kalau saya membuat tidak nyaman. Soalnya saya mendengar bahwa apartemen di atas disewakan. Saya berniat pindah ke atas," tuturnya.

Aku sebenarnya ingin bilang bahwa Baba Sheriff akan menyewakannya ke orang Indonesia. Namun aku tidak ingin berbicara lebih banyak kepada pria di hadapanku. Aku hanya mengangguk, memberi salam kepadanya, dan menutup pintu serta menguncinya dengan rapat.

Bertepatan ketika aku selesai mengunci pintu, Nena dan Lia keluar dari kamar.

"Aku tadi takut buka pintu waktu lihat tetangga depan rumah yang mencet bel dari lubang pintu. Kirain Baba Sheriff," kata Lia yang menyembunyikan tubuh kecilnya di belakang Nena. Di antara kami bertiga, hanya Lia yang bertubuh mini. Aku menjulang ke atas, sedangkan Nena ke samping.

Apartemen Sebelas (Proses Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang