Bagian 24.

7 0 0
                                    


Sudah hampir dua tahun ini seseorang itu tengah berusaha dengan keras untuk kehidupannya dikota orang, mulai dari kuliah, sampai kerja paruh waktu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya juga keluarganya yang berada di kota berbeda dengannya.

Semua demi keinginan sang ibunya. Kuliah di Surabaya adalah harapan ibunya sewaktu masih muda dulu, ibunya tidak kesampaian makanya ia berharap anaknya kuliah disana..

“Udah, sih, ambil aja pekerjaan yang kemarin ane tawarin, Li!” suara seseorang di sebrang telephone.

Ane kagak enak, Tif, ngerepotin ente mulu!” jawab Ali bersikeras menolak tawaran yang  Latif berikan.

“Kayak sama siapa aja, deh, ente Li!”

Ali menghela napas, berbicara dengan Latif yang juga keras kepala juga akan percuma.

“Yaudah, nanti ane pikirkan dulu.”

“Bagus! Udah, ane masih ada kerjaan, nih, kita lanjut nanti malam lagi!”

“Iya.”

“Assalamualaikum.“

“Wa'alaikumsallam.”

Latif memutuskan telephonnya lebih dulu. Ali hanya bisa menghela napas. Sejak dia tinggal di kota Surabaya untuk kuliah ini, sudah banyak sekali bantuan dari keluarga Latif padanya. Mulai dari membantu mencari kontrakan untuk tempat ia tinggal, bahkan sampai pekerjaan paruh waktu yang saat ini Ali lakoni, yaitu sebagai pelayan cafe. Cafe ini juga sebenarnya milik keluarga Latif yang bercabang di Surabaya, dan mengenai pekerjaan dari Om Latif adalah tawaran menjadi manager diperusahaan milik Tomi—Om Latif.

Saat ini kuliah Ali juga sudah sampai di semester 6, tugas pun sudah mulai berdatangan bahkan tak jarang Ali mengerjakannya hingga larut malam.

Saat ini, laki-laki berusia 21 tahun itu tengah berjalan menuju kosannya. Setiap harinya Ali lalui dengan rasa syukur, dan semangat. Dukungan dari keluarga dan sahabat selalu bisa menjadi obat saat Ali merasa lelah dengan aktifitasnya.

Malam mejelang, sehabis menunaikan ibadah sholat maghrib dan juga membaca Al-quran, Ali menyeduh kopi dan menikmatinya di rooftop kosannya. Kosan yang memiliki tiga lantai ini, memiliki rooftop di lantai ketiga. Memang tidak begitu rapi, tapi anak-anak yang mengekos sudah biasa berkumpul atau menghabiskan waktu diatas sini jika bosan dikamar, termasuk Ali.

Segelas kopi yang masih mengepul tetap Ali minum perlahan, sudah kebiasaan Ali untuk tidak meniupnya. Karena sang abi pernah mengajarkannya bahwa:

Dalam Hadits Ibnu Abbas menuturkan “Bahwasanya Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam melarang bernafas pada bejana minuman atau meniupnya”. (HR. At Turmudzi dan dishahihkan oleh Al-Albani).

Itu lah mengapa Ali sudah biasa menunggu suatu hidangan agar lebih dingin dan tidak meniupnya. Ali merasa lelahnya sedikit terobati jika sudah begini. Apalagi mengingat pesan dari sahabatnya—Rezi—beberapa bulan yang lalu. Tentang keadaan seseorang yang masih menetap dengan damai dihatinya.

Tidak berlebihan dalam menaruh rasa, apalagi kepada manusia. Kalimat itulah yang menjadi pegangan kuatnya selama ini, meski tak jarang Ali pun merasa takut sekaligus rindu. Sampai ketakutannya hilang saat ia tau kalau perempuan yang namanya tak segan ia sebut dalam do'a ternyata masih belum memiliki pasangan. Meski tidak menutup kemungkinan bagaimana kedepannya nanti, apalagi Ali masih memiliki waktu satu tahun kedepan untuk menuntaskan kuliahnya.

‘Ya Allah, jagalah hatiku dan hatinya. Jika kami memang berjodoh maka dekatkanlah. Namun jika ia membuat hamba menjadi lalai pada perintahmu, maka bantulah hamba untuk melupakannya.’

AZZUMA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang