54

268 38 22
                                    

Jiang Cheng terbangun setelah tak sadar kan diri cukup lama. Namun tak seperti biasanya, dalam hatinya timbul kekhawatiran yang begitu besar. Seperti ada sesuatu yang mengganjal. Tangannya meraba perut yang kini sudah tak buncit lagi.

"Selamat, kau melahirkan anak yang sehat A-Cheng."

Jiang Cheng tak menyadari ada orang di ruangan putih ini selain dirinya.

"A-Sang, dimana anakku sekarang?"

"Dia ada di ruangan khusus."

Jiang Cheng mengangguk lemah. Lalu jiwanya kembali menjadi hampa. Namun setelah beberapa saat dia menyadari sesuatu yang membuatnya begitu ketakutan.

Jiang Cheng menelan ludah susah payah. "L-lalu, dimana suamiku?" Tangannya meremas kuat seprai. Dia gugup mendengar jawaban Huaisang.

Jiang Cheng memandangi Huaisang yang menyunggingkan senyum mengasihani. Ketakutannya semakin menjadi. Jiang Cheng mencoba menegakkan posisi duduknya. Sebanyak mungkin dia menghela napas agar menekan dadanya yang hampir melonjak.

"Operasinya berhasil. Tapi Wangji tengah koma, dia masih dalam masa kritisnya."

"Antar aku menemuinya."

"Kau masih lemah."

"Tolong."

Huaisang membuang nafas kemudian mengangguk setelahnya.

>>>

Kaki Jiang Cheng seolah terpasung di lantai. Dia sekarang sudah berada di ruangan Wangji, tapi dia justru tidak mampu menggerakkan kakinya sendiri ketika dia melihat ke arah ranjang. Disana, Wangji terbaring tak berdaya dengan beberapa alat medis di tubuhnya.

Jika rasanya harus sesakit ini saat melihat orang yang begitu kita cintai sekarat, Jiang Cheng sungguh tak keberatan kalau tanah yang dipijaknya terbelah menjadi dua dan menelannya hidup-hidup. Itu lebih baik bagi Jiang Cheng.

Dia berjalan ke arah ranjang setelah menutup pintu dan meminta Huaisang menunggu diluar.

Bendungan di kantung matanya berubah jadi gelombang. Meski sudah berusaha untuk tegar, namun apa dayanya? Jiang Cheng menyeka air matanya, dilabuhkanlah pandangannya pada sosok yang penuh cinta.

Jiwanya menungkik ke inti bumi. Mengikat rontaan batin. Jika diingat lagi, sejak dia bersama Wangji, dia tak pernah menangis atau merasa sedih lagi. Wangji tak pernah membiarkannya merasakan kepahitan-kepahitan seperti itu. Namun sekarang, Jiang Cheng sudah tak kuat menahan tangisnya lagi.

Jiang Cheng menduduki kursi di samping ranjang. Tangannya dengan hati-hati menggenggam tangan Wangji.

"Lan Zhan, anak kita sudah lahir."

"Dia sehat. Aku juga belum melihatnya. Tapi aku yakin dia akan setampan kamu."

"Lan Shizui. Terdengar bagus."

"Hey, sejak kapan kau menyiapkan nama itu hmm?"

"Kau tak akan memberitahu ku?"

"Baiklah. Aku tak akan memaksa mu."

"Tapi kapan kau akan bangun?"

"Kau tak ingin melihatnya?"

"Apa kau tak merindukan istrimu juga?"

"Kau tidak mungkin membiarkan anak dan istrimu sendirian lebih lama kan Lan Zhan?"

"Aku tau kau akan bangun. Tapi jangan biarkan kami menunggu terlalu lama."

Jiang Cheng mengusap kasar air matanya dan berusaha menahan suaranya agar tidak bergetar.

Dia memiliki Shizui sekarang. Dan dia tak ingin mengulang kesalahan yang sama seperti saat dia memiliki Jingyi dulu. Karena keterpurukan dan kesedihannya, tanpa sadar Jiang Cheng telah mengabaikan Jingyi hingga anak itu harus menyimpan apa yang dirasanya seorang diri. Dan dia tak ingin itu terjadi pada Shizui. Dia tak ingin menjadi lemah hingga dia menelantarkan anak yang baru di lahirkannya.

"Lan Zhan, aku akan berusaha kuat untuk mu dan Shizui. Dan kau, bertahan dan berjuanglah untuk ku dan Shizui juga."

Jiang Cheng tetap memperlihatkan senyum hangatnya meski dia tahu bahwa Wangji tak mungkin melihat itu.

.

.

.

Lan Xichen menarik nafas dalam kemudian membuangnya kasar. Entah sudah berapa lama dia berdiri di depan pintu ruang rawat Jiang Cheng. Sejenak dia mengumpulkan kekuatan untuk berani masuk dan mendorong pintu. Mungkin sebentar lagi akan dia lihat sosok indah di dalam sana.

Setelah cukup lama akhirnya dia memberanikan diri untuk masuk ke ruangan itu. Dan saat dia mengangkat kepala, wajah yang sedari tadi ada di benak, wajah yang selalu menemani dalam sepinya, tak berubah. Tetap cantik. Namun ada rasa sakit dihati Xichen saat dia melihat sekilas seorang bayi yang berada di gendongan orang yang dulu menjadi istrinya.

Jiang Cheng sepertinya terkejut oleh kehadirannya. Terlihat dia hanya diam. Hanya dua pasang kornea yang saling berbahasa.

Meski ragu Xichen tetap mendekat. Dia meletakan satu buket bunga di atas meja kecil di samping ranjang.

"Selamat untuk kelahiran anakmu. Dan aku turut prihatin atas apa yang di alami Wangji." Xichen bisa melihat wajah Jiang Cheng yang berubah murung saat dia mengucapkan kalimat terakhirnya.

"Maaf aku baru bisa datang. Saat kak Mingjue mengabariku hari itu, aku juga memberitau paman. Tidak hanya kejadian yang menimpa Wangji, tapi juga semua yang sudah terjadi antara kita selama ini."

"Kau menceritakan semuanya?" Untuk pertama kalinya setelah cukup lama, Xichen kembali mendengar suara ini. Itu tak bisa membuat hatinya tak merasa hangat.

"Iya. Dan setelah dia mengetahui semua itu. Dia marah sampai dia harus terkena serangan jantung. Jadi aku harus merawatnya lebih dulu sebelum aku bisa datang kesini."

"Bagaimana keadaannya sekarang?"

"Dia sedikit lebih baik."

"Syukurlah."

Hening tercipta setelah itu. Sebenarnya Jiang Cheng sudah tak merasakan apapun pada Xichen. Tidak dendam, apalagi cinta. Selain terkejut karena Xichen datang tiba-tiba, tak ada lagi yang dia rasakan pada lelaki itu sekarang.

Sedangkan Xichen. Dia tidak pernah berhenti mencintai Jiang Cheng. Dia hanya berhenti menunjukan nya selama ini karena dia tak ingin mengganggu lagi Jiang Cheng, atau jika tidak Jiang Cheng akan semakin membencinya.

Sekeras apapun Xichen mencoba, dia ingin tetap tinggal. Xichen ingin tetap mencintai Jiang Cheng seperti yang lalu. Bahkan jika dia harus mencintai sendirian.


Setelah cukup lama bertapa, Xichen muncul juga ya guys. Dan Xichen kayanya udah bener" berubah tuh. Gmna? Masih pada mau maki" dia lagi ga nih haha

Dark among Light. (Xicheng/Wangcheng)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang