15. Perang Batin

4.7K 614 18
                                    



Terimakasih lagi, kalian masih baca. ☺️
Jangan bosen, ya.





🍭



Ada sedikit scene yang ... 🤭





"Pacar?"

"Pacar? Heh!"

"Ven!"

Ryuu harus mengulang panggilannya sampai tiga kali sampai Carven menoleh kepadanya. Pemuda itu mengernyit kesal mendapati sepanjang hari ini pacar kesayangan sangat banyak melamun dan tidak bisa fokus diajak bicara.

"Hm?"

"Kenapa sih? Mikirin apa?"

"Nggak."

"Mikirin cowok lain?"

Literally, memang benar.

Ryuu masih menatap dengan wajah tertekuk. Rasa kesal benar-benar memenuhi dadanya, terjebak pikiran sendiri tentang cowok lain yang ia sebut-sebut tadi.

"Kenapa diem? Jangan-jangan bener, lo mikirin cowok lain?"

Carven hanya berdecak malas.

"Pacar, ih! Liat gue! Jangan liat yang lain-lain!"

Ada apa sih dengan anak ini?

"Pacar!"

"Diem bisa nggak sih, lo?"

"Enggak, lah! Mana bisa diem kalo lo mencurigakan kek gitu."

Carven berguling merebahkan diri di atas rumput tebal, memejamkan mata dengan kedua tangan berada di bawah kepala. Mengabaikan Ryuu yang terus merengek seperti anak bebek.

Sore yang indah, mereka berdua sedang berbaring di atas rumput yang lembut di halaman Rumah Edelweiss -mansion kesayangan Ryuu- yang luas dan asri. Carven senang, karena sudah lama tidak kemari. Tempat ini penuh kenangan manis. Tempat pertama kali ia dan Ryuu me-- ya, seperti itulah pokoknya.

"Pacar, jangan kacangin gue, ih! Gue lagi ngomong!"

"Ryuu."

"Apa?"

"Berisik!"

Carven kembali pejamkan mata. Sepenuhnya mengabaikan Ryuu yang kelakuannya persis anak gadis baru dewasa. Rewel sekali.

Tidak tahukah Ryuu, bahwa dalam benak Carven saat ini sedang terjadi peperangan?
Ia sedikitpun tak bisa mengalihkan pikirannya dari ...

'Aven, ini Papa, Nak ... '

Sial! Sial, sial, sial!

Lalu seperti disc yang diputar ulang untuk ke sekian kalinya, ia melihat dirinya sendiri yang sudah bangkit dari kursi menoleh seraya melayangkan senyum dingin.

'Maaf, anda salah orang. Saya tidak punya Papa. Permisi, selamat malam.'

Lalu ia pergi begitu saja, jadi tak ada kelanjutannya. Memangnya orang bodoh mana yang bisa percaya begitu saja, setelah dua puluh satu tahun tak pernah kenal istilah ayah, tiba-tiba datang orang asing mengaku-ngaku. Bermodal sekantong rupiah, berharap Carven akan semudah itu menyerahkan diri. Never gonna happen!

Ah, sudahlah.
Angin sore yang hangat meniup-niup rambut di kening Carven. Membuat matanya terpejam kian rapat dan merasa mengantuk. Sesaat sebelum nyaris terlelap, ia kembali tersentak sadar ketika sesuatu yang basah dan lembut menyentuh bibirnya.

Promise  [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang