13. Kelompok Pemabuk

62 17 4
                                    

Wanita itu malah pura-pura tidak mendengarku. Dia kembali merunduk ke arah loket. Dari suara yang kudengar, dia seperti memohon kepada satpam yang merupakan orang Mesir. Biasanya ada petugas orang Indonesia juga yang menjaga. Namun sepertinya sedang tidak ada ketika kami melewatinya.

"Pak, saya ingin bertemu dengan Pak Yayan," seru wanita itu ketika melihat petugas yang merupakan orang Indonesia baru masuk ke dalam ruangan sekuriti.

"Ada keperluan apa? Sudah bikin janji?"

Namun wanita itu tergagap. Padahal itu pertanyaan standar ketika seseorang ingin memasuki KBRI. Biasanya saat aku ingin mengambil uang bulanan Majalah Akhbaruna, aku cukup mengatakan keperluanku dan dipersilakan menuju Bagian Keuangan yang berada di gedung tambahan. Tidak perlu melakukan janji terlebih dahulu untuk itu.

Ternyata Ghibran langsung menyela obrolan tersebut saat mendengarnya. "Coba saya telepon orang dalam dulu ya."

Aku hanya melihat Ghibran mengangguk dan mengatakan sesuatu yang tidak bisa kudengar, karena posisinya menjauh dari tempat aku dan Siera berdiri.

"Pak Roni bakal ke sini ya, Mbak." Lalu Ghibran mengabari sekuriti perihal itu.

"Terima kasih ya." Wanita itu refleks mengambil tangan Ghibran. Namun Ghibran lekas menarik tangannya. "Sama-sama, Mbak."

Kemudian wanita itu menengok ke arahku. "Midah sebelum kecelakaan—dia mau pergi ke luar—buat beli makanan, karena tahu kalian mau datang."

Sebelum aku ingin menanyakannya kembali, pintu gerbang dibuka, dan wanita itu masuk ke dalam. Ghibran mengisyaratkan dengan gelengan kepala untuk menghentikan tindakanku. Siera menarik tanganku untuk pergi.

Selama perjalanan menuju stasiun, aku hanya menatap kosong gedung apartemen bergaya kuno yang dihiasi beberapa tanaman rambat dan dipayungi pohon rindang. Padahal pikiranku sama sekali tidak berselera untuk mengomentari perihal arsitektur unik gedung-gedung tersebut yang kerap menarik perhatianku. Otakku dipenuhi oleh kata-kata wanita tadi dan terus menerus bergema di kepala ini.

"Eh, habis dari sini makan kibdah yuk di Distrik 7," ajak Siera yang membuyarkan lamunanku.

Aku hanya mengangguk setuju. Mungkin protein hewani seperti kibdah—hati sapi—bisa menyegarkan pikiranku. Dan lagi sangat ramah dengan kantong, kecuali kalau aku memesan otak sapi atau udang. Wah, itu agak mahal untuk ukuran orang yang sedang berniat untuk mengirit sepertiku. Padahal hati sapi lumayan mengenyangkan dan harganya berbeda jauh dengan keduanya.

Pandanganku kembali menerawang dari arah jendela tramco. Kedua mataku menatap kendaraan yang berjalan seperti ingin mengalahkan tramco yang kunaiki. Aku melihat gelandangan di pinggir jalan dengan kain kumal rajut yang mungkin hanya itu pakaian hangat yang dimilikinya.

Setidaknya aku masih memiliki tempat tinggal. Meskipun hati selalu was-was dengan kejadian mengerikan beberapa hari ini. Aku tidak bisa membayangkan gelandangan yang mencari tempat berteduh, terlebih di masa musim dingin seperti saat ini.

Mereka harus memiliki baju hangat, selimut, serta makanan yang cukup untuk menghangatkan tubuhnya. Aku hanya bisa mendoakan mereka dan mungkin menyisihkan beberapa koin untuk diberikan kepada mereka.

Tramco berhenti tepat di deretan tramco-tramco lain yang dikhususkan untuk jurusan Ramsis-Distrik 7. Kami berjalan tidak terlalu jauh menuju restauran yang menjual hati sapi. Biasanya menu ini menjadi andalanku saat kantong tipis dan malas untuk memasak. Apalagi disantap saat roti isy dan hati sapi yang digoreng masih hangat.

Seperti biasa, Siera menyisihkan daun ketumbar yang menempel di beberapa hati sapi yang mengkerut setelah digoreng. Aku sibuk menyobek roti isy, lalu memasukkan hati sapi di dalamnya dan dicelupkan ke dalam sambal lisan usfur yang dimasak dengan olahan khas Mesir.

Apartemen Sebelas (Proses Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang