****
Jangan terus menerus menunda keinginan hijrah. Apalagi jika itu sudah terlintas dibenak kita, mungkin saja itu adalah hidayah Allah yang menyentuh hati kita. Kejar ia, karena itu tandanya Allah mencintai kamu, dan berharap kamu dapat lebih dekat pada-Nya.
Uma dan Ana mendengarkan dengan intens, sampai tak terasa dua jam berlalu. Acara kajian kali ini pun sudah selesai.
Saat ini Uma dan Ana tengah membantu merapikan masjid sebelum pulang. Sebenarnya ini hasil dari kesadaran mereka sendiri, apalagi melihat banyak bekas makanan yang berantakan dan juga panitia yang terlihat kekurangan orang membuat mereka menunda kepulangan.
“Kak Ana suka sama Ustadz Rega, yah?” tanya Uma, ketika keduanya sudah di jalan pulang.
Ana langsung berhenti mendadak, dan otomatis Uma pun menghentikan langkahnya.
“Kelihatan banget, ya, Ma?”
Uma tersenyum lalu mengangguk, dan berkata, “Enggak terlalu, sih, cuma tanya aja. Soalnya Kak Ana waktu ngeliat Ustadz Rega, tuh, kayak beda aja.”
Ana menatap Uma sambil tersenyum kikuk, terlihat dari matanya yang menyimpit.
“Aku sendiri masih bingung, Ma, aku cuma melihat sosok dia yang baik, ramah, dewasa, dan faham agama. Mungkin lebih ke kagum kali, yah?”
“Tapi, siapa sih yang enggak mau berjodoh sama dia? Masih muda, wawasannya luas, faham ilmu agama, sikapnya ramah, baik, dan sholeh lagi,” lanjutnya.
“Ditambah sama wajahnya yang rupawan, ya, Kak?” tambah Uma, berniat menggoda Ana.
Mata Ana pun semakin menyimpit. Kedua tangannya dipakai untuk menutup wajahnya. Terlihat sekali kalau perasaan Ana lebih dari sekedar rasa kagum saja.
“Ih, apaan, sih, Uma! Udah, ah, nanti kalau ada yang denger malu tau!” ucapnya malu-malu.
Uma tidak lagi mampu menahan tawanya.
Kalau bicara rasa kagum sendiri, Uma jadi teringat pada sosok Ali. Laki-laki yang mampu menyita perhatian Uma. Mengalihkannya pada sosok Fajar yang sudah lebih dulu menarik perhatiannya.
****
Langit malam menjadi tempat persinggahan apik bagi bintang-bintang. Meski gelap, langit tak pernah kehilangan pesonanya. Bintang bertaburan menemani sang purnama yang siap menjaga malam. Waktu menunjukkan pukul 02;30. Waktu yang tepat bagi seorang muslim untuk menunaikan sholat malam.
Uma tengah melakukan rutinitas barunya, yaitu sholat sunnah tahajjud. Beberapa hari yang lalu Uma mengikuti sebuah kajian online yang Uma ikuti dari grup islami secara virtual melalui sebuah aplikasi chatting.
Tentang bagaimana baiknya dan keistimewaan melaksanakan sholat sunnah tahajjud. Dan Uma berusaha untuk mengamalkannya.
Tangannya yang mengadahkan pertanda Uma tengah berdoa sehabis sholat. Teringat olehnya bagaimana perbuatan-perbuatan buruknya di hari kemarin. Bagaimana ia dengan berani membentak ibunya hanya karena sang ibu melarangnya memakai hijab yang panjang. Padahal ibunya tidak melarangnya memakai hijab yang menutup sampai bawah dadanya. Tapi bukan kah lebih panjang lebih baik?
Teringat kembali bagaimana ia yang masih suka memikirkan laki-laki yang bukan mahrom, dan banyak lagi prilaku Uma yang menurutnya adalah sebuah kesalahan. Sampai tak terasa isakan terdengar disela pintanya pada Allah. Tak lupa ia mendoakan yang terbaik bagi kedua orang tuanya, berharap hidayah dari Allah menyentuh hati mereka.
Sungguh, menangis sehabis sholat adalah cara paling baik untuk menghilangkan segala kegundahan dalam hati. Tanpa malu merengek pada Sang Maha Kuasa.
Tanpa Uma ketahui, seseorang mendengar dengan jelas dari balik pintu kamarnya. Tangisnya ikut jatuh ketika mendengar putrinya yang berdoa sampai menangis didalam kamarnya. Terselip rasa bersalag dalam benaknya.
* * * *
Pagi ini Uma berangkat kesekolah dengan hati yang merasa senang. Sepedanya yang sudah selesai diperbaiki kemarin langsung ia pakai untuk pergi kesekolah hari ini. Menikmati udara pagi yang belum tercemar karena asap kendaraan. Segar. Uma menggayuh sepedanya sembari terus merapalkan sholawat dari mulutnya.
Uma mendadak ingat percakapannya bersama Kak Ana beberapa hari yang lalu. Ternyata Kak Ana adalah lulusan pesantren. Seluruh keluarganya juga tidak masalah mengenai cadar yang ia kenakan, malah abi-nya sendiri lah yang memintanya saat ia akan pergi menempuh pendidikan di pesantren dan hingga kini menjadi pakaiannya sehari-hari. Betapa beruntungnya Kak Ana memiliki keluarga seperti mereka. Perempuan yang cantik, baik, rendah hati, sopan santun, dan pastinya menutup auratnya, lulusan pesantren pula. Siapa laki-laki yang tidak akan terpikat olehnya? Uma jadi iri.
Fastabiqul khirot, berlomba-lomba dalam kebaikan. Semua perempuan bahkan semua umat muslim setara di mata Allah, hal itu meyakinkan Uma bahwa ia pun bisa menjadi wanita yang baik. Setelah sholat subuh tadi pagi, Uma berpikir untuk merubah sikapnya, meski ia bukanlah lulusan pesantren tapi ia akan tetap berusaha untuk menjadi wanita yang sholeha. Mulai saat ini Uma akan fokus untuk memperbaiki dirinya dan akan belajar yang giat disekolah maupun dirumah. Dan mengenai ibunya, ia serahkan kepada Allah. Allah Maha Membolak-balikkan hati, dan Uma percaya akan hal itu.
“Assalamualaikum. Pagi, Uma!” sapa Ardi saat baru saja sampai dengan sepeda motornya yang ia pakirkan di samping sepeda Uma.
“Wa'alaikumsallam. Pagi juga, Di" balasnya tersenyum tipis.
“Saya duluan, yah?” lanjutnya setelah memastikan sepedanya tidak akan jatuh. Sementara Ardi, laki-laki itu masih bertengger di atas motornya. Lalu mengangguk singkat.
“Semoga Allah menyatukan kita kelak, Uma,” ucapnya bermonolog saat tubuh Uma berjalan semakin menjauh. Senyuman terbit di wajahnya.
Sampai sebuah tepukan di punggungnya mengagetkan Ardi. Ia adalah Fajar, sahabatnya.
“Lagi liatin apaan, Di?” tanyanya mengikuti arah pandangan Ardi, tapi tak menemukan sesuatu disana. Karena Uma sudah masuk kedalam gedung sekolah.
“Enggak ada, udah yok masuk!”
Keduanya berjalan menuju kelasnya sebari berbincang mengenai tugas dan juga hal lain yang membuat keduanya tertawa. Begitulah mereka, jika sudah berdua terlihat sekali sangat akrab. Tapi ketika keduanya dipisah, akan terlihat bagaimana selayaknya laki-laki pendiam yang irit bicara, apalagi pada perempuan. Tapi entah kenapa, berbeda jika itu pada Uma.
Dikelas, Uma tengah menunggu Risa yang belum juga datang, padahal bel masuk tinggal tujuh menit lagi. Kebiasaan sahabatnya itu adalah datang di menit-menit terakhir sebelum masuk kelas.
“Assalamualaikum, Uma zheyenk!” sapanya sambil berteriak, berjalan mendekat pada Uma dan duduk dibangkunya yang ada disamping Uma.
“Jangan teriak-teriak, Sa! Masih pagi tau!” omel Uma, menggelengkan kepala.
Sedangkan Risa hanya menyengir tanpa merasa bersalah.
“Tanya dong, Ma! Kenapa aku seneng banget gini?”
Butuh beberapa saat Uma mengerti maksud Risa. Ada-ada saja, kenapa dia tidak langsung cerita?
“Kenapa emangnya? Dapet uang jajan tambahan? Baru beli novel terbaru? Atau abis dapet arisan?” tanya Uma asal tebak.
Risa malah memanyunkan bibirnya, lalu menggeleng. Semua tebakan Uma meleset.
Senyum lebar kembali tergambar diwajahnya, dan berkata “ Tadi didepan aku papasan sama Fajar! Mana dia senyum lagi ke aku, aduh, pagi-pagi udah dibuat terbang aja, deh!” jelasnya dengan penuh semangat.
Mendengar nama Fajar Uma jadi semakin yakin kalau sahabatnya ini memang menyukai teman semasa SMP-nya itu. Mendadak ada sesak dalam hatinya. Uma yang menahan perasaannya sejak SMP pada laki-laki itu, kini malah dihadapkan kenyataan kalau sahabatnya menyukai laki-laki yang sama. Uma ber-istigfar dalam hatinya.
“Istigfar, Sa, jangan berlebihan gitu! Berdoa aja, semoga Fajar memang jodohmu kelak!”
“Aamiin!” seru Risa penuh semangat.
Uma tersenyum tipis. Mungkin ini langkah pertamanya untuk mengubur perasaannya pada laki-laki itu. Lagi pula ia yakin, perkara jodoh, rizeki bahkan kematian sudah ada yang mengatur.
****
Bersambung....

KAMU SEDANG MEMBACA
AZZUMA (END)
SpiritualMenunggu kamu adalah hal yang tidak pernah aku kira akan seberat ini akhirnya. Tanpa kepastian ada apa diujung sana, apa cerita ini akan berakhir bahagia atau akhirnya aku hanya membuang waktu saja. AZZUMA INAYAH PUTRI, gadis akhir jaman yang memili...