“Astagfirullahalazim,” gumamnya berulang-ulang sampai tangisnya mereda.“Lain kali kalau aku ada salah kamu harus langsung tanya atau bahkan tegur aku aja, Sa! Bukan dengan cara menjauh atau memutuskan hubungan silaturahmi kita, enggak baik!”
Risa mengangguk sambil menyeka air matanya, lalu ia duduk disamping bangku Uma dan memeluk sahabatnya. Risa tidak bisa kalau harus kehilangan sahabat yang baik seperti Uma, tidak bisa!
“Emang laki-laki itu siapa, Ma?”
Kan! Baru juga Uma berharap Risa tidak menanyakan itu, tapi pertanyaan itu malah meluncur bebas dengan seulas senyuman dari Risa.
Uma mengangkat bahunya. Dia tadi cuma membuat alasan agar Risa percaya, bukan berarti merasakan hal yang sebenarnya! Ah. Uma harus memikirkan cara agar Risa lupa mengenai ucapannya setelah ini.
Dritt.
Risa mengambil ponselnya yang berada diatas meja. Ternyata itu adalah pesan dari ibunya yang menyurunya untuk cepat pulang. Akhirnya Uma dapat bernapas lega, setidaknya kali ini dia bisa lolos dari pertanyaan Risa untuknya.
Apa ia benar-benar merasa nyaman dengan Ali? Tapi ia takut Ali hanya bersikap seperti itu karena memang baik kesemua orang. Uma lemah jika mengenai perasaan seperti ini, Uma hanya berusaha untuk menjaga hatinya saat ini. Lagi pula Ali terlalu baik bagi Uma, sedangkan Uma hanya perempuan biasa yang mengharapkan jodoh terbaik dari Sang Illahi.
* * * *
Syahrali Akbar. Laki-laki yang lahir sembilan belas tahun yang lalu itu tengah sibuk dengan laptop dihadapannya. Berada disebuah Cafe bernama Glora itu duduk di tempat yang terpojok dan menghadap ke tembok agar ia dapat serius mengerjakan tugas powerpoint-nya dengan tenang.
Sebenarnya ia tidak sendiri, ada Latif dan juga Rezi yang akan datang sebentar lagi. Meski ia dan Rezi tidak satu sekolah, tapi tetap saja mereka masing sering berkumpul bersama. Hal itu juga yang membuat Latif dan Rezi berteman dekat.
“Weh, jomblo! Mojok bae, lu!” ejek Rezi menepuk bahu Ali.
“Kemana aja kalian berdua? Perasaan enggak akan selama ini kalau jarak dari rumah kalian kesini?” tanya Ali menatap kedua sahabatnya dengan datar.
“Tau sendiri, lah, Li! Temen ente yang dari popok sampe dot ini gimana kalau udah liat warung bakso? Yaudah kita mampir dulu buat makan.”
“Eh, malah sakit perut gara-gara kebanyakan sambel!” gerutu Rezi sambil memegang perutnya.
“Sukurin!” umpat Latif lalu tertawa.
Pletak.
Rezi menyetil jidat Latif, hingga membuat Latif langsung terdiam dari tawanya.
“Atau jangan-jangan lu yang sabotase bakso gue, yah?!” tuduh Rezi sembari melotot pada Latif.
Mendengar itu, Latif justru kembali tertawa bahkan lebih keras dari sebelumnya dan membuat para pengunjung cafe lain menatap kearah mereka bertiga.
“Emang dasar kudanil lu, ya!”
“Lagian siapa suruh ente masih sempet-sempetnya mampir ketukang bakso? Udah tau kita mau ke cafe!”
“Nyalahin gue doang, nih? Lu kan juga ikut makan, Bambang!”
“Ya masa ane cuma nungguin ente makan doang?”
Ali hanya menggeleng melihat kelakuan dua sahabatnya ini kalau sudah bertemu. Masalah bakso aja mereka jadi begini, padahal sama-sama makan loh!
Akhirnya Ali pindah tempat dengan membawa laptop dan segala barang miliknya ke bangku yang lebih lega agar mereka beriga dapat lebih leluasa. Latif dan Rezi juga mengikuti kemana Ali pergi, lalu duduk dan mulai belajar bersama. Memang itu lah tujuan mereka kesini, untuk belajar, bukan untuk nongkrong enggak jelas yang cuma buang waktu.
“Mba beli Matcha-nya satu!” ucap seseorang pada pelayan cafe.
Ali menoleh, ternyata benar tebakannya. Uma tengah berdiri didekat meja kasir dengan pakaian seragam sekolah yang masih melekat pada tubuhnya.
“Mau diminum disini atau dibawa pulang, Kak?”
“Dibawa pulang aja, Mba.”
“Oke, tunggu sebentar, ya, Kak!”
Ali hanya memperhatikan pembicaraan antara pelayan cafe itu dengan Uma. Ali jadi teringat dengan ucapan Latif waktu itu, apa ia bisa menjadikan Uma calon istrinya? Apa Uma memiliki perasaan yang sama dengannya? Apa Uma siap menunggunya saat ia harus kuliah nanti?
“Makasih, Mba!” Uma menerima pesenanya dengan tersenyum ramah pada pelayan toko.
Hal itu juga tidak terlewat dari pandangan Ali. Sebuah minuman berwarna hijau terang yang dipesan Uma membuat Ali sudah menebak apa rasa minuman itu. Apalagi mengingat Uma juga membeli minuman dengan rasa yang kurang lebih sama saat mereka bertemu di supermarket beberapa waktu yang lalu.
“Gadis Matcha.”
“Ente ngomong, Li?” tanya Latif saat sekilas mendengar Ali bicara tapi tidak jelas.
Ali langsung mengalihkan tatapannya ke Latif, “Enggak. Ente aja yang salah denger kali, Tif!” sangkal Ali. Latif hanya memutar bola matanya malas dan kembali sibuk pada catatan Ali yang ia pinjam untuk disalin.
Ali kembali menoleh ke meja kasir, dan ternyata Uma tidak lagi berada disana.
‘Ya Allah, jagalah hati dan pikiran hamba. Dan kirimkanlah jodoh yang terbaik menurut Engkau, daan persatukan kami disaat yang benar-benar terbaik Ya Allah.’
* * * *
Bersambung ...
Jangan lupa Vote and coment yahhh:))
Maaf karena udah nunggu lama dan akhirnya Author pun come back😭

KAMU SEDANG MEMBACA
AZZUMA (END)
SpiritualMenunggu kamu adalah hal yang tidak pernah aku kira akan seberat ini akhirnya. Tanpa kepastian ada apa diujung sana, apa cerita ini akan berakhir bahagia atau akhirnya aku hanya membuang waktu saja. AZZUMA INAYAH PUTRI, gadis akhir jaman yang memili...