Bagian 11.

7 0 0
                                    

****

Seorang laki-laki tengah bersiap untuk menghadiri acara pengumuman perlombaan kemarin disekolahnya. Seperti biasa anak remaja itu tidak pernah lupa dengan peci putihnya, ditambah dengan baju kokoh berwarna putih juga celana bahan berwarna hitam sudah melekat ditubuhnya.

“Ali, kita sarapan dulu, yuk, Nak!” ajak seseorang yang tak lain adalah ibunya itu dari luar kamar.

“Iya, Bunda.” Ali mengambil ponsel dan kunci motor miliknya lalu keluar dari kamar untuk sarapan.

Dialah Syarali Akbar, anak pertama dari dua bersaudara. Adiknya juga laki-laki dan umurnya hanya berbeda dua tahun dari Ali, dia bernama Adnan. Mereka hanya tinggal bertiga bersama sang bunda, karena ayahnya wafat saat Adnan berusia sepuluh tahun dan Ali berusia dua belas tahun.

“Hari ini pengumuman perlombaannya, ya, Kak?” tanya Halimah—bunda Ali.

“Iya, Bunda, doain semoga Ali menang, ya, Bun?”

“Aamiin. Apaapun keputusan juri nanti, yang terpenting itu kamu sudah menampilkan yang terbaik!”

“Iya, Bunda.” Ali tersenyum, sang bunda adalah cinta pertama Ali, dan Ali bertekad untuk membahagiakan wanita yang telah melahirkannya itu.

“Adnan kenapa enggak ikut lomba?” kini pertanyaan di ajukan kepada adik Ali.

“Hehe, Adnan kan baru masuk Bun, jadi kayaknya belum bisa banget gitu. Yang mengajukan diri di lomba basket udah pas, Bun."

Halimah hanya tersenyum pada anak bungsunya itu, Halimah berdiri dan berjalan kebelakang bangku kedua anaknya lalu mengusap lembut rambut kedua putranya.

“Semoga kalian bisa menjadi anak yang sukses, anak yang sholeh, dan bermanfaat bagi sesama,” kata Halimah mendoakan kedua anaknya, seperti yang biasa ia lakukan.

“Aamiin,” jawab Ali dan Adnan bersamaan.

Setelahnya mereka melanjutkan acara makan mereka, saat waktu menunjukkan pukul 07:25, Ali pamit untuk berangkat kesekolahnya. Sedangkan Adnan juga pamit untuk pergi bermain kerumah temannya.

****

Disisi lain, Uma tengah berjalan sempoyongan. Mungkin akibat semalam ia bertengkar lagi bersama ibunya akibat Rumi yang menemukan cadar di tumpukan pakaian milik Uma di lemari, dan itu berakhir Uma dikuncikan didalam kamar sampai lupa bawa putrinya itu belum makan malam. Jadilah saat ini tubuh Uma lemas tapi tetap dipaksakan untuk menghadiri kegiatan di sekolah tetangga.

“Ya Allah, kuatkanlah hamba-Mu ini,” gumamnya.

Ditambah dengan perjalanan yang cukup jauh dari rumah Uma ke halte  tempat biasa Uma menunggu bis atau angkutan umum. Sepeda Uma masih kempes, dan dia belum sempat untuk memompa bannya.

Kepalanya tambah berdenyut, Uma memperlahan langkahnya. Seraya memegang kepalanya dan sedikit memijat dibagian pelipis mata.

Uma yang berjalan di pinggir jalan itu tidak sadar bahwa langkah kakinya semakin mengarah ke tengah jalan, sampai sebuah sepeda motor tidak sengaja menyerempet Uma dan membuatnya terjatuh kesamping.

Astagfirullahalazim,” Pemilik sepeda motor itu turun dan menghampiri Uma.

Dilihatnya kaki Uma yang roknya sedikit terbuka dan ada luka memar dibagian matakakinya, laki-laki itu segera memalingkan pandangan. Sementara Uma yang terus meringis kesakitan.

“Saya minta maaf, tadi saya tidak sengaja,” ucapnya.

Uma mencoba tersenyum dan melihat siapa yang telah menyerempetnya. Betapa kagetnya Uma saat pelakunya adalah laki-laki yang kemarin mencoba membantunya, sekaligus yang membuat debar jantung Uma sangat kencang. Dia adalah Ali.

Uma segera memalingkan wajahnya sambil terus ber-istigfar dalam hati.

“Saya akan mencari bantuan untuk kamu.” Tanpa menunggu jawaban Ali pergi begitu saja.

‘Apa dia tidak berniat membantuku? Setidaknya memindahkanku ke tempat yang lebih baik?’ kata batin Uma.

Tak lama Ali kembali datang bersama dua orang remaja wanita, dan Ali meminta mereka untuk membantuku berdiri dan duduk dibangku yang ada di halte.

“Terimakasih, ya, Kak!” ucap Ali pada kedua wanita itu, setelahnya keduanya pergi dan menyisakan Uma dan Ali di halte.

“Sekali lagi saya minta maaf karena sudah menabrak kamu, dan juga meninggalkan kamu tadi. Saya tidak bisa membantu kamu berdiri karena kita bukan mahram, makanya saya cari dua wanita tadi untuk membantu kamu. Apa kakimu masih sakit?”

Uma masih terdiam, ucapan Ali seperti mengundang kupu-kupu di hatinya. Dan apa katanya tadi? Dia memilih meminta bantuan orang lain, dari pada bersentuhan dengan yang bukan mahromnya!

“Permisi?” Ali melambaikan tangannya di depan wajah Uma, bermaksud menyadarkan Uma dari lamunannya.

“Eh, Astagfirullahalazim maaf-maaf.” Uma mengalihkan wajahnya yang mulai memerah karena malu, sambil terus mungucap istigfar dalam hatinya.

Diam-diam Ali tersenyum.  Entah kenapa? Tapi sejak pertemuan mereka kali pertama di sekolahnya kemarin, Ali merasa tertarik dengan sosok wanita di hadapannya ini. Meski Ali mencoba menepisnya, perasaan itu seakan terus hadir. Apalagi mengingat saat tanpa sengaja melihat Uma yang tersenyum sambil menutup matanya dari luar jendela, dan itu setelah dia tampil lomba. Apa wanita yang belum ia ketahui namanya itu juga merasakan hal yang sama?

Ali yang sibuk dengan isi kepalanya sampai tidak sadar kalau Uma mencoba berdiri, tapi rasa sakit di kakinya yang terkilir membuatnya terduduk kembali.

Uma kembali mencoba berdiri, tapi lagi-lagi kakinya terlalu sakit untuk ditegakkan. Tangan Ali terangkat untuk siap jika ia kemungkinan Uma akan jatuh ketanah, tapi lagi-lagi terurung karena perasaan dihatinya.

****

Bersambungg ....

Boleh sisain spesies kayak Ali satu gakkkkk? Maooo🤧

AZZUMA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang