35. Rekayasa Hukum

62 17 3
                                    

Selama di Jakarta, aku hanya pergi ke psikiater selama dua kali kunjungan. Ayah dan Ibu sangat terkejut saat mendengar cerita yang kualami selama di Kairo. Bahkan Ibu menangis.

Hanya saja keduanya tidak terlalu percaya bahwa anak sulungnya butuh bantuan psikiater. Belum lagi Kiki yang mencerocos bahwa kedua orang tuaku membuang uang hanya untuk konsultasi ke psikiater.

"Emangnya Kak Jihan gila? Dia baik-baik aja kok. Bahkan semalem aku lihat dia ketawa nonton acara komedi di teve," ujarnya sembari menatapku dengan sengit.

Akhirnya aku sebisa mungkin terlihat normal dan berusaha mengelabui psikiater. Namun aku tahu bahwa seorang psikiater itu pasti paham mana pasien yang sudah berdamai dengan traumanya, dan mana yang belum. Akan tetapi, dia bisa berbuat apa saat pasiennya enggan datang kembali?

Satu-satunya yang bisa membuatku tenang adalah pesan-pesan dari teman-temanku. Tak lupa juga Balsam yang dengan rutin mengirimiku email.

Balsam_Toma31@xxxx.com: Bagaimana kabarmu di Indonesia? Saya harap kamu bisa pulih dan melupakan semua kejadian yang menimpamu. Sampai sekarang saya masih dihantui rasa bersalah terhadapmu meski saya telah meminta maaf berkali-kali. Makanya saya memberikan info tentang semua fakta kasus Sheriff. Saya mendapatkannya dari Zain bahwa Sheriff diduga mendorong Ningsih untuk bunuh diri. Meskipun agak sulit untuk membuktikannya. Lalu saya juga mencoba mengungkapkan kasus Midah kepada polisi. Lagi-lagi buktinya tidak cukup kuat sepertinya. Tapi setidaknya, saya yakin Sheriff bisa dipidana atas kematian Ramy dan Bron.

Membaca email dan pesan dari teman-temanku menjadi rutinitas penting untuk memulihkan kewarasanku. Selain itu, Psikiater pernah menyarankanku untuk menulis jurnal secara rutin. Mungkin karena aku pernah mengaku suka menulis saat di salah satu sesi konsultasi.

Hasilnya, dalam dua bulan aku malah berhasil merampungkan satu novel dan aku mengirimkannya kepada Bu Sophie—editor Lintang Pustaka—ke alamat email yang pernah diberikannya. Aku memberi judul novel tersebut, "Misteri Gedung Apartemen Nomor Sebelas."

Namun semakin bergulirnya waktu, email dari teman-temanku tidak kunjung datang. Begitu pun dengan Balsam. Hanya ada pesan dari Siera dan Ghibran yang menanyakan kabarku. Sekadar basa-basi saja.

Mungkin semuanya telah sibuk. Apa aku segera kembali ke Kairo saja?

***

Semenjak kedatanganku ke Kairo, semuanya memasang wajah yang aneh. Tatapan mata Siera, Ghibran, Awan, dan Dedet seperti menyembunyikan sesuatu saat menjemputku di bandara. Lia dan Nena sendiri aku mendapatkan kabar bahwa mereka juga pulang ke Indonesia setelahku untuk proses pemulihan. Walaupun mereka tidak separah diriku.

Ternyata Siera sudah mencarikan apartemen baru di daerah Tabbah. Siera memutuskan untuk pindah dari apartemen lamanya. Dia mencari apartemen untuk ditempati bersamaku. Dia juga mengajak dua adik tingkatnya untuk satu apartemen dengan kami. Setelah setengah tahun lebih meninggalkan Kairo, aku agak asing dengan keadaan sekitar.

Kecurigaanku bertambah saat bertemu dengan mahasiswa Indonesia yang tinggal satu gedung. Mahasiswa tersebut dan teman satu apartemennya menatapku berkali-kali. Mereka bahkan sering menawari Siera untuk berjalan menuju terminal bus.

"Kalau ada apa-apa, hubungi kami saja," ujar mahasiswa tersebut.

Lalu sepulang dari kuliah, aku segera pulang ke apartemen. Siera sempat mengajakku untuk menghadiri acara di Wisma Nusantara. Namun aku menolaknya.

Beruntung sekali semua penghuni apartemen sedang tidak ada. Meskipun aku sekamar dengan Siera, tetapi aku tidak pernah menyentuh barangnya tanpa izin.

Aku membuka lemari portable miliknya. Ternyata di bagian paling bawah terdapat sebuah kota kubus yang dibalut dengan bulu-bulu berwarna merah muda. Isinya Majalah Akhbaruna. Anehnya, hanya ada empat majalah dan semuanya terbit saat aku masih di Indonesia.

Apartemen Sebelas (Proses Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang