Hari yang ditunggu-tunggu Ali telah tiba. Jelas terlihat gugup diraut wajahnya. Mulutnya sejak tadi tak henti-hentinya merapalkan istigfar dan dzikir lainnya, bermaksud untuk menenangkan hatinya.“Tenang, Li, tenang!” ujar Rezi untuk kesekian kalinya.
“Tau, nih! Ente yang bolak-balik ane yang pusing!” timpal Latif menggeleng.
Ali tidak menyahut, dan terus mondar-mandir dihadapan Rezi dan Latif yang sudah bersedia menemaninya hari ini.
“Jodoh enggak akan kemana!” ucap Latif lagi.
Sampai suara seseorang membuatnya membatu.
“Assalamualaikum, Ali?” ucap seseorang yang sejak tadi ditunggu Ali akhirnya datang.
‘Bismillah.’
“Wa'alaikumsallam,” jawab ketiga laki-laki itu.
Keduanya diam, pun dua laki-laki dan Risa yang ikut menemani mereka.
“Ali sama Uma keren, yah?” bisik Rezi pada Latif.
Latif menaikan satu alisnya.
“Iya, ngomong aja pake telepati gitu,” lanjut Rezi.
“Terserah, dah, Zi, terserah!” jawab Latif membatin. Telepati? Dikira ini masih jaman nenek lampir? Ada-ada saja!
“Tif, Sa, kita kesana dulu, yuk? Kayaknya kalo kita tetep disini bakalan sampe tua juga mereka enggak akan ngomong.” Latif dan Rezi bangkit, setelah mendapatkan angggukan dari Risa mereka berlalu.
‘Lama banget, yah, pekanya?’ ucap batin Ali.
Setelah ketiganya berlalu, Uma memilih duduk dibangku panjang taman yang tadi ditempati Latif dan Rezi.
Ali pun sama. Tapi masih tetap berjarak, Uma di ujung bangku, Ali pun begitu.
Ali berdeham, ia tidak suka dengan rasa canggung seperti ini, rasanya cuma untuk melatih jantungnya.
Ali menatap lurus kedepan, “Terimakasih karena kamu sudah datang, Uma.” Senyuman terbit di wajahnya.
“Iya, memangnya kamu ingin bicara apa, Li?” tanya Uma to the point.
Ali menghembuskan napasnya untuk sedikit menenangkan hatinya. “Apa kamu mau menungguku, Uma?” Ali menoleh sesaat, saat mata mereka bertubrukan sesaat keduanya langsung mengalihkan pandangan.
“Maksudnya?” tanya Uma bingung.
“Kita sama-sama tau kalau kita sudah lulus sekolah,” Ali menjeda sesaat.
“Aku ingin memberitahukan niat baikku ke kamu, aku mau melamar kamu setelah lulus kuliah nanti. Apa kamu dapat menungguku?” Ali menatap Uma dari samping, terlihat jelas raut wajah Uma yang berubah.
“Untuk apa menunggu hal yang belum pasti?” jawab Uma tanpa menoleh.
Ali menunduk, membenarkan ucapan Uma. Katakan saja ia egois saat ini, tapi memang begitulah adanya. Ali ingin Uma menjadi pasangannya kelak.
“Aku akan kuliah di bogor tiga tahun kedepan, aku juga ingin menjadi laki-laki yang lebih baik saat bertemu dengan keluargamu nanti, Ma.”
“Kamu memang egois, Li! Aku diminta menunggu? Saat kamu bisa saja melupakan aku disini.”
Jujur hati Uma pun terasa sakit bercampur senang dalam hatinya. Satu sisi ia senang karena ia tidak mencintai sendirian, tapi ia juga tidak bisa jika harus menunggu apalagi berharap pada manusia. Karena yang sudah-sudah, berharap pada manusia hanya akan berujung kecewa.
“Kamu benar, Ma,” Ali bangkit dari tempat duduknya.
“Maaf kalau ucapanku barusan hanya akan membuatmu berharap, aku juga manusia yang mungkin saja akan berubah pikiran. Apalagi ada Allah yang dapat membolak-balikkan hati.” Dengan berat hati Ali tersenyum, dan menatap Uma yang juga berdiri.
“Setidaknya kamu tau perasaanku, Ma, insyaallah aku akan secepatnya datang kerumahmu. Menunggu atau tidak itu terserah dirimu. Kalaupun nanti aku terlambat datang? Aku ikut bersyukur, berarti ada laki-laki lain yang lebih pantas menjadi imam untukmu.”
Uma tersenyum, lalu menundukkan pandangannya.
“Fokuslah pada kuliahmu dulu, Li! Jodoh tidak akan kemana. Masalah menunggu atau tidak? Biar waktu saja yang menjawab.”
Ali tersenyum, apa salah kalau arti dari ucapan Uma barusan adalah ia pun berharap mereka berjodoh?
“Kalau memang hanya itu yang ingin kamu katakan? Aku pamit pulang, Li. Assalamualaikum,” ucap Uma dan berbalik untuk meninggalkan Ali.
“Uma ... besok aku sudah akan pergi, jaga hatimu, jaga matamu, bukan untukku, tapi untuk calon imammu,” ucap Ali.
Uma yang berhenti karena namanya dipanggil itu hanya dapat tersenyum tanpa menoleh. Tanpa sadar pun ia mengucapkan hal yang sama untuk Ali dalam hatinya.
“Ayo, Sa, kita pulang!” ajak Uma pada Risa yang berdiri tidak jauh dari tempatnya semula.
“Sudah?” tanyanya heran.
Uma tersenyum lalu mengangguk.
Risa tidak berani untuk bertanya sekarang, biarlah ia menunggu Uma yang menceritakan padanya.
Malam menjelma, menggantikan siang dengan langit gelap dan jutaan bintang. Kelulusan sekolah sudah berlalu seminggu yang lalu. Mencari kerja kesana-kemari pun sudah Uma lakukan, sampai tadi sore Risa mengabarinya bahwa ibunya menawarkan sebuah pekerjaan padanya. Menjadi pelayan di toko baju milik ibu Risa. Gajinya memang tidak seberapa, setidaknya ia bisa mengumpulkan sedikit demi sedikit untuk kuliahnya di tahun depan.
Mengenai perasaan? Uma sendiri tidak tau harus menyimpulkannya. Dalam bagian hatinya terdalam, dia berharap Ali-lah sosok yang kelak menjadi pendamping hidupnya. Tapi disisi lain, ia pun enggan bergantung pada harapan yang tidak dapat dipastikan.
Uma hanya bisa menyerahkannya pada Allah SWT, hanya kepada-Nya lah kita bergantung, dan tidak akan pernah dikecewakan. Meski kadang hasilnya pahit, berat dan terasa sulit, kita harus terus ber-khusnuzon pada-Nya.
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui” (Al-baqarah : 216).
“Jangan tidur larut malam! Ingat, mulai besok kamu sudah berkerja, Ma!” titah Rumi mengingatkan putrinya.
Uma yang tengah merapikan piring setelah makan malam itu berhenti, “Iya, Bu, doakan Uma, ya, Bu?” jawabnya tersenyum, lalu membawa pergi piring kotor kedapur.
“Kamu tidak mau kuliah, Nak?” tanya bapak saat ketiganya tengah menonton tv.
“Nanti saja, Pak, Uma mau cari pekerjaan dulu!” balas Uma tersenyum pada Jufri.
“Yasudah, terserah apa maumu, asalkan kamu harus selalu bertanggungjawab dengan pilihan yang kamu pilih, Nak!” ujar Jufri sembari mengelus puncak kepala Uma.
“Iya, Pak!” Uma memeluk Jufri dari samping. Merasakan kehangatan yang selalu membuatnya nyaman.
Perkara hijab, Rumi sudah tidak lagi mempermasalahkan apapun ataupun melarang. Karena ia sadar bahwa hijab yang seperti itulah ysng dianjurkan dalam islam. Uma patut bersyukur karena Rumi mengikuti pengajian ibu-ibu yang pernah membahas soal itu. Pakaian Uma pun kini lebih banyak gamis atau pun pakaian yang longgar. Pakaian-pakaian yang kecil, ketat, atau pun celana-celana sudah ia beri ke saudaranya. Meski belum sepenuhnya tertutup, setidaknya Uma tengah mengusahakannya. Insyaallah, jika niatnya benar-benar karena Allah, kedepannya akan dimudahkan.
****
Bersambung ...14/03/2023.
KAMU SEDANG MEMBACA
AZZUMA (END)
SpiritualeMenunggu kamu adalah hal yang tidak pernah aku kira akan seberat ini akhirnya. Tanpa kepastian ada apa diujung sana, apa cerita ini akan berakhir bahagia atau akhirnya aku hanya membuang waktu saja. AZZUMA INAYAH PUTRI, gadis akhir jaman yang memili...