DUA PULUH DUA

2 2 0
                                    

~~•Happy Reading•~~

S

uap demi suap makanan masuk ke mulut Raya. Ia bersama dengan yang lainnya kini sedang menyantap sarapan sebelum berangkat ke sekolah tempat mereka study banding. Beruntung kondisi tubuhnya sudah jauh lebih baik daripada kemarin yang terasa remuk akibat perjalanan panjang.

Setelah semuanya selesai sarapan, mereka pun berangkat. Raya menjadi tak sabar untuk menjalankan tugas dari sekolah itu. Menjadi salah satu perwakilan sekolah dalam kegiatan ini membuat ia bangga sekaligus was-was. Bangga karena dari sekian banyaknya siswa, dirinya termasuk siswa pilihan. Was-was karena ia takut tak bisa mengemban tugas dengan baik.

Selama kegiatan study banding berlangsung, Raya nampak serius mengikutinya. Beberapa kali ia mengajukan pertanyaan, bergantian dengan teman-temannya yang lain.

Melelahkan, tapi seru. Itulah yang dirasakan Raya saat ini. Kegiatan study banding telah selesai 15 menit yang lalu. Kini ia berada di bus menuju penginapan tempatnya dan yang lain beristirahat. Sesampainya di sana, ia langsung beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya yang terasa lengket.

“Hah, segarnya.” Raya mematut pantulan dirinya di cermin. Rambutnya yang masih basah nampak tak karuan. Perhatiannya teralihkan ketika ponselnya berdering, bersamaan dengan sebuah senyuman tipis terbit di bibirnya. “Halo.”

Halo, Ray. Sudah di penginapan?

“Hmm.” Raya meletakkan ponselnya, tak lupa dirinya loud speaker agar suara Ken di seberang sana terdengar. Ia kini fokus mengeringkan rambutnya.

Pasti lagi ngeringin rambut, ya.”

Raya sontak menatap ponselnya saat mendengar penuturan Ken. Ia menelisik ke seluruh ruangan, barangkali ada seseorang yang memberitahukan kegiatannya kepada Ken. Rasa takutnya perlahan menjalar, membuatnya seketika merinding.

“Ray?” Ken yang sekarang berada di kamarnya hanya bisa mengerutkan keningnya saat tak mendengar balasan dari Raya. “Oh, gak usah khawatir, Ray. Aku gak nyewa mata-mata atau naruh CCTV, kok. Aku cuma nebak aja,” terangnya memahami kekhawatiran gadis yang ada di seberang sana.

Raya lantas menghela napas lega. Rupanya ia berpikiran terlalu jauh. “Maaf, Ken. Bukannya aku curiga sama kamu, tapi ….”

Iya, aku ngerti. Tadi sebelum telpon, aku tebak kalau jam segini kamu sudah ada di penginapan, dan pastinya kamu langsung mandi karena cuaca di daerah sana lagi panas, kan, hari ini.”

“Kamu nge-cek prakiraan cuaca di sini?” Raya cukup terperangah saat mendengarnya.

Hmm. Aku pasti bakalan cari tahu apa pun itu tentang kamu, termasuk prakiraan cuaca. Karena keselamatan dan kenyamanan kamu, kan, yang paling utama.”

Lagi dan lagi Raya dibuat tersipu malu dengan hal kecil tapi romantis yang dilakukan oleh Ken. Ia sampai harus berulang kali menepuk pelan pipinya agar berhenti tersenyum.

Ray.”

“Hmm. Kenapa, Ken?” tanya Raya. Ia harus menghela napas beberapa kali untuk menormalkan dirinya yang salah tingkah.

Aku merasa beruntung banget bisa jatuh cinta sama kamu. Entahlah, aku cuma merasa beruntung aja.”

Raya terdiam, memilih untuk mendengarkan. Ia ingin mengetahui apa yang ada di pikiran dan hati Ken saat ini. Jika berbicara tentang beruntung, sejujurnya ia merasa menjadi orang yang paling beruntung di dunia ini. Dikelilingi oleh orang-orang yang sangat menyayanginya.

Perlahan Raya bisa mendengar suara khas Ken yang berat nan lembut itu. Rupanya ia menyanyikan salah satu lagu favoritnya, Perahu Kertas. Ia beranjak menuju ranjang, menikmati nyanyian Ken yang entah mengapa membuatnya tenang. “Suara kamu bagus. Aku suka,” pujinya setelah Ken selesai bernyanyi.

Terima kasih. Kamu jangan khawatir, aku bakalan nyanyi khusus buat kamu aja. Jadi, kalau mau dinyanyiin sama aku, kamu tinggal bilang.”

“Ken, aku mau ngomong sesuatu sama kamu,” ucap Raya tiba-tiba. Ia merasa jika dirinya harus menyampaikan ini kepada Ken. “Jangan terlalu mencintai aku, ya, Ken.” Selepas kalimat tersebut terlontarkan, sejenak tak ada balasan dari Ken.

Kenapa, Ray? Apa ada masalah?

Raya bisa mendengar jika nada suara Ken berubah menjadi lesu. “Enggak ada apa-apa, kok,” jawabnya. “Aku cuma gak mau kamu terluka, Ken. Aku gak mau kamu sedih.”

Kenapa aku harus sedih dan terluka, Ray? Aku kan sudah bilang kalau aku beruntung dan bahagia bisa jatuh cinta sama kamu.

“Tapi kita gak tahu takdir bakalan kayak gimana, Ken. Aku cuma takut.” Raya menatap langit-langit kamar dengan pandangan kosong. Mengkhawatirkan masa depan memang hal yang biasa dilakukan semua orang, tapi tetap saja dirinya merasa takut.

Ray, aku paham sama kekhawatiran kamu, tapi satu hal yang harus kamu ingat. Aku bakalan terus jatuh cinta sama kamu, jatuh sedalam-dalamnya. Asalkan kita masih di dunia yang sama, menghirup udara yang sama, itu sudah cukup bagi aku.”

Raya terdiam, tenggelam dengan pikirannya sendiri. Ia tak tahu harus merespon seperti apa jika Ken sudah berkata demikian. Ini terlalu rumit. “Aku capek, Ken. Aku mau istirahat.”

Iya, istirahat yang cukup, ya. Semoga mimpi indah, Sweetheart.”

Raya meletakkan ponselnya di atas nakas, lalu perlahan terisak. Bagaimana jika dirinya memilih untuk tetap ada di posisi sekarang ini, akankah semuanya baik-baik saja? Namun, jika ia mengikuti apa kata hatinya, akankah semua berakhir menjadi lebih baik?

Sebuah notifikasi masuk di ponselnya tak Raya hiraukan. Ia memilih untuk memejamkan mata, beristirahat dari semua permasalahan yang menghampirinya. Berharap setelah ini ia bisa yakin akan apa pun yang dirinya pilih.

===

“Kita kumpul lagi di sini jam 8 tepat. Jangan main terlalu jauh, oke,” terang Bu Ratna. Ia menginstruksikan kepada anak didiknya agar kembali tepat waktu.

“Baik, Bu.”

Semuanya pun berpencar, menikmati sisa waktu sebelum pulang esok hari. Beruntung hari ini ada kegiatan bazar yang terselenggara tak jauh dari tempat Raya dan yang lainnya menginap.

Raya langsung saja menghampiri salah satu stand makanan yang memang sudah dirinya incar sejak tadi. Ia memilih untuk menjelajahi tempat ini sendirian. Bukan karena tak ada yang mengajaknya, tapi ia butuh waktu sendiri. Me-recharge energinya yang terkuras banyak kemaren. “Halo, Kak.”

Hai, Ray. Eh, kamu itu di mana?

Raya yang sedang melakukan video call pun mengubah pengaturan kamera menjadi kamera belakang. Ia putar ponselnya, menunjukkan hampir semua pemandangan yang ada di sekitarnya kepada para kakaknya yang ada di rumah.

Kakak juga pengen ke situ.”

Kekehan Raya terdengar saat melihat Joey merajuk. Jika ada bazar seperti ini, memang kakaknya yang satu ini partner menjelajahnya. “Utututu, kakak Raya yang paling imut ini jangan ngambek, dong. Lain kali kita ke tempat kayak gini, deh. Berdua aja."

Beneran?

Raya mengangguk. Nampak Joey kembali sumringah dan bahkan mengejek kakaknya yang lain karena tidak diajak. Memang mudah membujuk si kakak ‘bayi’ ini. Cukup ajak dia ke tempat yang disukai, atau sogok saja dengan makanan. Sudah pasti mood-nya akan bagus kembali.

Tawa Raya terhenti saat melihat sesuatu. Ia sempat terdiam sebelum akhirnya disadarkan oleh teriakan Naka di seberang sana. “Gak ada apa-apa, kok, Kak,” ucapnya. Meski menjawab demikian, ia tetap melihat ke sekitar, mencari sesuatu yang mengganggunya barusan.

“Raya tutup dulu ya, Kak. Nanti sebelum tidur Raya telpon lagi. Oke.” Raya pun memasukkan ponselnya ke dalam tas. Ia berjalan mengikuti seseorang yang sepertinya dirinya kenal.

“Hana.”

~~•To Be Continued•~~

KlandestinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang