Bagian 4.

9 0 0
                                    

****

Uma menghela napas. Akhirnya dia bertemu dengan laki-laki yang mengirimkan pesan cinta untuknya.

“Jadi, apa jawabanmu?” tanyanya tampak ragu.

Uma yang sejak tadi berusaha tidak menatap laki-laki itu, akhirnya melakukannya. Lalu tersenyum samar.

“Sebelumnya, aku datang bukan ingin memenuhi permintaan darimu untuk berpacaran. Aku bahkan tidak mengenal namamu. Aku datang hanya ingin memberikan jawaban atas pertanyaanmu disurat kemarin.” Uma menjeda ucapannya sesaat.

“Aku tidak pernah berpacaran, dan semoga aku istiqomah untuk tidak melakukan perbuatan maksiat seperti itu.”

laki-laki ber-nametag Bayu Pradana itu tersenyum remeh. Lalu berjalan semakin mendekat pada Uma hingga tersisa dua langkah diantara mereka.

“Jangan sok belagu, deh, Uma! Diluaran sana pasti kamu diam-diam juga pacaran, ‘kan? Lagian, siapa yang bisa menolak tawaran dari Bayu Pradana yang populer ini, hah? Jangan sok jual mahal kamu, Ma!”

Uma beristigfar dalam hati. Bagaimana bisa, seorang laki-laki yang terlihat baik, justru malah seakan merendahkan seorang wanita? Apalagi mem-fitnah Uma.

“Gue tanya deh sekali lagi, lu mau enggak jadi pacar gue? Gue cinta sama lu, Ma!” tanyanya lagi. Tapi kini dengan bahasa lu-gue, bukan lagi aku-kamu seperti sebelumnya.

“Tidak, dan tidak akan pernah! Saya memang bukan wanita mahal, tapi saya juga bukan wanita rendahan! Cinta seperti apa yang kamu maksud, hah? Cinta yang bahkan tidak menghargai perasaan orang lain, itu yang kamu sebut cinta?” jawab Uma dengan nada meninggi.

“Halah! Sok bijak lu!” bentak bayu dengan tangannya yang sudah terkepal karena menahan amarah.

Uma yang dibentak itu kaget. Sebenarnya dibentak atau di marahi dengan nada yang tinggi sudah biasa baginya. Tapi itu hanya kedua orangtuanya! Lah, ini? Laki-laki yang bahkan baru berbicara dengannya kali pertama ini sudah berani membentaknya?

“Jangan munafik, deh!” serunya lagi.

Uma hanya bisa menunduk, keberaniannya untuk membalas semua ucapan laki-laki itu sekaan lenyap bersama angin begitu saja. Rasa sakit pun kian menjalar karena umpatan yang dia dengar dari mulut laki-laki yang katanya ‘mencintainya' ini.

“Cinta kamu itu cuma nafsu!” lirih Uma sambil menunduk karena takut, bahkan air mata sudah membuat penglihatannya memburam.

Bayu terkekeh hambar, yang justru terlihat menyeramkan bagi Uma yang mendengarnya.

Karena tidak tahan, Uma mencoba lari dari hadapan Bayu. Tapi, sayangnya tangan Bayu dengan cepat menahan pergelangan tangannya.

“Mau kemana lu, hah?!”

“Lepas, Bay!” serunya mencoba melepaskan tangannya yang dicekal erat oleh Bayu.

“Oke, gue bakal lepasin kalo lu mau jadi pacar gue?”

“Kamu gila, yah?” sentak Uma tidak tahan.

“Iya gue emang gila, soalnya kalo gue berhasil dapetin lu, gue bakal menang dari tantangan yang temen-temen gue kasih, bahkan gue bakal dapet duit!”

Lagi-lagi Uma dibuat tidak percaya. Dirinya dijadikan sebagai bahan taruhan? Apa mereka sudah gila? Lalu kenapa harus dirinya? Apa untungnya bagi mereka?

Plakk.

Satu tamparan cukup keras melesat mengenai pipi kanan Bayu, hingga membuat laki-laki itu melepaskan genggaman tangan Uma.

“Saya tidak akan mau berpacaran! Apalagi itu cuma sebagai bahan taruhan untuk kalian! Dan saya ingatkan sekali lagi ... jangan berani membentak perempuan yang bahkan kamu tidak mengenalnya! Hidup saya sudah berat, ditambah ketemu sama cowok enggak punya etika dan sopan santun kayak kamu! Dan laki-laki yang berani menghina perempuan, itu cuma laki-laki pengecut!” Uma sengaja menekan kata akhir dari ucapannya. Lalu bergegas pergi meninggalkan Bayu yang masih diam ditempatnya.

Tanpa sadar, langkahnya yang menjauh pun diikuti oleh tangisnya yang tumpah. Hatinya sesak, dia cuma mau menjadi wanita yang baik. Tapi kini dia bahkan menampar seseorang dengan tangannya?

“Astagfirullahalazim, Ya  Allah ampunilah dosa hamba-MU ini, hanya kepada Mu lah hamba memohon ampun dan memohon pertolongan.”

Uma menghapus jejak air matanya sebelum masuk kedalam kelas. Untungnya belum ada siapapun yang datang pagi ini. Setidaknya dapat sedikit memberinya waktu untuk menenangkan diri.

****

Bersambung ....

Jangan lupa vote & coment yaah🤗

AZZUMA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang