"Bagas, coba kamu kenalan dulu sama Mustikawati, dipanggilnya Tika. Ibu suka sama gadis itu. Namanya juga pas. Dalam dunia wayang Wisanggeni itu kan menikah dengan Dewi Mustikawati. Ibu lihat, dia juga baik dan sopan. Dia itu guru SMA sekaligus penulis. Umurnya 26 tahun. Serasi sama kamu yang juga dosen, sama-sama bekerja di dunia pendidikan."
Bagas terdiam mendengar penuturan ibunya di telepon. Ibunya hanya ingin mengenalkannya dengan sosok perempuan. Guru SMA yang dibicarakan oleh ibunya ini adalah guru dari Reza, ponakannya. Reza adalah anak dari kakak sepupu Bagas. Jika hanya dikenalkan, rasanya tak elok bila Bagas langsung menolak. Penolakannya hanya akan mengecewakan sang ibu.
Nama "Kayla" kembali mengacaukan pikiran. Hanya Kayla yang sanggup mencuri waktunya untuk kembali merenung, memikirkan tentang langkah berikutnya yang akan ia tempuh untuk menaklukkan hati gadis itu. Namun ia juga bukan tipe pemaksa, kendati ia ingin memaksa mantan mahasiswi bimbingannya ini untuk menerima lamarannya. Ia sadar sepenuhnya, hati Kayla masih bebas dan gadis itu juga memiliki hak untuk memilih dermaga, tempat ia melabuhkan kapal cintanya. Hanya saja, sebagai laki-laki, Bagas juga butuh kepastian. Kayla selalu menggantung perasaannya. Seolah gadis itu memiliki rasa, tapi juga enggan mengatakan "ya". Sementara ada hati lain yang harus Bagas jaga, semisal hati sang ibu yang sudah mendesaknya mencari istri.
Bagas kembali teringat akan perkataan Reino di kantin yang hendak bertandang ke rumah eyang Kayla. Tak bisa dipungkiri, cemburu itu mungkin telah membabat habis ketenangannya hingga menyisakan segumpal resah dan kecemasan. Bagaimana jika Reino mengajak Kayla makan di luar? Atau mungkin nonton film di bioskop? Dan di dalam bioskop, Reino memanfaatkan kesempatan untuk mencium Kayla? Tidak... Tidak... Bagas tak sanggup membayangkan. Ingatannya justru berselancar ke waktu di mana ia hampir mencium Kayla. Barangkali jika waktu itu ia benar-benar mencium Kayla mungkin gadis itu akan merasa terikat padanya. Bagas menepuk dahinya, menyadarkannya untuk tidak berpikir macam-macam.
"Bagas...."
Panggilan sang ibu dari ujung telepon membuyarkan serangkaian lamunan yang telah terbangun tinggi.
"Ya, Bu."
"Kamu bisa kan pulang ke Bandung Sabtu minggu ini ? Mau ada arisan di rumah. Nanti Ibu bisa mengenalkanmu ke Tika."
Bagas menghela napas, "Insya Allah, Bu."
"Ya, udah, Ibu mau nerusin masak. Kamu jangan lupa makan teratur, ya. Kalau kamu nikah nanti, Ibu bisa lebih tenang ada yang masak buat kamu."
"Iya, Bu. Bagas selalu makan teratur, kok. Ibu dan Bapak juga, jaga kesehatan."
"Pasti, Nak. Ya udah, nanti disambung lagi. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam."
Bagas menerawang langit-langit dengan sejuta tanya. Apa yang sedang dilakukan Kayla sekarang? Mau kirim pesan whatsapp, rasanya sungkan, apalagi tadi siang ia sempat kecewa pada gadis pujaannya itu.
******
Kayla tengah menyiapkan barang dagangan seorang diri. Bagas memperhatikannya dari jarak yang jauh. Ia menduga Asih dan Anto belum datang. Ia terkesima pada kecekatan Kayla mengerjakan segalanya. Entah kenapa, setiap kali memperhatikan gadis itu, rasa bersalah yang bercampur dengan simpati dan rasa cinta semakin membelenggu, terkadang menembus batas akal sehatnya, membuatnya ingin sekali mendekati Kayla dan mengungkapkan segalanya.
Bagas memangkas jarak. Ia mematung di depan Kayla dan membuat gadis itu terkejut. Tampak benar usaha mantan mahasiswi bimbingannya ini untuk bersikap setenang mungkin.
"Kenapa selalu diam saat saya datang?"
Kayla tak menjawab. Gerak terampil jari-jarinya yang awalnya begitu teratur mengelap piring kini seakan melambat seiring rasa gugup yang melanda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mantan Dosen Pembimbing (Completed)
RomanceAda satu pria yang membuat Kayla Iklima merasa ketakutan, cemas, bahkan juga trauma. Satu pria yang menhancurkan hatinya hingga porak poranda. Satu pria itu adalah dosen pembimbingnya sendiri, Wisanggeni Bagaspati. Rentang waktu kembali mempertemuka...