Kedua mataku terbelalak ketika melihat jam lewat ponsel yang kuletakkan di samping bantal. Aku baru tersadar bahwa diriku masih mengenakan mukena. Usai salat subuh, aku tadinya berniat untuk merebahkan sejenak di atas kasur. Di musim dingin seperti ini, tidur dengan mengenakan mukena malah terasa hangat.
Aku segera melipat mukena dan bergegas ke kamar mandi tepat di seberang kamar. Tidak ada waktu untuk mandi. Hanya cukup untuk cuci muka dan gosok gigi. Lagipula di musim dingin seperti ini, orang mandi atau tidak, tidak akan menjadi masalah. Wangi pakaian ketika berangkat kuliah sampai pulangnya pun masih awet.
Ditambah aku melihat gas untuk pemanas air yang habis. Nanti sepulang kuliah, aku harus mencari penjual gas yang lewat. Berhubung sebentar lagi akan telat, aku memutuskan untuk tetap memakai sweater yang tadi kupakai. Di dalamnya masih kaus yang sama. Tinggal memakai rok dan jilbab.
Ketika melewati ruang tengah, sudah tidak ada seorang pun. Aku sempat melirik kamar Lia dan Nena di seberangnya, sudah kosong. Begitu pun dengan dapur yang terletak di dekat pintu, tidak ada satu pun orang di sana. Pasti mereka sudah berangkat.
Di apartemen ini dihuni oleh empat orang. Lia dan Nena menempati kamar besar dekat ruang tengah. Lalu dua kamar tidur kecil yang diapit oleh kamar mandi ditempati olehku dan Kak Ratna. Kebetulan Kak Ratna sedang ada urusan keluarga di Indonesia, jadi dalam dua bulan mendatang, dia tidak ada di sini. Lagipula dia sudah S2 dan sedang menulis tesis. Tidak perlu khawatir mengejar mata kuliah yang tertinggal.
Rasanya aku bagaikan singa yang sedang berlari memburu mangsanya. Sampai-sampai aku hampir menabrak Baba Sheriff ketika mendahuluinya menuruni tangga.
"Ma'alisy[1] ya, Baba," seruku.
Untung saja dia baik, dan dia memaklumiku seakan bisa membaca situasi yang kualami. Di tengah jalan menuju halte, aku hampir menabrak seorang pria yang sedang membawa tampah berisi roti isy tepat di depan tukang roti. Aku tidak sempat meminta maaf.
Biasanya aku rela menunggu bus besar bertarif 1 le, tapi sekarang aku tidak punya pilihan lagi. Lebih baik aku merogoh uang 1,5 le untuk menaiki minibus ketimbang tidak bisa masuk kelas Usul Fikih. Ini akibat semalam bayangan mayat Ningsih menghantui pikiranku.
Jujur, ketika aku mendapatkan kabar teman sekelasku meninggal di malam bulan Ramadan yang lalu, aku tidak bisa tidur. Aku mendapatkan info dari Ghibran. Dia selalu up to date setiap info yang dia berhasil korek dari Ketua PPMI. Makanya tak heran para senior Akhbaruna menunjuknya sebagai pemred.
Padahal aku tidak menyaksikan kematian temanku, tapi aku tidak bisa tidur karena terbayang-bayang wajahnya. Bagaimana Ningsih yang tergeletak secara nahas dan wajahnya menghadap ke arahku?!
Lalu saat aku baru saja ingin tidur tadi malam, ada suara berisik dari luar. Ketika aku keluar dari kamar, Lia dan Nena sudah berdiri dan mengintip dari lubang pintu. Pastinya mereka terganggu dengan suara berisik itu. Apalagi letak kamar mereka dekat dengan pintu.
"Ada apa?" tanyaku.
"Itu tetangga depan rumah berantem. Kakak adik itu lho, Kak. Kayaknya Baba Sheriff mau melerai, tapi kena sembur," bisik Lia dan kembali mengintip lewat lubang.
"Si cewek itu kan emang kalau marah suka kayak orang kesurupan. Eh, tapi masih mending. Di Musalas kata temenku, tetangga depan rumahnya sampe kejar-kejaran sambil ngelemparin botol kaca. Berdarah-darah gitu." Nena bergidik.
Nasib tinggal di Distrik 10. Kawasan ini dihuni oleh mayoritas kaum menengah ke bawah yang tidak bisa menjaga sikap. Meskipun watak orang Mesir yang temperamental membuat cerita seperti itu adalah hal yang lumrah.
Cuma hebatnya, ketika ada yang melerai dan berteriak, "salawatlah kepada Nabi." Beberapa dari mereka akan mereda. Meskipun ada saja yang tidak mempan. Mungkin jin di dalam tubuhnya beda level.
KAMU SEDANG MEMBACA
Apartemen Sebelas (Proses Terbit)
Детектив / ТриллерJihan Zahrani dan teman-temannya di Majalah Akhbaruna kewalahan dengan banyaknya berita kriminal yang masuk pasca Revolusi Mesir. Dari perampokan berkedok polisi gadungan sampai penodongan di gang-gang sempit Distrik 10. Namun Jihan tidak menyangka...