Bagian 19.

5 0 0
                                    

Hari ini adalah hari dimana Uma dan Risa dapat berleha-leha disekolah. Meskipun tidak ada pelajaran, tapi para guru tetap mewajibkan seluruh murid kelas dua belas untuk masuk. Kesempatan ini sering kali dipakai untuk mengerjakan tugas yang mungkin masih ada yang belum selesai, agar saat ujian nasional nanti seluruh tugas tidak ada lagi yang tertinggal.

“Uma, setelah ini Uma mau coba cari kerja atau kuliah?” tanya Risa, saat keduanya tengah berada di kelas.

“Uma masih bingung, Sa, Ibu minta Uma buat kuliah, sih, tapi Uma kasian kalau liat ibu sama bapak terus-terusan biayain Uma, Sa.”

“Kenapa Uma enggak coba kuliah sambil kerja? Nanti biar Risa tanyain sama ayah Risa. Siapa tau ada pekerjaan buat Uma?”

“Boleh juga saranmu, Sa! Nanti Uma coba tanya ibu-bapak dulu, yah?”

Risa hanya tersenyum sambil mengangguk.

“Kamu ada niatan nikah muda, Ma?”

Uma yang tengah meminum segelas es matcha itu keselek hingga terbatuk-batuk. Risa yang melihat wajah Uma yang memerah, mencoba menepuk punggung Uma pelan untuk meredakan batuknya.

“Pelan-pelan aja, Ma! Enggak ada yang ngejar, kok!” ujar Risa setengah bercanda.

“Abisnya pertanyaan kamu aneh, sih, Sa!” jawab Uma setelah batuknya mereda.

Risa terkekeh pelan, “ Kan siapa tau, Ma? Lagian enggak ada salahnya, ‘kan, kalau kita nikah muda? Risa aja kalau memang udah ketemu jodohnya mau-mau aja,” ucap Risa sambil tersenyum, yang justru terlihat mencurigakan bagi Uma.

“Memangnya sudah ada yang berniat melamar kamu, Sa?”

“Udah,” jawab Risa sepontan.

Mendengarnya mata Uma seperti akan keluar.

“Eh, enggak, kok, Ma! Risa salah ngomong tadi!” ralatnya gelagapan.

Uma menatap Risa intens, ia tau ada yang tengah disembunyikan oleh sahabatnya ini. Risa yang merasa ditatap oleh Uma memilih mengalihkan padangannya, karna ia tau Uma pasti tengah mencurigai dirinya.

“Assalamualaikum, Risa,” salam dan sapa Fajar pada Risa lengkap dengan sorot mata dan juga senyuman kearah Risa.

‘Kok cuma Risa yang disapa?’ batin Uma bertambah curiga.

“Wa'alaikumsallam,” jawab keduanya bersamaan.

“Fajar dari mana?” tanya Risa pada Fajar yang setia berdiri didekat meja mereka.

“Beli permen, iseng soalnya.” Fajar menunjukkan empat buat permen kaki yang berada ditangannya.

“Risa mau?” tawarnya.

“Hah? Mm ... boleh memangnya?”

Fajar mengangguk, dan meletakkan satu permen miliknya di atas meja.

“Makasih.” Fajar hanyamengangguk sebagai jawaban.

Kini tatapan Fajar beralih pada Uma.

“Mau?” tawarnya juga.

Uma menggeleng, “Enggak, deh, Jar, makasih.”

“Yaudah, saya pergi dulu. Assalamualaikum.”

“Wa'alaikumsallam,” jawab keduanya lagi sebelum Fajar berlalu dari hadapan mereka.

Risa langsung mengambil permen pemberian Fajar, terlihat sekali kalau sahabat Uma itu tengah senang bahkan sampai wajah memerah. Uma tidak begitu heran sih, apalagi mengingat kalau Risa pernah mengatakan kalau ia memang jatuh hati pada teman smp Uma itu.

“Jangan diliatin aja, Ris, permennya enggak akan berbuah jadi cincin!” Uma hanya menggeleng sembari tersenyum. Ternyata begitu yah ekspresi kalau baru saja diberikan barang oleh orang yang kita cintai?

Fiks, sih! Permen pemberian Fajar bakal aku musiumkan, Ma!” Uma kembali tersedak karena mendengar ucapan Risa yang terdengar ngawur itu.

Dimusiumkan? Permen mau dimusiumkan? Uma sepertinya perlu segera menyadarkan sahabatnya ini. Ada-ada saja!

“Sadar, Sa, Sadar!” seru Uma mengguncangkan tangan Risa.

Risa justru tertawa, apalagi saat melihat reaksi Uma yang seakan matanya ingin melompat keluar dari tempatnya. Risa cuma bercanda. Kini justru Risa tengah mencoba membuka bungkus permen dan memakannya.

“Kamu lagi kenapa, sih, Sa? Kayaknya lagi bahagia banget?”

Risa mengeluarkan permen dari mulutnya, lalu menatap Uma sambil tersenyum lebar.

“Kamu bakal percaya kalau aku bilang kemarin Fajar bilang ke aku, kalau dia bakal lamar aku setelah kuliah?” tanya Risa, yang justru terdengar seperti pernyataan.

“M-maksudnya?” Uma perlu memuat ulang ucapan Risa satu persatu.

Melamar katanya?

Seorang Fajar?

“Kita enggak lagi tidur, ‘kan, Sa?” Uma menatap sekelilingnya, dan mencubit lengannya sendiri.

Sakit. Oke berarti ini bukan mimpi!

Risa terus tersenyum sambil menatap permen kami ditangannya, sesekali merasakan manisnya yang menyentuh lidahnya. Risa sangat bersyukur, meskipun memang belum pasti berjodoh pada Fajar, setidaknya Risa tidak merasakan jatuh cinta sendirian.

Uma baru percaya saat Risa terus tersenyum, ia tau bahwa sahabatnya itu tengah bahagia karena perasaannya terbalaskan. Uma ikut senang. Hanya senang! Karena memang sudah tidak ada lagi yang spesial mengenai sosok laki-laki itu dalam hatinya.

****

Jam pulang sekolah sudah berlalu beberapa menit yang lalu. Kini Uma tengah berjalan menuju halte untuk mencari kendaraan umum yang mengarah kerumahnya. Risa sudah pulang lebih dulu karena dijemput ayahnya. Uma tidak merasa iri dengan itu, mengingat bagaimana kerja keras ayah Uma yang bekerja sebagai tukang ojek untuk membiayai sekolahnya, lebih baik beliau istirahat dirumah ketimbang harus repot menjemput Uma.

Sampai sebuah sepeda motor mendekat dan berhenti didepan Uma yang tengah berdiri di atas trotoar. Dia Ali, laki-laki yang masih menggunakan lengkap atribut sekolahnya berhenti dan tersenyum sekilas kearahnya sebelum mengalihkan padangan kearah lain.

“Assalamualaikum, Uma.”

“Wa'alaikumsallam, ada apa Li?” tanya Uma langsung.

Saat Ali menatap Uma, kini Uma yang menunduk ketimbang bertatap dengan Ali.

“Apa saya boleh minta dua hal sama kamu?”

“Minta sesuatu? Dua hal? Kalau selagi saya punya dan mampu, insyaallah saya akan memberikannya padamu, Li.” Jawab uma masih dengan menundukkan pandangan.

Ali tersenyum, lalu segera mengalihkan pandangannya ke arah jalan dihadapannya.

“Apa saya boleh minta kita bertemu nanti setelah kelulusan di taman dekat sekolah? Tidak hanya berdua, kamu bisa ajak Risa dan saya akan ajak Latif dan Rezi untuk menemani,” Ali menjeda ucapannya sesaat.

“Apa kamu bersedia? Ada hal yang akan saya bicarakan danganmu nanti.”

Uma masih diam, apa yang harus ia jawab? Saat ini saja Uma tengah takut kalau detak jantungnya akan didengar Ali karna saking kerasnya.

“Bagaimana, Ma?” tanya Ali lagi, karna tidak mendapat jawaban dari Uma.

Insyaallah, Li, tapi saya tidak bisa janji,” balas Uma dengan suara yang memelan.

Ali mengangguk paham, “Yasudah, kalau gitu saya pamit. Assalamualaikum.”

“Wa'alaikumsallam,” jawab Uma. Ali mulai menjalankan motornya, meninggalkan Uma dengan seulas senyuman yang tersembunyi dibalik helm fullface yang ia kenakan.

****

Bersambung .....

06/03/2023.

AZZUMA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang