DUA PULUH SATU

3 2 0
                                    

~~•Happy Reading•~~

"Sudah semua?" tanya Dias. Ia tatap penuh teliti barang bawaan Raya. "Baju tidur? Seragam? Keperluan mandi?"

Raya sontak menatap jengah Dias. "Kak, aku cuma mau study banding selama 3 hari. Barang bawaanku juga gak banyak. Semalam juga dibantu Kak Mya pas beres-beres," ujarnya. "Jadi, gak bakalan ada yang ketinggalan."

Dias pun hanya bisa mengangguk. Hal ini karena baru pertama kalinya Raya bepergian tanpa para kakaknya. Jadi, ia tak ingin jika nantinya Raya kesusahan dengan keperluannya selama di sana.

"Sudah jam segini. Ayo, berangkat," ajak Raya. "Kakak ikut semua?" tanyanya saat semua kakaknya berdiri mengikutinya. Ia pun berjalan pasrah menuju mobil ketika melihat para kakaknya mengangguk.

Sesampainya di sekolah, Raya langsung bergabung dengan yang lainnya. Sebelum itu, ia berpamitan dengan para kakaknya. "Raya berangkat dulu, Kak."

Raya sontak terkejut ketika tiba-tiba dipeluk. Ia bisa melihat jika orang-orang di sekitarnya sedang memperhatikan dirinya. Sejujurnya ia malu jika harus menjadi pusat perhatian seperti ini, tapi ya sudahlah. Mungkin para kakaknya hanya ingin memeluknya sebelum dirinya pergi.

"Kak, aku sudah ditungguin, loh," ucap Raya. "Jangan rindu Raya, ya. Bye, Kak." Ia pun langsung naik ke bus. Di sana ia dan yang lainnya mendapatkan beberapa arahan, sebelum pada akhirnya bus pun melaju meninggalkan halaman sekolah.

Raya sempat melambaikan tangannya ke arah luar bus. Ia bisa melihat jika para kakaknya membalas lambaian tangannya. Bus pun semakin jauh dari sekolah dan perlahan tak terlihat.

Baru saja Raya menikmati perjalanan, beberapa notifikasi masuk ke ponselnya. Ternyata pesan dari Sena, Imel, dan Ken. Mereka sama-sama mengucapkan hati-hati kepadanya, tapi ada beberapa tambahan yang amat sangat berbeda di antara ketiganya. Ia bahkan terkekeh ketika membaca pesan Sena.

Sena berpesan agar tak macam-macam di sana. Dia bahkan mengatakan jika sudah rindu dan kesal karena tak melihatnya ketika hendak berangkat. Sementara Imel berpesan agar Raya menikmati study bandingnya, anggap saja dirinya sedang libur sekolah. Berbeda dengan keduanya, Ken hanya berpesan untuk selalu menjaga kesehatannya. Namun, di akhir pesan terdapat kalimat manis yang sukses membuatnya tersipu malu.

See you, my sunshine. Meskipun ada jarak, rasa ini tak akan pernah mereda. Jangan lupa tataplah malam selalu. Di sana ada aku yang sedang memikirkanmu.

Raya tak pernah membayangkan akan mendapatkan sebuah kalimat romantis seperti itu. Entah dari mana ketua kelasnya itu mempelajarinya. Bayangkan saja, seorang Ken yang berbicara ketika ada perlunya saja dan bukan tipe yang suka basa-basi, memberikan untaian kata seperti itu. Sungguh di luar dugaan.

Angin sepoi-sepoi langsung menerpa wajah Raya saat dirinya membuka jendela di sebelahnya. Ia tatap langit yang sedang cerah di atas sana. Sejenak ia tersenyum tipis. "Raya kangen ayah sama bunda," gumamnya.

Entah mengapa, setiap kali Raya menatap salah satu ciptaan Tuhan itu, dirinya merasa lebih dekat dengan ayah dan bundanya. Sering kali ia bercerita memberitahukan apa isi hatinya. Seperti sekarang ini. Dirinya bercerita tentang pertunangan sang kakak.

"Salah satu tugasku selesai, Bunda. Kak Dias sekarang sudah punya pasangan. Kak Wira juga," batin Raya. "Kalau Kak Rendra, Kak Naka, dan Kak Joey, doakan saja semoga jodohnya cepat ketemu."

Perlahan kantuk mulai menyerang Raya. Ia pun memposisikan dirinya senyaman mungkin. Matanya nampak terpejam dan ia pun mulai masuk ke alam mimpi.

Sementara itu, di kantin SMA Taruna Bangsa, nampak Sena dan Imel yang terlihat tak bersemangat. Mereka merasa ada yang kurang karena ketidakhadiran Raya.

"Sepi banget kalau gak ada Raya," celetuk Imel. Ia kunyah makanan di hadapannya dengan enggan. Dirinya bisa melihat jika Sena juga merasa kesepian, padahal ini baru beberapa jam semenjak kepergian Raya.

"Gue kangen Raya," gumam Sena. Entah sudah berapa kali helaan napas keluar terdengar darinya.

"Sena," panggil Imel. Ia menatap ke depan ketika orang di hadapannya ini hanya bergumam untuk menjawabnya. "Lo suka Raya?"

Sena sontak menghentikan tangannya yang sedang mengaduk-aduk es teh. Dahinya nampak mengkerut mendengar pertanyaan Imel. "Kenapa tanya kayak gitu?" balasnya.

"Penasaran aja. Soalnya sikap lo ke Raya itu beda. Rasanya perhatian lo ke dia itu bukan sebagai teman, tapi sebagai seorang gadis," jawab Imel.

"Lo pengen gue perhatiin kayak gitu juga?" goda Sena. Ia tertawa ketika melihat Imel menatapnya jijik. Sejenak dirinya menatap ke depan, mengingat setiap momen yang ia lalui bersama Raya. "Bukan cuma lo yang berpikiran seperti itu, Mel. Dulu gue juga gitu."

Imel mengalihkan seluruh atensinya kepada Sena. Ia sudah siap mendengarkan cerita orang yang ada di hadapannya ini.

"Sejak kenal Raya, gue merasa ada kewajiban untuk melindungi anak itu, tapi lama-kelamaan gue merasa aneh," ujar Sena. "Gue merasa kalau sikap gue terlalu berlebihan ke Raya. Gue terlalu posesif dan over protektif."

"Dari situ gue ambil kesimpulan kalau gue suka sama Raya." Sena menjeda cerita. Ia tatap Imel yang nampak menunggu kelanjutannya. "Dan anehnya, gue merasa kalau ini salah. Hati gue seolah-olah bilang kalau Raya itu gak boleh dianggap sebagai gadis."

Imel mengerutkan keningnya, berusaha mencari kesimpulan dari cerita Sena. "Jadi?" tanyanya.

"Gue memutuskan untuk tidak pernah suka ke Raya. Gak masalah meskipun sikap gue terkesan posesif padahal kita cuma teman, dan sekarang gue sudah menganggap Raya bukan sebagai teman lagi," tutur Sena. "Dia adalah saudara bagi gue."

Imel mengangguk paham. "Lah, kalau gini kan gue jadinya gak salah paham sama sikap lo ke Raya," ucapnya. "Dan pastinya, gue bisa comblangin Raya sama temen gue."

Sena sontak menjitak kepala Imel. "Enak aja," protesnya. "Gak ada ya comblang-comblangan Raya sama temen lo. Gue cukur juga rambut lo kalau sampai itu terjadi."

"Ck, mulai deh posesifnya," sungut Imel sambil mengusap kepalanya yang masih sedikit sakit. "Lagian kalau Raya mau pas gue comblangin, lo bisa apa?"

Sena menggeleng. "Dia gak bakalan mau," ucapnya. "Lagipula sudah ada orang yang mau jagain Raya."

"Hah, siapa?"

Ingatan Sena kembali ke kejadian seminggu yang lalu. Momen di mana Ken tiba-tiba ingin berbicara berdua saja dengannya. Bingung, kata yang pas menggambarkan keadaannya waktu itu, mengingat dirinya dan Ken yang memang tak sedekat itu untuk berbicara berdua saja.

Sena sontak saja terbelalak saat mendengar penuturan Ken yang ternyata menyimpan rasa kepada Raya. Suasana hatinya langsung berubah karena tiba-tiba teringat permasalahan Candra. Ia tak ingin Raya terluka untuk kedua kalinya.

Berbagai pertanyaan Sena lontarkan kepada Ken. Ia bahkan hampir saja menghajar Ken karena jawabannya tak sesuai perkiraannya. Beruntung, Ken bisa meyakinkan dirinya bahwa rasa yang dia punya untuk Raya itu tulus.

"Woyy. Ih, bukannya ngejawab, malah bengong," protes Imel. "Siapa orangnya?"

Sena tak kunjung menjawab pertanyaan Imel. Ia justru sibuk menghabiskan es tehnya. Perlahan wajahnya mendekat ke arah Imel. "Orangnya adalah ...."

Imel pun ikut mendekat. Ia tatap penuh harap dengan rasa penasarannya yang membuncah.

"Rahasia."

Sena berlari sambil tertawa lepas, berusaha menghindar dari Imel yang hendak menghajarnya habis-habisan. Sesekali ia berhenti dan kembali mengejek salah satu sahabatnya itu yang tertinggal di belakang. Tawanya semakin kencang saat mendengar teriakan Imel yang menggelegar memanggil namanya.

"Sena!"

~~•To Be Continued•~~

KlandestinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang