15. Kegaduhan di Malam Hari

55 17 4
                                    

"Serius, Han? Beneran itu orangnya?" Ucapan Ghibran tak kuhiraukan hingga dia mengibaskan tangannya di hadapanku. "Han? Han!"

"Eh, sori. Iya, bener dia. Aku inget kok."

"Hei, Han. Aku serius. Kalau kamu butuh bantuan, tengah malam pun aku siap, oke?" Ghibran menatapku dengan keseriusan yang membuatku paham bahwa dia sedang tidak berbasa-basi. Tidak, Ghibran tidak pernah berbasa-basi dalam hal menolong orang lain.

Tadinya aku ingin berlari ke apotek dan bertanya kepada Baba Sheriff tentang Bron. Namun Ghibran menyarankanku untuk segera naik ke apartemen. Ghibran benar-benar memperlakukanku seperti barang pecah belah. Kedua matanya sangat awas, padahal Bron sudah sejak tadi menghilang ke lantai enam.

Apakah Baba Sheriff akan mengusirnya? Aku sangat berharap apartemen lantai enam, baik apartemen yang ditempati Ningsih atau Bron, digantikan oleh mahasiswa Indonesia.

"Nanti aku coba telepon Ketua DKKM deh. Biar yang ronda malam, ada yang disuruh keliling depan gedung ini," cetus Ghibran saat kami sampai di depan apartemen.

Aku hanya mengangguk, karena entah kenapa saraf otakku seakan mati. Lalu aku melihat Balsam keluar dari pintu apartemennya beserta pacarnya. Setelah itu Zain datang dari arah tangga lantai dua. Dari pakaiannya, sepertinya dia baru saja pulang kerja. Aku tidak tahu apa pekerjaannya, tapi dilihat dari kemejanya, mungkin semacam pegawai kantoran.

"Udah, masuk. Jangan dilihatin. Kunci yang rapat pintunya." Ghibran melirikku dan mengarahkanku ke arah pintu. "Kunci rapat dan jangan pernah buka pintu malam-malam meskipun yang datang pemilik apartemen kamu sendiri kalau enggak ada kepentingan."

"Kenapa?" Aku mengerutkan kening.

"Ya, jangan mudah percaya sama orang asing, Han." Hanya itu yang diucapkan oleh Ghibran dan dia mengangkat tangannya untuk berpamitan pulang.

Ketika aku membuka pintu, Nena dan Lia masih saja betah bergumul di dalam selimut masing-masing, di ruang tengah. Buku tergeletak di samping mereka, sepertinya mereka berusaha belajar untuk menyicil hafalan. Namun godaan untuk menyegarkan otak terlalu kuat. Sebenarnya bukan segar namanya, kalau belajar saja belum dilakukan.

"Eh, Kak Jihan. Sendirian atau sama ... hihi." Nena menutup mulutnya dengan centil.

"Rame-rame. Sama orang satu tramco." Aku menghela napas lega. Ternyata mereka berdua belum mengetahui kejadian di luar. Bisa-bisa heboh nantinya.

"Oh iya, kalian enggak keluar lagi, kan? Udah aku kunci soalnya," kataku lagi.

"Enggak, Kak. Kita mau makan goreng fried chicken aja. Kakak mau?" sahut Lia.

"Aku udah makan," jawabku sembari berjalan menuju kamar.

Bukannya aku mengganti baju dan lekas tidur supaya pikiranku tenang, tetapi aku malah merebahkan tubuh di atas kasur. Pikiranku berkeliaran ke sana dan kemari.

Kalau Nena dan Lia ketakutan, karena Bron keluar dari penjara, apa mereka akan pindah dari sini? Apa aku harus menyerah dan mulai mencari apartemen untuk pindah?

Ah, tapi di mana? Apartemen Siera lebih mahal dan juga tidak ada kamar kosong. Aku tidak terlalu banyak mempunyai teman. Miris sekali. Kayaknya nikmat tidur tanpa harus cuci muka terlebih dahulu. Lalu kedua tanganku refleks menarik selimut dan membuatku enggan merasakan hawa dingin kamar mandi.

***

Aku menegapkan tubuhku saat menyadari bahwa sejak kepulangan dari sekolah menulis, aku belum berganti pakaian. Sebenarnya yang membuatku lekas bangun adalah aku teringat bahwa aku belum salat isya dan jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam.

Apartemen Sebelas (Proses Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang