Sepenggal Kisah Silam

3.3K 302 28
                                    

Suara tawa yang melengking di ruang tengah begitu mengganggu Mustika yang tengah berkonsentrasi untuk menyelesaikan laporan belajar siswa. Ia tak habis pikir, untuk kesekian kali Rakha mengajak Rama menginap di rumah. Mustika tak menyukai anak itu. Mustika tahu, tak seharusnya ia tak suka pada anak itu sebagai buntut dari rasa tak sukanya pada ibunya. Meski Rakha selalu membanggakan ponakan kecilnya ini, bagi Mustika, anak itu tetap mengesalkan. Tak hanya berisik, dia juga kerap memberantakan ruangan dengan mainannya.

Mustika keluar kamar lalu mengamati Rakha yang tengah bermain lego bersama Rama. Tampak benar betapa laki-laki itu menikmati kebersamaannya bersama Sang Keponakan. Kehadiran Rama menjadi pelipur lara untuk Rakha. Kepenatannya setelah bekerja, masih ditambah dengan sikap arogan Mustika, membuat Rakha terkadang merasa jenuh dan lelah menghadapi semua. Tawa ceria Rama seolah menjadi obat yang mampu mengalihkan pikiran, lari sejenak dari permasalahan yang membelit.

"Tolong, jangan berisik! Aku jadi nggak bisa konsen." Nada bicara Mustika terdengar ketus. Tatapannya menghunjam, mengirimkan impuls kemarahan pada sosok Rakha yang ia anggap sebagai dalang kegaduhan. Memang, Rama yang berisik. Namun, tetap saja Rakha yang membawa anak itu.

Rakha menatap Mustika sekilas. Semakin hari ekspresi wajah Mustika semakin tak bersahabat. Selalu saja ada amarah dan kebencian mendominasi gurat wajahnya.

Rakha beralih menatap Rama yang terdiam setelah mendengar teguran Mustika. Anak itu cukup kaget dan takut untuk berbicara.

"Rama, sudah malam, mending Rama tidur, ya. Rama juga harus ingat, nggak boleh berisik dan mengganggu orang lain, ya." Rakha mengusap rambut Rama pelan. Sebenarnya ia tak bermaksud mengajak Rama menginap karena ia tahu, Mustika tak menyukai anak itu. Namun, Rama merengek minta ikut.

Rama mengangguk. Ia berjalan pelan menuju kamar tempatnya tidur. Rakha masuk ke kamar Rama untuk menyelimuti tubuh anak itu dan mengucap selamat tidur. Ketika ia berbalik menuju ruang tengah, Mustika masih terpekur.

"Kamu tahu aku nggak suka anak itu, kenapa kamu masih mengajak dia nginep di sini? Kamu sengaja bikin aku kesal?" Mustika menatap Rakha tajam dengan cecaran seperti yang sudah-sudah.

"Dia ingin ikut," jawab Rakha datar sembari memungut kepingan-kepingan lego dan memasukkan ke dalam keranjang.

"Kamu bisa menolak, 'kan? Atau ibunya emang pingin nitipin anaknya biar bisa santai," balas Mustika ketus. Sebenarnya ia ingin menyudahi pernikahannya. Ketika ia sudah mantap ingin membicarakan hal ini pada orang tuanya, ayahnya sedang dalam kondisi tak sehat. Mustika dilema. Ia menunggu waktu yang tepat.

Rakha hanya menunggu sinyal dari Mustika. Ia akan berbicara jujur pada orang tuanya dan mertuanya jika wanita itu sudah siap untuk berpisah. Nyatanya, Mustika meminta waktu untuk menunggu hingga kondisi kesehatan ayahnya membaik. Wanita itu pun memikirkan reputasinya sebagai seorang pengajar. Entah apa pandangan orang-orang sekitar jika dalam usia pernikahan yang masih seumur jagung ia memutuskan untuk bercerai.

Keduanya memikirkan perasaan keluarga. Rakha yang sebenarnya tak ingin berpisah dan memperbaiki hubungan hanya bisa pasrah dengan kemauan keras Mustika yang ngotot ingin berpisah. Dalam jangka waktu ini keduanya sepakat untuk menjalani dulu pernikahan yang serasa semu, hingga waktu perpisahan tiba.

Jika memang harus berpisah, Rakha menginginkan perpisahan yang baik. Minimal hubungan keduanya membaik layaknya teman sebelum keduanya berpisah. Mustika terlalu angkuh untuk sekadar bersikap layaknya teman. Ia tetap memandang Rakha penuh benci.

"Ruangan ini berantakan sekali. Setiap anak itu bermain pasti berantakan. Aku sudah membersihkan ruangan ini sebelumnya, sekarang berantakan lagi." Mustika menggerutu kesal. Ia memandangi sejumlah mainan yang tercecer hingga menyusup ke kolong lemari.

Mantan Dosen Pembimbing (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang