Maaf ini bukan update, hanya berbagi pengalaman saja waktu anak sakit kemarin. Aku nulis ini waktu nungguin anak dan gak bisa tidur, jadi aku ungkapin semua rasa yang ada. Aku lanjut nulis ini setelah anak dibawa pulang ke rumah. Tak dibaca gak apa2 kok, karena ini cuma curahan isi hati saja saat sedih ketika anak dirawat di rumah sakit.
Sebagai rasa syukur, insya Allah aku usahakan banget untuk lanjut ngetik cerita ini, yang udah aku ketik sebenarnya sebelum anakku kecelakaan, cuma belum selesai.
Terima kasih banyak ya untuk teman-teman pembaca atas doanya. Semoga Allah membalas kebaikan kalian. Aamiin.
❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️
Dear, Barra, I know that you are very strong. Sometimes I wonder, how that big strength hidden in your thin body. How you can be quiet while you feel so much pain inside? I'm the weak one, just walking in front of surgery room, my tears run down my face just like the pouring rain. Yes, you are strong... Much stronger than what I think.
Kalau saja tahu bahwa hari itu kamu akan terluka, tentu Abun dan Ayah akan mencegahmu pergi bareng Kakung uti. Kejadian itu begitu cepat. Kamu tertabrak saat berjalan ke warung. Dan kami diberi kabar setelah kamu dibawa ke klinik. Ada luka serius di rahang bawah. Gigi bawah dan gusi bergeser masuk ke dalam. Sebagian gigi tampak amblas dan roboh. Klinik tak sanggup, kamu harus di bawa ke salah satu rumah sakit yang disarankan oleh klinik. Habis Maghrib, Abun, Ayah, Mas Aka, Kakung, Uti nganter kamu ke rumah sakit. Ternyata rumah sakit tersebut juga tak sanggup. Tak ada dokter ahli bedah mulut di situ. Kamu dirujuk lagi ke rumah sakit yang memiliki dokter ahli bedah mulut dan peralatan yang lebih lengkap. Kami mengantar kamu ke rumah sakit yang dituju.
Di sini kamu sekarang. Dengan segala ketegaran dan ketabahanmu, melebihi dari apa yang bisa kubayangkan. Tak kusangka sosok yang biasanya menangis saat kakinya terantuk kaki meja bisa menjadi setangguh ini. Sepanjang jalan menuju rumah sakit kamu mengatakan ingin melihat kereta api. Bahkan ketika perawat membawamu ke ruang CT Scan, kamu tenang saja meski Abun dan Ayah tak ikut masuk.
Aku tahu kamu kesakitan. Mungkin sangat sakit. Namun Allah Maha Penyayang yang memberimu kekuatan untuk menahannya.
Aku pikir aku pun tak akan kesulitan untuk menguatkan diri. Belajar dari tubuh mungilmu yang bisa menahan rasa sakit yang tak terbayangkan olehku. Belajar dari sikap antengmu saat kami membawamu ke ruang operasi. Namun ternyata semua tak mudah. Hanya membaca tulisan R. Operasi, hatiku langsung bergerimis. Tiba-tiba mata basah, membayangkan kamu di dalam sana akan menerima serangkaian perlakuan yang menyakitkan, meski obat bius akan menepis kesadaranmu selama proses operasi berlangsung.
Ayahmu menenangkanku saat aku tak kuasa lagi membendung tangis. Aku juga melihat sudut matanya bergenang, dan dia pun menangis.
Hati rasanya campur aduk tak menentu kala mengantarmu untuk berganti pakaian lalu menunggumu di luar ruang bedah. Tampak beberapa ranjang pasien dengan pasien dewasa yang tengah menunggu giliran untuk operasi. Tentu mereka sendirian, sedang untuk anak-anak masih diperbolehkan ditemani ibunya sebelum masuk ke ruang bedah.
Pasien terbaring dengan bermacam sakit yang diderita. Ada yang harus diamputasi kakinya, ada seorang ibu hamil yang akan menjalani operasi caesar, ada satu bapak-bapak yang terus berdzikir keras-keras menahan rasa sakit. Selama masa menunggu itu kamu terdiam, anteng, sama sekali nggak rewel. Lagi-lagi aku takjub dengan ketangguhanmu. Di dalam tubuh kecil yang terbungkus baju operasi yang kebesaran itu, tersimpan kekuatan dan ketabahan yang luar biasa.
Kuperhatikan wajah-wajah pasrah yang tergambar dari para pasien. Seorang yang akan diamputasi kakinya itu umur 20an, tergambar jelas raut pasrah dan kesedihan yang mungkin sudah dipendam sejak pilihan untuk amputasi itu menjadi satu-satunya pilihan. Katanya tulang kakinya retak saat kecelakaan, tak diobati secara medis hanya dibawa ke alternatif. Dua tahun merasa sembuh dan baik-baik saja, tapi rupanya sudah terjadi infeksi parah dan hanya amputasi yang menjadi satu-satunya pilihan. Aku yakin, hati itu telah berjiwa besar dan susah payah untuk mencoba berdamai dengan satu-satunya pilihan yang begitu berat dan akan mengubah kondisinya selamanya. Kaki itu tak akan kembali lagi.
Wajah-wajah pasrah itu berbanding terbalik dengan para petugas kesehatan yang berseragam biru, lengkap dengan penutup kepala dan masker. Aku bertanya, kenapa mereka bisa tampak tenang, sementara tugas mereka begitu berat? Apa tidak ada gugup? Cemas? Atau hati yang mendung bahkan sudah hujan sedemikian deras seperti sekarang? Ah tentu, tidak. Mereka dituntut profesional dan tenang menjalankan pekerjaan.
Dalam masa menanti itu pun, atmosfer yang sebelumnya dihiasi hilir mudik para pemakai seragam biru kini semakin berwarna dengan tangis melengking dari bayi yang baru saja lahir lewat operasi caesar. Satu kehidupan baru terlahir di antara rinai kesedihan yang mungkin dirasakan oleh sebagian pasien maupun keluarga pasien yang menunggu di luar.
Aku masih berdiri di sini menunggumu tiba giliran. Kecupan kudaratkan berulang di keningmu. Usapan lembut jari-jariku menyapu rambutmu. Kamu masih terdiam dan tenang. Sungguh sulit membayangkan, bagaimana anak sekecil ini akan melalui salah satu perjalanan krusial yang sebenarnya begitu berat untuk dijalani oleh anak sekecil kamu. Hanya doa yang menjadi penguat. Aku yakin, Allah akan menjagamu dan memberimu kekuatan.
Hingga saat itu tiba, kamu anteng dan sama sekali tak menangis ketika dokter menggiringmu ke ruang bedah. Aku dan ayahmu menanti di luar dengan doa yang terus terlantun.
Operasi itu berlangsung sekitar dua jam. Sebelumnya dokter memanggil kami dan menjelaskan tentang prosedur operasi. Gusimu yang bergeser posisinya ke dalam, akan diperbaiki dan dibenarkan posisinya. Gigi-gigi bawahmu yang amblas dan geser ke dalam juga dicabut semua, hanya disisakan dua gigi di ujung. Dua sudut bibirmu dijahit. Bibirmu masih tampak bengkak, juga sebelah pipimu. Kamu sempat rewel setelah operasi, mungkin efek dari bius yang hampir habis. Selang-selang kamu singkirkan, dan kamu terus menangis, hanya jarum infus yang masih menancap di tanganmu.
Alhamdulillah masa-masa sulit itu terlewati. Kamu kembali tenang dan saat kembali ke ruang perawatan, kakek nenekmu menyambutmu hangat, begitu juga saudara yang tengah menjenguk, satu per satu menciummu dengan tetes air mata yang mengalir.
Dede Barra, kamu begitu kuat, hebat, dan luar biasa. Alhamdulillah, rasanya sangat bersyukur karena operasi telah berjalan lancar. Sekarang kita sudah kembali ke rumah. Lega rasanya bisa menghirup udara segar di rumah. Siang ini kamu bertanya pada ayah, "Ayah kok gigiku nggak ada? Nggak boleh sikat dulu ya?" Kami pun menjelaskan bahwa gigi-gigimu akan tumbuh lagi. Gigi susu insya Allah cepat tumbuh. Seminggu ini dia hanya boleh mengonsumsi cairan, susu dan jus. Sabtu besok jadwal kontrol. Kemarin dia sempat nanya, "Barra belum boleh makan, ya? Boleh makan sayur, nggak?" Insya Allah semua bertahap. Kalau sudah benar-benar sembuh insya Allah bisa makan apa aja.
Kejadian getir ini memberi hikmah yang sangat besar untuk kami. Banyak hal yang bisa kami petik. Bapak ibu sempat meminta maaf karena merasa teledor menjaga Barra di saat Barra ikut mereka. Aku nggak akan menyalahkan siapapun, termasuk yang menabrak. Alhamdulillah yang menabrak juga bertanggung jawab. Hanya satu doa yang terus kupinta, semoga Allah senantiasa melindungi dan memberikan kesehatan untuk kami sekeluarga dan semua orang-orang yang kukenal, yang sudah berbaik hati mendoakan. Terima kasih banyak untuk teman-teman pembaca yang sudah mendoakan Dede Barra. Mohon maaf tidak bisa membalas satu per satu. Jazakumullah Khairan ❤️❤️❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
Mantan Dosen Pembimbing (Completed)
RomanceAda satu pria yang membuat Kayla Iklima merasa ketakutan, cemas, bahkan juga trauma. Satu pria yang menhancurkan hatinya hingga porak poranda. Satu pria itu adalah dosen pembimbingnya sendiri, Wisanggeni Bagaspati. Rentang waktu kembali mempertemuka...