Mustika menatap bayangannya di cermin. Ia mengenakan salah satu gaun kesayangannya dengan warna marun yang menambah kesan anggun dan cantik. Malam ini, Rakha mengajaknya makan malam di salah satu restoran. Rakha ingin menikmati malam minggu romantis bersama Sang Istri. Ini seperti perayaan kecil akan hubungan mereka yang menghangat.
Pantulan bayangan Rakha terlihat jelas di cermin. Mustika berbalik dan menatap suaminya yang juga menatapnya.
"Apa aku cocok pakai baju ini?" Mustika tahu ada kekaguman di mata Rakha. Terlihat jelas binar mata suaminya tak lepas mengamatinya.
"Apa pun yang kamu pakai cocok di kamu." Segaris senyum melengkung di kedua sudut bibir Rakha. Ia tidak sedang menggombal, nyatanya di matanya Mustika memang selalu terlihat cantik dengan pakaian apa pun, bahkan dalam balutan daster kedodoran sekalipun.
Wajah Mustika tersipu. Dulu kata-kata manis Rakha terdengar mengesalkan dan ia selalu menahan amarah yang terpendam setiap kali menatap Rakha tersenyum, senyum yang selalu diartikan sebagai cara Rakha meremehkan dan menertawakannya yang terjebak dalam pernikahan. Namun, semua berubah. Laki-laki itu menjelma menjadi seseorang yang begitu mengagumkan dan lembut di matanya. Perasaan Rakha padanya sudah teruji sekian waktu. Betapapun buruknya perlakuan Mustika di masa lalu, semua itu tak dapat mengubah perasaan Rakha.
"Kenapa diam? Udah yuk, berangkat, aku udah laper." Rakha tersenyum sekali lagi. Ia suka cara Mustika mematung dan menatapnya dengan pendar mata yang tak lagi dipenuhi kebencian.
Mustika mengangguk pelan. "Iya, aku juga udah laper."
******
Irhaz mengamati jari-jari Vera yang lentik. Tangan kirinya memegang garpu yang tertancap pada sepotong daging, sedang tangan kanannya memegang pisau dan tengah berusaha mengoyak daging steak yang terlihat matang sempurna.
Gemuruh di dada Irhaz terus berlalu. Serangkaian kalimat seakan membelit di benaknya dan ingin ia lontarkan satu per satu. Dia tak lagi bisa menunda waktu. Ia rasa, ini saat yang tepat untuk meminta Vera memikirkan ulang tentang masa depan hubungan mereka.
"Ver, ada sesuatu yang ingin aku bicarakan."
Vera menatap Irhaz yang terlihat sedikit tegang. Ia menduga, Irhaz tengah terbelit masalah.
"Ya, Irhaz, kamu ingin bicara apa?"
Irhaz mengembuskan napas pelan. "Tentang perasaan kita."
Vera membisu sekian detik. "Lalu ...."
"Kamu sudah tahu gimana perasaanku. Dan aku tidak pernah ada niat untuk main-main. Aku serius, aku sungguh-sungguh sayang sama kamu. Aku ingin ada arah yang baik untuk hubungan kita, ya meski aku tahu mungkin kamu masih ragu. Aku juga sadar pekerjaanku nggak sebaik pekerjaan kamu. Perbedaan status sosial kita jauh." Irhaz mengembuskan napas sekali lagi dengan sorot mata yang masih mengarah pada wajah Vera yang tampak tenang.
"Maaf banget kalau aku terlalu cepat meminta kepastian. Aku cuma ingin tahu seberapa serius kamu sama aku? Aku ingin tahu apa kamu ada keinginan untuk melanjutkan hubungan kita ke arah yang lebih serius? Jika iya, apa kamu sudah yakin memilih aku? Siap dengan segala perbedaan?" Irhaz menatap Vera lebih dalam. Gadis itu masih terpaku. Ia pun sebenarnya telah memikirkan hal ini sebelumnya.
"Jika kamu memang yakin sama aku, aku akan berusaha yang terbaik untuk memantaskan diri bersanding sama kamu. Aku akan cari pekerjaan yang lebih baik atau fokus pada usahaku, aku akan berusaha menyelesaikan kuliahku tepat waktu. Aku akan berjuang untuk kita. Tapi kalau kamu nggak ada niat serius, kita sudahi saja semuanya." Binar mata Irhaz menancap tepat di kedua mata Vera.
Gadis itu masih membeku. Terngiang kata-kata Anna dan Mia, saudara sepupunya yang sudah seperti kakak kandung bagi Vera.
'Ver, kalau kamu memang yakin sama Irhaz, kasih dia kesempatan. Menikah itu komitmen seumur hidup. Menikahlah dengan orang yang bertanggung jawab, yang nggak males, yang mau berjuang untuk kamu dan keluarga, yang nggak cuma modal kata-kata manis, tapi benar-benar dibuktikan dengan usaha. Harta bisa diusahakan bersama, tapi karakter itu susah untuk dibentuk.'
Kata-kata Anna tempo hari terasa begitu menyejukkan. Namun, Mia berpandangan berbeda. Berkali-kali ia minta Vera untuk berpikir matang-matang.
'Ver, gue tahu lu bucin banget sama si OB itu. Tapi ya mikir pakai logika, Ver. Kalian jauh berbeda. Penghasilan elu jauh lebih gede dibanding penghasilan Irhaz. Nikah itu nggak cuma butuh cinta, tapi juga uang. Elu lagi bucin mah mana bisa mikir jangka panjang. Yang penting cinta ya udah jalan. Tapi elu harus belajar dari pengalaman banyak orang, termasuk gue. Gue dulu saking bodohnya mau aja diajak nikah sama mantan suami gue yang ngakunya cinta mati sama gue. Lima tahun berumah tangga, gue lebih banyak makan ati. Dia kerja gajinya segitu-gitu aja dan terkesan males buat berusaha karena merasa gaji gue udah cukup buat meng-cover kebutuhan rumah tangga. Keenakan dia dan nggak ada motivasinya buat lebih maju. Eh ujung-ujungnya gue diselingkuhin. Udah kere, selingkuh, mending kalau cakep. Gue juga heran kenapa dulu gue bucin sama dia. Jadi menurut gue elu pikir-pikir lagi dah. Gue lebih mendukung elu buat cari suami yang sepadan atau lebih baik yang di atas elu. Uang memang bukan segalanya. Tapi yang namanya nikah, makan, bayar listrik, biaya melahirkan, biaya anak sekolah, termasuk kebutuhan skincare elu, semua butuh uang.'
Vera masih termangu. Dia seperti berada dalam dilema besar. Kata-kata saudara-saudara sepupunya masih terus mendengung di pikirannya.
'Nikah memang butuh uang, tapi yang aku lihat, Irhaz bukan tipe laki-laki yang maunya numpang. Dia bertanggung jawab. Aku yakin dia pasti bisa ngebahagiain kamu dan bakal kerja keras nanti.'
'Jangan dengerin Anna, Ver. Pikirin juga gimana reaksi orang tua elu. Apa mereka bakal ikhlas melepas putri tunggalnya menikah dengan OB?'
"Vera ...."
Vera terkesiap. Irhaz tampak tenang menunggu jawabannya. Ia tahu Irhaz tak akan bermain-main dengan perasaannya. Ia tahu, Irhaz benar-benar mencintainya dan akan berjuang yang terbaik. Ia tak ingin melepas berlian demi untuk mencari seseorang yang lain, yang belum tentu lebih baik dari Irhaz.
"Aku yakin sama kamu. Aku sudah cukup lelah untuk menjalin hubungan tanpa kepastian, Irhaz. Karena itu, dari awal aku tak pernah punya niat main-main."
Irhaz lega mendengar penuturan Vera. Ia tak akan mundur dan akan memperjuangkan Vera sampai kapan pun.
"Kamu sudah siap dengan segala risikonya? Aku ingin bertemu dengan orang tuamu dan aku pun akan mengenalkanmu pada keluargaku. Aku sudah siap dengan respons orang tua kamu, termasuk dengan penolakan. Aku akan berusaha meyakinkan kedua orang tua kamu." Irhaz menegaskan kata-katanya. Satu senyum terulas. Ia bahagia karena Vera memberinya kesempatan untuk terus maju dan memperjuangkan cinta mereka.
Vera membalas senyum itu. Ia menggenggam tangan Irhaz. Tanpa kata, Irhaz tahu itu adalah cara Vera meyakinkannya bahwa semua akan baik-baik saja. Keduanya saling melempar senyum dengan kelegaan yang luar biasa. Mereka tahu, ini hanya babak awal. Ke depan mungkin akan ada banyak rintangan yang menghalangi.
Di sudut lain, seseorang tak sengaja melihat keduanya dari jauh. Mustika terkejut luar bisa melihat seseorang yang pernah bertahta di hatinya tengah berbicara dengan seorang perempuan dan kedua tangannya menggenggam tangan wanita itu.
Mustika menyadari bahwa tak sepantasnya ia cemburu. Irhaz hanyalah masa lalu baginya. Ini bukan tentang perasaan yang masih terjaga. Mustika menyadari ia sudah menikah dan perasaannya harus utuh ia berikan untuk Rakha. Namun, ada sesuatu yang tak dapat ia jelaskan. Kenangan masa silam yang tiba-tiba melintas dan ego yang mendadak merongrong sanubarinya, apakah secepat itu Irhaz menemukan pengganti dirinya?
Rakha menatap Mustika yang diam mematung. Ia mencoba mengikuti ke arah mana pandangan istrinya berlabuh. Ia terkejut melihat Irhaz dari kejauhan. Kini ia mengerti mengapa Mustika mendadak diam tanpa kata. Rakha tahu, di hati Mustika masih terpahat nama Irhaz.
******
KAMU SEDANG MEMBACA
Mantan Dosen Pembimbing (Completed)
RomanceAda satu pria yang membuat Kayla Iklima merasa ketakutan, cemas, bahkan juga trauma. Satu pria yang menhancurkan hatinya hingga porak poranda. Satu pria itu adalah dosen pembimbingnya sendiri, Wisanggeni Bagaspati. Rentang waktu kembali mempertemuka...