Jiang Cheng dan Xichen duduk di bangku taman rumah sakit, di samping pohon yang rindang. Mereka menghadap ke depan. Memandang ke arah yang sama.
Angin sore menerpa permukaan kulit, memberikan perasaan kering yang tak biasa. Perasaan kosong itu begitu mengganggu keduanya. Perasaan yang tinggal di hati Jiang Cheng sejak Wangji koma. Dan perasaan Xichen yang justru sudang kosong sejak lama. Sejak kesalahan bodohnya yang melepas Jiang Cheng waktu itu.
"Sudah lama sekali bukan, sejak terakhir kali kita bicara berdua?" Xichen menjadi yang pertama membuka suara. Namun hanya deheman singkat yang di dengarnya dari Jiang Cheng.
"Menurut mu, berapa persen kemungkinan Wangji akan bangun?"
Xichen bisa melihat Jiang Cheng meneguk ludahnya susah payah.
"Tidak tau. Aku hanya tau bahwa dia pasti kembali. Tidak perduli seberapa lama, aku akan menunggunya dengan rasa yang sama." Jawab Jiang Cheng membuat Xichen tersenyum miris.
"Kau begitu mencintai nya Wanyin."
"Sangat. Untuk itu aku sungguh ingin dia kembali karena aku tak ingin merangkak untuk menjalani hidup ini. Karena jika dia benar-benar pergi, bukan hanya kaki yang mulai lumpuh, tapi rasanya seluruh tubuhku dari ujung kepala sampai kaki sudah pasti akan kehilangan fungsinya." seru Jiang Cheng mulai menangis.
Xichen hanya diam tanpa mengeluarkan sepatah kata apapun lagi. Dengan fikiran kosong Xichen masih di samping Jiang Cheng. Mendengar apa yang Jiang Cheng katakan, Xichen menyadari satu fakta bahwa kini dia sedikitpun sudah tak ada lagi dihati Jiang Cheng.
Bukan dramatis. Tapi bagi Jiang Cheng, Wangji adalah hidupnya. Berbeda dengan Xichen, Wangji sudah berada di hati Jiang Cheng hampir selama hidupnya, sejak dia berusia empat tahun. Bahkan meski Wangji bukan suaminya sekalipun, Jiang Cheng akan hancur jika pria itu pergi untuk selamanya.
Entah kenapa memikirkan orang hebat itu begitu menguras emosi Jiang Cheng hingga membuat air matanya tak berhenti terjatuh.
Dengan sigap Xichen berniat menyekanya, namun sama sigapnya dengan Jiang Cheng yang juga menghalaunya. Dia tidak ingin seseorang selain Wangji menyentuhnya.
Xichen tersentak. Selain sudah berhenti mencintainya, apa Jiang Cheng juga masih membencinya hingga dia tak membiarkan Xichen untuk sekedar menghapus air matanya.
"Apa kau belum memaafkan ku?"
"Aku sudah lama memaafkan mu."
"Lalu kenapa kau tak membiarkan aku menyentuhmu? Apa kau masih membenciku?"
"Xichen, aku sudah tidak menyimpan kebencian apapun padamu. Sejak memulai kehidupan baruku dengan Lan Zhan, aku sudah berdamai dan meninggalkan semua yang terjadi di masa laluku. Aku hanya tak ingin Lan Zhan sedih jika aku membiarkan orang lain menghapus air mataku. Hanya dia yang bisa melakukan itu."
Meski perih, Xichen tetap mengangguk mengerti.
Ingin rasanya Xichen kembali mengsumpah serapahi dirinya sendiri lagi. Betapa irinya dia pada Wangji. Andai dia tidak melakukan kebodohan, mungkin dia masih menjadi orang yang dicintai Jiang Cheng dengan jiwanya sekarang. Bukan Wangji.
Namun bukankah Wangji memang lebih layak mendapat semua ini? Pria itu bahkan mencintai Jiang Cheng selama lebih dari dua puluh tahun. Itu jelas tidak ada apa-apanya dibanding dirinya. Dan Xichen harus mengakui itu.
.
.
.
Di samping ranjang Wangji, Jiang Cheng duduk dengan Shizui dalam gendongannya. Merasakan keterasingan, merasakan kesepian, merasakan kehampaan. Entah dimulai kapan Jiang Cheng tak tahu pasti. Saat ini dia hanya merasakan totalnya rasa sakit dan kerinduan.
Mata Jiang Cheng terus menatap Wangji dan Shizui bergantian. Keduanya sama-sama terpejam. Namun ada yang berbeda. Jika Shizui tertidur dengan nyaman. Maka lain hal nya dengan Wangji yang harus berjuang dalam tidurnya.
Jiang Cheng memperhatikan wajah Wangji yang semakin hari semakin pucat. Tangannya mengelus lembut pipi yang terasa dingin itu.
Tanpa suara, tanpa kata. Hanya deru nafasnya yang memenuhi ruangan itu.
Sampai akhirnya.
Tiiiiiiiiiiiiiiit.
Suara pendeteksi jantung terdengar. Alat medis di samping Wangji perlahan menunjukkan garis lurus yang menandakan bahwa seseorang sudah menyerah untuk berjuang.
Kepala Jiang Cheng menggeleng pelan. Mulutnya terus melafalkan kata yang sama.
"Jangan!" Jiang Cheng terus mengucapkan kata itu berulang kali dengan sebuah kegetiran. Merajam hatinya dengan pedih hingga pipinya kembali basah dengan butir-butir bening berlarian keluar dari sudut-sudut matanya.
"Jangan sekarang."
"Lan Zhan."
Jiang Cheng bangkit dari duduknya dan mencoba mengguncang pelan Wangji dengan sebelah tangannya.
"Bangun, kumohon." Pintanya putus asa.
Jiang Cheng kini panik melihat alat yang benar-benar sudah menunjukkan garis lurus itu. Dia memencet tombol untuk memanggil dokter berulang kali.
"DOKTER! TOLONG! TOLONG SELAMATKAN SUAMIKU!" Pekiknya tak sabaran saat dokter akhirnya memasuki ruangan.
Jiang Cheng menggenggam tangan Wangji selagi dokter menekan alat kejut jantung pada dada Wangji.
Jiang Cheng merendahkan kepalanya dan mendekatkan bibirnya di telinga Wangji.
"Lan Zhan bangun, lihat anakmu. Dia disini. Kau ingin bertemu dengannya kan? Bertahanlah, aku mohon." Ucap Jiang Cheng susah payah karena harus menahan suara tangisnya.
"Hey, sayang. Aku ingin hidup denganmu dan Shizui lebih lama. Bangunlah." Lirihnya lagi dengan suara yang terdengar putus asa.
Entah untuk keberapa kalinya dokter menekan alat kejut jantung itu. Namun tubuh Wangji tak memberi respon sama sekali.
"Waktu kematian..."
Genggaman tangan Jiang Cheng pada Wangji melemah. Sekujur tubuhya bergetar di tempatnya. Persendian kakinya semakin melemas.
Dengan lemah Jiang Cheng melirik dokter yang juga tengah menatap prihatin ke arahnya.
"Tidak mungkin." Jiang Cheng menggeleng putus asa.
Seorang perawat mengambil alih Shizui saat Jiang Cheng terhuyung dan ambruk di lantai.
Haduuuuuu akhirnya bentar lagi cerita ini akan mencapai ending nya guysss
KAMU SEDANG MEMBACA
Dark among Light. (Xicheng/Wangcheng)
Ficción GeneralTentang bagaimana Lan Xichen merubah Hitam menjadi Putih, lalu membuatnya menghitam lagi. Juga... Tentang bagaimana Lan Wangji mencegah sang hitam untuk tidak kembali lagi. Ya! Ini adalah tentang bagaimana dua orang dalam satu marga, satu darah, ber...