Ada yang berbeda di pagi ini. Ketika Rakha bersiap untuk berangkat ke kampus, ia melihat meja makan tak lagi kosong seperti hari-hari sebelumnya. Sudah ada semangkok sop, sepiring tahu dan tempe serta telur ceplok. Mustika sudah rapi dengan baju kerjanya. Ia duduk sembari menatap Rakha dengan tatapan yang tidak sedingin biasanya.
"Sarapan dulu," ucap Mustika singkat.
Rakha tak menjawab, tapi ia duduk di hadapan Mustika dan mengambil piring. Rakha mengambil nasi dan lauk tanpa bertanya tentang masakan pagi ini. Suara di dapur di pagi buta cukup menjadi petunjuk bagi Rakha untuk mengetahui jika menu sarapan pagi ini dimasak oleh Mustika. Wanita itu memasak sendiri, bukan membelinya.
Suasana sarapan bersama berlangsung sunyi, tanpa percakapan, tanpa perdebatan. Mustika memperhatikan wajah Rakha yang menunduk dengan bola mata yang terus terarah pada piringnya. Laki-laki itu tak sedikit pun memandang ke arahnya.
Mustika memberanikan diri membuka percakapan. Barangkali dengan meminta maaf, hubungan mereka kembali membaik dan sedikit demi sedikit meruntuhkan tembok yang menjulang di antara keduanya.
"Rakha, aku minta maaf ...."
Rakha berhenti mengunyah. Ekor matanya perlahan melirik Mustika yang duduk di depannya dengan sikap yang lebih tenang dari biasanya.
"Aku minta maaf untuk semuanya. Untuk semua yang aku lakukan," lanjut Mustika. Ia berharap ada reaksi lebih dari Rakha.
Rakha membisu beberapa detik. Ia mengangguk pelan. "Aku juga minta maaf," balas Rakha tenang. Ia kembali fokus pada menu sarapannya yang belum ia habiskan.
Suasana hening kembali. Mustika menahan diri untuk tidak berbicara lagi. Sepertinya ia dan Rakha memang butuh waktu untuk melenyapkan rasa asing yang terlanjur mendominasi.
Seperti hari-hari sebelumnya, kedua insan itu berangkat ke tempat kerja dengan kendaraan masing-masing. Mustika sebenarnya ingin berangkat bersama, tapi Rakha tidak menawarinya berangkat bersama karena memang biasanya Mustika selalu berangkat sendiri. Mustika terlalu gengsi untuk meminta Rakha mengantarnya.
Selama di sekolah, Mustika tak bisa berkonsentrasi penuh. Pikirannya melayang pada persoalan rumah tangga yang baginya belum membaik meski dia dan Rakha sudah jarang bertengkar. Mustika tidak suka pertengkaran, tapi didiamkan oleh Rakha ternyata torehkan rasa sakit. Bahkan lebih menyakitkan melihat suaminya lebih diam dari biasanya.
Mustika merenung, apa Rakha sudah begitu lelah menghadapinya? Ia memikirkan serangkaian cara untuk mencairkan kebekuan antara dirinya dan Rakha.
******
Mustika pulang lebih awal. Biasanya ia tak langsung pulang dan mencari kesibukan lain, entah mengajar les atau mampir ke toko buku. Kali ini ia ingin cepat tiba di rumah. Ia berencana memasak menu untuk makan malam.
Ketika Rakha pulang ke rumah, sikapnya masih sama. Laki-laki itu diam seribu bahasa dan langsung masuk ke kamar. Mustika bisa mendengar suara gemericik air dari dalam kamar mandi di kamar Rakha. Laki-laki itu tengah mandi.
Mustika menyiapkan menu makan malam di meja. Wanita itu kembali tercenung. Matanya menerawang ke depan. Ia kembali memikirkan akan sikap dingin Rakha. Apa maaf saja tidak cukup?
Momen makan malam kali ini pun masih terasa asing. Kedua insan itu memang duduk saling berhadapan dengan menu yang sama di piring masing-masing, dalam satu atap yang sama. Namun, hati mereka seolah tidak berada di rumah yang sama.
Rakha enggan bicara, begitu juga dengan Mustika yang juga enggan mengucap sepatah kata. Sesungguhnya Rakha tak pernah berniat mendiamkan Mustika. Tak juga menyimpan kebencian atau dendam pada istrinya. Ia tak pernah mengungkit atau kembali memperhitungkan rasa sakit yang pernah tergores. Hanya saja, ia merasa kosong. Sepanjang malam ia memikirkan, apa sebenarnya tujuan hidupnya sekarang? Apa perasaannya dapat kembali terbangun sekuat dulu? Sementara makna pernikahan kian mengabur. Ia tak merasakan ketenangan. Ia tetap merasa kesepian, sendiri, dan hampa.
Mustika sesekali melayangkan tatapan pada Rakha yang tampak tak berselera dengan makanan di hadapannya. Raut wajah Rakha tampak mendung dan gurat kelelahan tercetak jelas pada dua matanya yang sayu. Ia mencoba mencari topik pembicaraan yang mungkin mampu mencairkan kebekuan yang ada. Ia teringat akan film baru yang akan tayang di bioskop minggu depan.
"Minggu depan aku ingin nonton film di bioskop. Cuma nggak ada yang nemeni. Liza ada acara. Apa kamu mau nemeni aku nonton?" Mustika memberanikan diri mengajak Rakha menonton film. Ia rasa, jika ia terus diam dan Rakha pun diam, maka tak akan ada pergerakan. Hubungan mereka akan selalu dingin dan suasana makan bersama akan selalu seperti ini, di mana bukan lagi makanan yang menjadi pajangan, tapi kedua insan itu yang seolah menjadi pajangan.
Rakha tergugu sesaat. Sesungguhnya ia sedang ingin sendiri dan malas untuk melakukan sesuatu yang menurutnya tak penting. Baginya menonton film hanya membuang waktu. Ia bisa saja menemani Mustika meski tak begitu suka menonton film. Namun, kali ini ia punya alasan yang lebih tepat. Ia memang belum ingin bicara banyak dengan Mustika.
"Maaf, aku nggak bisa. Banyak pekerjaan yang mau aku kejar minggu ini." Rakha bicara datar. Penolakan halus tapi bagi Mustika rasanya sama saja. Menyakitkan ....
Mustika terdiam, enggan untuk membalas. Ia berpikir mungkin Rakha tak lagi mencintainya seperti dulu. Rasa cinta yang terkikis karena muak akan sikapnya dulu. Mustika tahu ia pernah berbuat salah dan sering menyakiti Rakha. Di saat ia ingin berbenah dan memperbaiki keadaan, Rakha seolah menutup hati.
Mustika menyembunyikan kesedihannya. Ia tak akan memaksa juga tak akan pergi menonton. Kini ia mengerti, mungkin seperti ini yang dirasakan Rakha ketika dulu ia bersikap tak peduli dan menganggap laki-laki itu tak ada.
******
Malam ini Rakha menonton televisi, tapi perhatiannya tak sepenuhnya terpusat pada layar. Ia mengganti-ganti channel dan tak ada satu pun tayangan yang memikat minatnya.
Mustika masih ingin berusaha sekali lagi untuk sedikit memecah kesunyian yang membelenggu. Ia duduk di sofa lain dan ikut menonton televisi. Kali ini ia mengenakan gaun tidur yang cantik dengan panjang rok di atas lutut. Mustika tak terbiasa mengenakan gaun sependek itu di depan Rakha, tapi ia memaksakan diri. Ia pikir mungkin dengan berpenampilan seperti ini, Rakha akan memperhatikannya. Dari artikel-artikel yang ia baca, kehangatan ranjang bisa menjadi awal yang manis untuk memperbaiki sesuatu yang sudah retak dalam pernikahan. Seharusnya memang seperti itu dari awal mereka menikah. Mustika menyadari kesalahannya yang dulu tak mengizinkan Rakha untuk menyentuhnya.
Rakha menyadari kehadiran Mustika yang duduk di sofa sebelah. Ia melirik sejenak dan cukup terkejut melihat Mustika yang berpenampilan lain dari biasanya. Namun, ia segera mengalihkan pandangan, kembali menatap layar.
Mustika tertegun. Ia kecewa dan merasa tak diinginkan. Ia memberanikan diri mengenakan pakaian yang lebih terbuka dan menonjolkan lekuk tubuhnya. Namun, itu tak cukup membuat Rakha tertarik melihatnya. Ia bertanya-tanya, apa Rakha memang tak berminat padanya? Tak lagi mencintainya? Atau kemungkinan terburuk, Rakha sudah mencintai wanita lain?
Mustika merasa terinjak harga dirinya. Bagaimana bisa tayangan televisi jauh lebih menarik dibanding dirinya? Mustika ingin menyapa Rakha atau berbicara dari hati ke hati tentang perasaannya saat ini, tapi ia urungkan. Ia sudah cukup terluka dengan sikap Rakha yang mengabaikannya. Ia beranjak dan melangkah menuju kamarnya. Rakha terperanjat ketika Mustika menutup pintu cukup keras.
Rakha tercenung. Ia tahu, Mustika ingin mendekatinya, melebur keterasingan yang masih dominan. Namun, ia masih ingin sendiri dan teramat lelah untuk kembali membangun semua dari awal.
******
Pendek dulu, ya. Penasaran dengan kelanjutannya gak?
KAMU SEDANG MEMBACA
Mantan Dosen Pembimbing (Completed)
RomanceAda satu pria yang membuat Kayla Iklima merasa ketakutan, cemas, bahkan juga trauma. Satu pria yang menhancurkan hatinya hingga porak poranda. Satu pria itu adalah dosen pembimbingnya sendiri, Wisanggeni Bagaspati. Rentang waktu kembali mempertemuka...