Bagian 3.

10 1 0
                                    

****

Pagi ini Azzuma atau Uma ini sudah berangkat kesekolahnya dari pukul setengah enam pagi. Anggap saja gadis remaja itu kerajinan, tapi memang begitulah hari-hari Uma kalau paginya berjalan lancar sampai kesekolah. Untungnya  hari ini Rumi sedang sibuk membuat kue pesanan untuk tetangga yang mau mengadakan hajatan. Jadi Rumi tidak memeriksa tas Uma untuk melihat apa didalamnya ada jilbab panjang nan lebar atau tidak.

“Kamu itu masih muda! Dandanan kamu jangan kayak udah ibu-ibu!”

“Kamu enggak malu apa? Liat tuh anaknya Bu Seli, pakaiannya modis, pakai kerudung yang model sekarang, bukan kayak kamu!”

Dan masih banyak lagi ucapan-ucapannya seollah yang berjilbab syar'i lebih tua dari umurnya. Apalagi membandingkan putrinya dengan anak-anak tetangga yang gaya busananya lebih terlihat staylis ketimbang putrinya sendiri.

Bukannya Azzuma tidak mau seperti mereka, tapi kenyamanan lebih Uma pilih ketimbang terlihat cantik atau modis tapi membuat dirinya tidak merasa nyaman. Apalagi hijab-hijab yang dipakai kadang tidak terlalu lebar, dan itu membuat mereka tidak bisa menutupi area dada. Apalagi dengan dibuat gaya yang disampirkan kepundak  hingga tidak dapat menutupi area yang seharusnya ditutup. Padahal jelas dikatakan dalam Alquran, perintah penggunaan hijab disebutkan pada Surat Al-Ahzab ayat 59:

“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka’. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Sepeda berwana biru dengan keranjang didepannya milik Uma sudah terparkir di parkiran sekolah. Keadaan disekolah yang masih sangat sepi, membuatnya merasa tenang karena tidak akan ada banyak mata yang tertuju padanya. Apalagi, tadi setelah sampai Uma langsung ganti hijab di toilet, karena hijab berwarna putih yang diberikan dari sekolah saat baru masuk kelas  satu SMK sudah terlihat menguning.  Dan Rumi tidak mau membelikannya kerudung baru dengan alasan ‘nanggung' padahal hijab juga bisa dipakai diluar sekolah. Tapi, tetap saja, ibunya itu menolak membelikannya yang baru.

“Azzuma, tunggu!” tiba-tiba suara seseorang menghentikan langkahnya.

Jarang sekali ada yang memanggil namanya lengkap, biasanya, yang teman-teman Uma hanya memanggilnya ‘Uma' bukan Azzuma.

Uma menoleh kesumber suara yang berasal dari arah belakang. Disana, dia mendapati seorang cowok berperawakan tinggi, kurus, dengan wajah yang terlihat tampan. Hidungnya mancung, kulit putih bersih, matanya yang hitam legam, dan jangan lupakan alis bak ulat bulu yang bertengger di atas matanya. Tampan.

Mata keduanya bertemu untuk beberapa saat. Uma yang menyadari itu buru-buru menoleh kearah lain. Namun tidak bagi laki-laki yang tidak dikenal Uma itu. Uma memang seperti pernah melihatnya, tapi tidak mengenal nama karena memang mereka tidak satu kelas. Apalagi kebiasaan Uma yang lebih suka dikelas kalau perutnya tidak merasa lapar saat istirahat.

Untuk sesaat keduanya hanya diam. Sampai akhirnya laki-laki berseragam sama dengannya itu maju beberapa langkah mendekat ke uma.

“Assalamualaikum,  Uma?”

“Wa'alaikumsallam, ada yang bisa saya bantu?”

“Saya hanya ... mau minta maaf,” ucapnya dengan gugup.

“Untuk?”

“Untuk ditaman kemarin.”

“Taman?” tanya Uma, masih bingung dengan yang dimaksud laki-laki yang lebih tinggi darinya ini.

“Aku yang mengirimkan surat itu untukmu, Uma. Kemarin, aku tindak menghampirimu karena melihatmu datang bersama temanmu,” jelasnya sambil menatap wajah gadis dihadapannya.

****

Bersambung ...

Jangan lupa vote & coment yahh🤗

AZZUMA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang