13. Semudah Itu

5.3K 672 53
                                    



Terimakasih sudah menunggu ☺️




🌷





Jam tiga sore, Carven membuka mata. Dunia di sekitarnya masih terasa terbang melayang selama beberapa saat. Pemuda itu berbaring menatap lurus langit-langit kamarnya yang serasa bergerak-gerak bagaikan awan putih di luar sana.
Wah, berapa banyak tablet yang ia telan kemarin?
Efeknya luar biasa. Ia tidur sampai mimpi pun tidak.

Setelah putaran dalam kepalanya agak reda, ia mengubah posisi menjadi duduk. Mengusap wajah dengan telapak tangan, memikirkan kembali semua hal yang membuatnya merasa begitu putus asa kemarin.

Hanya saja, setelah lebih dari dua puluh empat jam tertidur, sekarang semua kenyataan itu tidak begitu terasa mengerikan lagi.

Kalau ia cemburu ya, sudah. Memang sudah seharusnya. Tapi dipikirnya, tidak perlu memperpanjang masalahnya lagi. Kalau Ryuu bilang tidak, berarti memang tidak.
Tak ada gunanya ia overthinking sampai seperti ini.

Lihat, kan? Alexis Carven sekarang sudah sedewasa itu.
Ah, tidak juga, sih. Lebih karena ia tidak suka ribut saja.

Mungkin sekarang ia perlu sedikit healing dengan menemui manusia lain. Pergi bekerja sepertinya ide bagus.

Maka pemuda itu bergegas bangun, melangkah menuju kamar mandi. Sebelum langkahnya terhenti di tengah jalan. Kedua mata hazelnya terbelalak penuh menatap sosok yang tertidur lelap di sofa ruang tengah.

"Ryuu?"

Apa ini masih pengaruh obat? Tapi mengapa nyata sekali?

Melangkah perlahan dan berdiri di hadapan sosok itu, Carven menatapnya lekat-lekat. Masih mengenakan kemeja putih dan celana kerja. Jas hitamnya tersampir sekenanya di ujung lengan sofa yang lain. Sementara sepasang sepatunya teronggok sembarangan di sudut ruangan.

Baiklah, ini memang Ryuu asli, bukan halusinasi. Sepertinya sudah berada di situ setelah pulang kantor.
Mau tak mau Carven jadi kasihan juga. Apakah ia sudah lama tertidur si sofa sana?

"Ryuu." Disentuhnya pelan pipi pemuda itu. Ia bergerak sedikit karena merasa terganggu. "Bangun."

"Hmm ... "

"Bangun."

Mata sipitnya terkuak sedikit. Menyadari apa yang terjadi, ia buru-buru melompat duduk sembari mengusapi wajah dengan telapak tangan.

"Pacar? Astaga, akhirnya lo bangun? Lo nggak apa-apa, kan?"

"Dari kapan lo di sini?"

"Eh? Dari kapan, ya? Rasanya udah berjam-jam yang lalu, sih." Ryuu mengucek mata sekali lagi sebelum kembali memandangi bocah kesayangannya dengan cemas. "Lo nggak bisa dibangunin, Pacar. Gue takut lo kenapa-kenapa."

Carven hanya balas memandang dengan malas.

"Lo sama sekali nggak bangun dari kemarin siang. Lo tidur selama itu."

"Udah biasa."

"Jangan dibiasain."

Wajah tampan itu kentara sekali sedang khawatir. Ia berkali-kali menarik napas panjang untuk menenangkan dirinya sendiri.

"Kalo lo tadi nggak keluarin suara pas gue bangunin, kali udah gue bawa lari ke rumah sakit. Untung aja lo masih nyautin dikit, jadi gue masih percaya kalo lo tidur." Lagi, Ryuu menggeleng dengan putus asa. "Jangan sakitin diri sendiri, Pacar. Lo boleh sakitin gue aja kalo emang harus banget."

"Emang lo pikir gue ngapain?"

"Minum obat lagi, kan? Iya, kan? Berapa banyak yang udah lo telen sampe nggak bisa bangun kek gitu?"

Promise  [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang