Wangji melirik canggung Jiang Cheng yang duduk disebelah nya yang menatap lurus pada televisi. Saat ini mereka berada di ruang tengah.
Entah kenapa telinga Wangji bisa memerah hanya dengan duduk berdekatan dengan Jiang Cheng seperti ini.
Sial. Kenapa sekarang Wangji terlihat seperti seorang gadis yang sedang kasmaran. Kenapa pula dia merasa canggung sedangkan dulu dia dan Jiang Cheng bahkan melakukan kontak fisik lebih dari sekedar berdempetan bahu. Saat mereka bersama dulu, Wangji tak jarang tidur di pangkuan Jiang Cheng. Begitu pula sebaliknya. Tapi sekarang dia merasa malu. Semua ini pasti karena apa yang di katakan Jiang Cheng sore tadi. Astaga, astaga. Apa sekarang mereka resmi bersama?
Sementara Jiang Cheng hanya memandang heran Wangji yang sejak tadi memperbaiki cara duduknya dan bergerak gusar.
"Wangji, ada apa? Kau terlihat tidak nyaman. Kau sakit?"
Wangji membelalakkan matanya saat punggung tangan Jiang Cheng mendarat di dahinya.
"Suhu tubuhmu normal." Jiang Cheng memiringkan kepalanya mengamati Wangji. "Tapi kenapa wajahmu merah?" Tanyanya heran.
"Itu karena kau terlalu dekat denganku Wanyin!" Wangji berteriak dalam benaknya.
"Wangji, katakan sesuatu!" Jiang Cheng mengguncang pelan bahu Wangji.
"Boleh aku cium?"
Raut wajah Jiang Cheng yang sebelumnya menampilkan kekhawatiran itu berubah datar. Bisa-bisanya Wangji mengatakan itu dengan wajah polosnya.
"Rupanya kau benar sakit Wangji."
"Aku ingin menciummu."
"Tutup mulut berdosa ini!" Jiang Cheng menepuk mulut Wangji cukup keras.
"Ini sakit Wanyin." Keluh Wangji memegang bibirnya yang menjadi korban kekerasan Jiang Cheng.
"Lagi pula ada apa denganmu? Kau mengatakan hal konyol secara tiba-tiba."
"Aku hanya ingin mencium mu." Ucap Wangji bersikukuh membuat Jiang Cheng memutar malas bola matanya.
"Sejak kapan kau menjadi pria mesum?"
"Aku memang seperti ini jika di dekatmu. Hanya saja sebelumnya aku tak berani mengatakannya." Jawab Wangji dengan seringai menyebalkannya.
"Kau berani sekarang?"
"Bukankah aku memiliki hak? Sekarang kita bersama kan?"
"Sejak kapan?" Jiang Cheng mengernyitkan dahinya.
"Sore tadi kau setuju untuk menerimaku."
Oh rupanya tentang perkataan dia sore tadi yang membuat Wangji bersikap seperti ini.
Memang benar tadi Jiang Cheng berkata akan menerima Wangji. Tapi apakah ini keputusan yang tepat? Bagaimana jika dia mengambil langkah yang salah hingga menyebabkan ada yang terluka nantinya?
Bukan dia memikirkan Lan Xichen. Jiang Cheng hanya mengkhawatirkan Wangji. Apa Jiang Cheng bisa membuat pria itu bahagia nantinya? Apa bisa dia mencintai Wangji sebesar Wangji mencintai nya? Jiang Cheng sungguh tak ingin menciptakan kekecewaan apapun pada pria itu.
"Apa aku mengatakan hal salah?" Tanya Wangji ketika memperhatikan Jiang Cheng yang terdiam.
"Tidak. Tapi Wangji, jika tak keberatan bolehkah kita memulai hubungan ini saat aku sudah resmi berpisah dengan Xichen? Bagaimana pun juga status ku saat ini belum lah jelas."
Wangji menghela nafas kemudian mengangguk mengerti.
"Maafkan aku. Aku terlalu senang hingga melupakan hal itu Wanyin."
"Tak masalah Wangji."
"Baiklah. Sudah larut malam, kau sebaiknya tidur."
"Kau juga beristirahatlah Wangji."
Mereka saling melempar senyum sebelum akhirnya memasuki kamar masing-masing.
.
.
.
Wangji menarik kursi kemudian mendudukan dirinya di hadapan orang yang sudah menjadi asing baginya.
"Katakan apa yang ingin kau bicarakan!" Desaknya.
"Wangji, apa kau sungguh membenci kakak?"
Lan Xichen. Orang itu memandang sedih Wangji.
"Kakak? Bukankah adikmu Lan Wangji sudah mati?"
Xichen tertohok. Dia tidak bersungguh-sungguh saat mengatakan bahwa adiknya sudah mati. Bagaimanapun Wangji tetaplah adik kecil kesayangannya.
"Maafkan kakak Wangji. Kakak mengku salah. Tapi kau tau bagaimana karakter ku. Cheng Xiao membuatku terjebak Wangji. Kau mengenalku. Aku tak mungkin tidak bertanggung jawab dan mengabaikan Cheng Xiao begitu saja saat dia mengatakan hal-hal yang membuatku terenyuh."
"Lalu apa maksudmu meminta ku datang sekarang?"
"Kembalikan Wanyin padaku, Wangji."
"Kau pikir dia barang yang ku pinjam darimu?"
"Tidak Wangji, bukan begitu. Maksud ku, izinkan aku membawa Wanyin kembali bersama ku. Aku akan menjaganya."
"Kau mengatakan hal itu terakhir kali. Tapi yang kau lakukan justru menyakitinya."
"Untuk yang terakhir kali. Kumohon, sekali ini saja beri aku kesempatan. Bantu aku untuk mendapatkan Wanyin lagi. Kau tau betapa Wanyin mencintaiku juga. Aku adalah cinta pertamanya, tak mudah untuk dia melupakan ku Wangji. Dia hanya kecewa dan butuh waktu. Jika aku bisa mendapat pengampunan nya, dia akan mau menerima ku lagi."
Benar. Tak ada yang salah dari perkataan Lan Xichen. Meski sakit, Wangji juga harus membuka mata bahwa hati Jiang Cheng tetaplah milik Lan Xichen meski kini raganya berada dalam rengkuhan Wangji itu tak lantas bisa membuat Jiang Cheng menjadi miliknya sepenuhnya.
"Aku akan membawanya menemuimu besok. Kau bisa mengatakan apapun selama itu bukan sesuatu yang akan menyakitinya. Bicaralah dengannya. Jika Wanyin mau memaafkan dan memilih bertahan denganmu, aku akan mundur dan benar-benar hilang dari kehidupannya. Sedikitpun aku tak akan mengganggu kalian lagi. Tapi jika dia menolak untuk kembali bersamamu, tinggalkan kami. Biarkan aku yang menjaganya seumur hidup!"
"Baik!"
Wangji pergi setelah melakukan kesepakatan itu. Hatinya gelisah dan tak tenang. Apakah yang dia lakukan saat ini benar? Entahlah. Dia hanya ingin memberi kesempatan untuk dua orang itu saling menyampaikan sesuatu yang mungkin masih tertinggal dan belum selesai. Meski kemungkinan nantinya dia sendiri akan berakhir menyedihkan, selama Wanyin bahagia dengan keputusannya, Wangji tak akan menjadikan itu masalah besar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dark among Light. (Xicheng/Wangcheng)
Fiksi UmumTentang bagaimana Lan Xichen merubah Hitam menjadi Putih, lalu membuatnya menghitam lagi. Juga... Tentang bagaimana Lan Wangji mencegah sang hitam untuk tidak kembali lagi. Ya! Ini adalah tentang bagaimana dua orang dalam satu marga, satu darah, ber...