Bagian 25.

10 0 0
                                    

Sore ini Ali tengah dilanda kecemasan. Apalagi setelah memikirkan ucapan sepupunya kemarin. Tekadnya sudah bulat, ia akan melamar Uma malam ini! Soal kuliah, ia bisa ambil cuti ketika menikah nanti, lagipula menikah adalah hal baik. Dan untuk kedepannya, Ali serahkan semuanya pada Sang Illahi Robbi.

“Kamu sudah siap, Li?” tanya Halimah masuk kedalam kamar putranya.

Bismillah, insyaallah siap, Bun!” jawab Ali yakin.

“Yaudah, ayuk berangkat! Enggak enak kalau mereka sampai menunggu terlalu lama.

Ali hanya mengangguk dan berusaha tersenyum untuk mengurangi kegugupannya.

* * * *

Di tempat lain, tepatnya di kediaman rumah Uma yang baru di renovasi satu bulan ini tengah mempersiapkan makanan dan kue-kue kering untuk dihidangkan kepada para tamnya nanti.

Uma sendiri sudah tidak tau harus mengatakan apa dan melakukan apa. Uma memang sudah bersiap sejak tadi, tapi tetap saja masih merasa kurang yakin dengan penampilannya saat ini. Apalagi setelah satu hari yang lalu sebuah pesan chat muncul dan membuatnya merasa senang sekaligus takut. Takut kalau pesan itu hanya bercanda. Tapi sejak kapan Ali seperti itu? Apalagi membercandakan sebuah niatan lamaran padanya. Sampai akhirnya Uma bertanya langsung pada Anna di telepon, untuk memastikan. Dan jawabannya lah yang membuat Uma langsung percaya dan segera memberitahukannya pada kedua orangtuanya.

Uma memandang sekeliling kamarnya, lalu tersenyum. Usahanya bekerja keras selama ini berbuah manis, meski bukan rumah baru dan besar. Setidaknya Uma masih bisa memperbaiki rumah lama Uma agar lebih terlihat baik dan juga nyaman untuk kedua orangtuanya.

“Tarik napas! Jangan kayak kanebo nanti wajahnya! Masa perempuan yang mau dilamar malah tegang gini?”

Pipi Uma langsung merona karena ucapan Rumi tadi, bahkan membayangkan sosok laki-laki itu datang saja sudah membuatnya kesulitan bernapas. Sejak dulu Uma percaya, bahwa Allah lebih tau apa yang terbaik untuknya. Karena bisa jadi, doa yang terus kita langitkan akan segera berbuah manis pada waktunya.

“Umi, ayo kita kedepan! Keluarga Nak Ali sudah datang,” ucap Jufri memasuki kamar Uma.

Mendengar nama Ali disebut, membuat jantungnya semakin tidak karuan. Bibir Uma sejak tadi tidak berhenti untuk ber-istigfar untuk menenangkan hatinya.

“Nanti kamu keluar tunggu ibu panggil aja, yah?” Rumi menepuk pundak untuk menenangkan putrinya.

“Iya, Bu.” Uma menganggup patuh.

Di ruang tamu sudah terdapat keluarga Ali dan kedua orang tua Uma. Semuanya masih sama-sama diam, karena bingung harus mulai dari mana. Apalagi keadaan yang terkesan mendadak ini. Sebelumnya Uma juga sudah menceritakan bagaimana bisa ia mengenal soal Ali kepada kedua orangtuanya.

“Sebelumnya, perkenalkan nama saya Rehan, Om Ali. Karena ayah Ali telah wafat saat Ali masih kecil, dan ini ibu beserta adik Ali,” ucap Rehan menunjuk Halimah dan Adnan bergantian, bermaksud memperkenalkan keluarga Ali pada orang tua Uma.

“Jadi, kami disini bermaksud untuk melamar putri bapak-ibu untuk anak kami, Ali,” lanjutnya, berterus terang.

Jufri daan Rumi saling melempar pandangan untuk sesaat, lalu setelah mereka sama-sama tersenyum.

“Sebelumnya, Apa Nak Ali ini sudah mengenal putri kami?” tanya Jufri.

Ali yang sejak tadi hanya diam dan tersenyum itu menjawab, “Saya memang sudah mengenal Uma sejak dibangku smk. Meski kami beda sekolah, tapi kami bberapa kali bertemu, karena kami memang mengikuti kegiatan yang di usul Uma daan sahabatnya.

AZZUMA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang