7

520 61 7
                                    

Sore yang indah, matahari senja bersinar cerah di ufuk barat. Lan Wangji kini tengah duduk di bangku taman belakang bersama Jiang Cheng di sampingnyanya.

Setelah Lan Xichen pamit untuk pekerjaan tiba-tiba yang mendesak, keduanya memutuskan untuk menikmati senja dengan secangkir kopi.

"Bagaimana kabarmu?" Jiang Cheng membuka percakapan lebih dulu.

"Buruk."

"Apa terjadi sesuatu?"

"Tidak!"

"Lalu?"

"Wanyin, selama sepuluh tahun ini apakah aku sudah melewatkan banyak hal yang terjadi pada hidupmu?"

"Kita berpisah selama sepuluh tahun, sangat wajar jika banyak hal yang kita tak saling tau."

Jiang Cheng memfokuskan perhatiannya pada Wangji tatkala pria itu mulai tertawa tak jelas.

"Ada apa?" Tanya Jiang Cheng tak mengerti maksud dari tawa pria itu.

"Tidak ada. Aku hanya menertawakan diriku."

"Aku tidak mengerti kenapa sekarang kau menjadi orang yang sulit di pahami."

"Aku juga tidak mengerti kenapa kau tak cukup memahami ku dari dulu?"

Kedua netra itu bertemu ketika Lan Wangji menoleh kan wajahnya ke samping, menatap tepat pada mata yang membuat nya jatuh cinta beberapa tahun lalu. Keduanya terperangah untuk beberapa saat.

Jiang Cheng tidak terlalu bodoh untuk memahami apa yang ada dalam mata tajam Lan Wangji. Dia jelas melihat ada kekecewaan disana. Jiang Cheng melihat dengan seksama ke dalam mata yang jenaka namun masih memiliki keteduhan itu. Tiba-tiba hatinya menghangat untuk berbagai alasan yang tak bisa dia ungkapkan.

"Ibuuuuu!" Teriakan nyaring itu sontak membuat tatapan keduanya terputus.

"A-Yi, ibu dibelakang." Ucap Jiang Cheng setengah berteriak.

"Ibu!" Pekik anak itu lagi seraya berlari kecil menabrak kemudian memeluk kaki ibunya.

"Siapa yang mengantarmu pulang?" Jiang Cheng mendudukkan Jingyi di tengah-tengah antara dirinya dan Wangji.

"Paman A-sang mengantarku, tapi paman tidak mau mampir."

"Oh begitu ya?"

Jingyi mengangguk gaduh kemudian perhatiannya teralih ketika sadar ada pria asing di sampingnya.

"Eh, siapa paman ini?" Kepala Jingyi memiring seraya menatap Wangji penasaran.

Wangji yang diamati seperti itupun tersenyum kikuk berusaha terlihat ramah di depan anak kecil ini.

"Dia paman Wangji, adik ayahmu." Ucap Jiang Cheng memberi jawaban pada anaknya.

"Benarkah? Wahh luar biasa ibu, aku punya paman sekarang." Ucap Jingyi penuh semangat.

"Paman, namaku Jingyi. Mari kita berteman dan bermain bersama, aku tidak nakal kok." Tawar Jingyi seraya tersenyum lebar dan menatap Wangji dengan penuh harap.

"Tentu."

Jawaban singkat Wangji membuat senyuman anak itu hilang seketika. Kini bibir nya justru mempout lucu.

"Ck ck, benar-benar orang tua yang tidak asik." Ucap Jingyi seraya menggeleng-gelengkan kepalanya.

"A-Yi, anak baik tidak berbicara seperti itu." Jiang Cheng memperingatkan anaknya.

"Sebentar Ibu, biarkan aku bertanya pada paman." Anak itu berucap seraya menempelkan jari telunjuk nya dibibir sang ibu, lalu kemudian atensinya kembali pada Lan Wangji.

"Paman, katakan! Apa kau tidak menyukai ku?" Tanyanya kemudian dengan tangan yang terlipat di dada.

"Suka."

"Paman tidak menjawab pertanyaan ku dengan baik, paman juga tidak tersenyum seperti aku tersenyum pada paman. Apakah memang begini saat paman menyukai orang lain?"

"A-Yi, paman mu hanya tidak terbiasa."

"Sudah saja Ibu, aku tidak akan berteman dengan paman. Paman tidak senang padaku." Cicit nya dengan wajah yang kini sudah ditenggelamkan pada leher sang ibu.

"Ibu, tolong bawa aku ke kamar. Aku lelah." Pintanya kemudian.

Jiang Cheng melirik Wangji sekilas.

"Aku akan mengurus Jingyi dulu." Ucapnya lalu kemudian bangkit dan berjalan memasuki rumah dengan Jingyi di gendongan nya.

Wangji menghela nafas berat untuk kesekian kalinya, matanya terus memandang punggung Jiang Cheng yang semakin menjauh.

'Wanyin, kenapa aku merasa kau semakin jauh?'

'Aku seakan tak bisa menggapai mu.'

'Tunggu, apa ini sungguhan?'

'Apa kau benar-benar sudah berkeluarga?'

'Kau sudah bersuami?'

'Kau memiliki anak, Wanyin?'

'Kau menjadi ipar ku?'

'Kau sungguh sudah bahagia dengan orang lain?'

'Tidakkah ini hanya sekedar mimpi buruk ku saja?'

Ingin sakali Wangji meneriakan semua tanya yang bergemuruh gaduh di tempurung kepalanya. Namun saat Jiang Cheng ada di dekatnya, dia bahkan tak bisa mengeluarkan satu pertanyaan pun. Mulutnya seakan terkunci, tenggorokan nya mendadak kaku. Kebingungan yang tak tertanyakan juga Kerinduan yang tak tersampaikan menciptakan sesak di dadanya.

Dark among Light. (Xicheng/Wangcheng)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang