Wangji memijit pelipisnya. Jiang Cheng tidak mau makan dari kemarin. Pria itu hanya menangis dan meringkuk di bawah selimutnya. Wangji sudah kehilangan akal untuk membujuk Jiang Cheng.
"Wanyin, makanlah sedikit saja."
Tidak ada jawaban atau pergerakan apapun dari pria yang terlilit selimut tebal itu.
"Sampai kapan kau akan seperti ini?"
"A-aku merindukan A-Yi." Gumam Jiang Cheng terisak.
Jangan mengolok Jiang Cheng lemah. Kita semua pun tentu paham bagaimana rasanya ditinggalkan. Meremang dalam kesepian sambil merutuki perihnya ditinggalkan seseorang yang jadi kesayangan. Bukankah wajar Jiang Cheng seperti ini sekarang?
Wangji menghela nafas dalam kemudian mengusap-usap Jiang Cheng yang masih tertelan selimut itu.
"Wanyin, meski tidak seterluka dirimu tapi aku juga tau bagaimana sakitnya kehilangan A-Yi. Aku juga merasakan kesedihan yang sama. Tapi apakah keterpurukan mu ini akan membuat A-Yi senang? A-Yi begitu menginginkan kebahagiaan mu. Lalu mengapa kau lakukan ini padanya? Mengurung diri dan mengabaikan kesehatan mu. Kau pikir ini yang A-Yi mau?"
Isakan Jiang Cheng terhenti. Dia menyingkap selimutnya kemudian duduk menyender ke kepala ranjang.
"Tapi rasanya sulit sekali Wangji." Lirihnya kemudian.
"Aku tau. Aku tidak menyalahkanmu yang seperti ini Wanyin. Tapi cepat atau lambat, kita harus memaksa diri untuk mengakrabi kenyataan ini. Memang tidak mudah untuk melakukannya. Namun ingatlah, mereka yang meninggalkan kita pun akan bahagia jika kita tak jatuh selamanya."
Jiang Cheng melirik Wangji. "Apakah A-Yi ingin aku bahagia Wangji?"
"Tentu saja! Sama seperti aku. Bahagia mu adalah yang paling kami mau."
Wangji mengusap pipi Jiang Cheng yang basah karena air mata. Dia menatap sendu Jiang Cheng ketika menyadari bahwa Jiang Cheng lebih kurus saat ini. Pipinya yang berisi sudah mulai menirus.
.
.
.
Suara ketukan sepatu berbahan kulit menggema mengiringi langkah Wangji bersama ketiga orang kepercayaannya di belakang memasuki ruang gelap yang terletak dibawah tanah. Wangji beserta anak buahnya melirik ke penjuru arah. Dari ekor mata mereka dapat melihat siluet bayangan yang tak perlu di terka lagi. Sudah pasti itu adalah Xue Yang dan Cheng Xiao yang baru saja di tangkap anak buahnya. Bibir itu tertarik menimbulkan senyum miring mengeringkan sebagai apresiasi akan kebodohan dua orang yang tengah terikat di kursi itu.
"Wangji?" Ucap Cheng Xiao terkejut. Sementara Xue Yang tak berdaya karena sudah dikurung dan disiksa disini selama berhari-hari.
"Kau yang menculik ku?" Tanya Cheng Xiao.
"Kau pikir siapa lagi?" Wangji memandang datar Cheng Xiao yang menatapnya penuh kemarahan.
"Sekarang apalagi Wangji? Xichen sudah membuang ku. Apalagi yang kau mau?"
"Apakah dengan Xichen membuangmu saja seimbang dengan kehancuran yang didapatkan Wanyin?"
Cheng Xiao berdecih. "Masih tentang dia? Kenapa kau melakukan begitu banyak hal untuk Jiang Cheng? Wangji, apa kau lupa bahwa Xue Yang sudah menumbuk Jiang Cheng habis-habisan? Apa kau tak tau bahwa setiap bagian tubuh Jiang Cheng sudah di jamah oleh tangan pria lain? Dia kotor Wangji! Dia tak pantas un-"
Plak
Tamparan Wangji menghentikan ocehan menyebalkan Cheng Xiao
Wangji mencengkeram kasar rahang Cheng Xiao. "Apakah pantas mulut ini menghina Wanyin?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Dark among Light. (Xicheng/Wangcheng)
General FictionTentang bagaimana Lan Xichen merubah Hitam menjadi Putih, lalu membuatnya menghitam lagi. Juga... Tentang bagaimana Lan Wangji mencegah sang hitam untuk tidak kembali lagi. Ya! Ini adalah tentang bagaimana dua orang dalam satu marga, satu darah, ber...