TIGA BELAS

5 3 0
                                    

~~•Happy Reading•~~

"Raya!" teriak Candra saat dirinya dibawa oleh polisi. Ia berhasil melepaskan diri dan berlari menghampiri Raya yang masih setia dipeluk oleh Dias.

Sebuah pukulan kembali diterima oleh Candra. Bukan dari Joey, tapi pukulan itu berasal dari Naka yang langsung menghantam wajah Candra. "Jangan pernah manggil nama adik gue dengan mulut kotor lo itu," tukasnya.

Rendra membantu Candra berdiri, tapi setelah itu dirinya langsung menendang kaki Candra sehingga pincang. "Silakan dibawa, Pak," ucapnya.

Sementara itu, Dias senantiasa mengelus punggung Raya yang masih menangis. Ini kedua kali dalam hidupnya ia melihat adik bungsunya menangis seperti ini.

"Kak," lirih Raya menatap Dias. "Apa yang Raya lakukan selama ini salah? Kenapa semua orang yang Raya tolong selalu berakhir seperti ini?"

"Ssst, ini bukan salah kamu," jawab Dias.

"Tapi Kakak tahu, kan, kalau ini bukan pertama kalinya," balas Raya dengan air mata yang masih mengalir. Ia teringat dengan kejadian di sekolahnya dulu.

Selama bersekolah, Raya selalu dihadapkan dengan situasi menjadi saksi aksi pem-bully-an. Dan karena rasa kemanusiaan, ia pun menolong para siswa yang di-bully tersebut. Namun entah mengapa semua orang yang ditolongnya selalu berakhir seperti ini. Candra bukanlah satu-satunya orang yang berakhir menggila setelah ditolongnya.

"Apa Raya anak pembawa sial, Kak? Candra, teman-teman Raya dulu dan juga Ayah, mereka jadi kayak gini gara-gara Raya," ujar Raya. Ia lantas melepaskan pelukannya lalu menjauh dari Dias.

"Raya."

"Jangan mendekat atau Kakak akan sial juga," ucap Raya. Ia kini duduk di pinggir kasur sembari memeluk lututnya.

Situasi ini kembali lagi, di mana Raya yang menyalahkan dirinya sendiri akan apa yang terjadi pada orang-orang di sekitarnya. Terakhir kali saat ayah mereka tiada. Selama sebulan gadis itu tidak keluar kamar karena merasa bersalah telah membuat sang ayah meninggal saat menyelamatkan dirinya yang hampir tertabrak mobil.

"Stop, Raya," ucap Naka saat melihat Raya yang terus saja memukul kepalanya sendiri seraya bergumam jika dirinya adalah anak pembawa sial.

"Lepas Kak," ucap Raya. Ia berusaha menghindar dari Naka yang hendak memeluknya. Dirinya pun berlari menuju kamar mandi, lalu menguncinya.

"Ray, buka pintunya," pinta Naka. Ia mengetuk pintu tersebut dan terus berusaha membujuk Raya agar membukanya.

"Sudah cukup. Biarkan Raya menenangkan dirinya dulu," tutur Dias. Ia berjalan keluar meninggalkan adik-adiknya.

Wira dan Joey hanya diam. Secara bergantian mereka menatap Naka yang tetap berdiri di depan pintu kamar mandi dan juga Dias yang telah menghilang dari pandangan.

Sebuah panggilan masuk mengalihkan perhatian Rendra. Melihat siapa yang menelepon, ia pun lantas menjawabnya. "Halo."

Rendra keluar kamar sembari berbicara dengan pihak kepolisian. Rupanya Candra masih bersikeras ingin bertemu dengan Raya. "Nanti siang saya akan ke sana," ucapnya.

Setelah menutup telepon, Rendra berjalan hendak mencari keberadaan Dias. Ia ingin membicarakan masalah Candra dengan kakaknya itu. Niat tersebut ia urungkan saat melihat Dias berdiri menatap foto kedua orang tuanya, lalu pergi begitu saja.

Rendra tahu apa yang ada di pikiran Dias. Meskipun tak separah Raya, kejadian ini juga membawa dampak buruk bagi Dias dan yang lainnya.

"Masih belum dibuka?" tanya Rendra saat masuk ke kamar adik bungsunya.

KlandestinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang