LIMA

5 2 0
                                    

~~•Happy Reading•~~

Raya turun dengan seragam lengkapnya. Ia melihat para kakaknya yang sedang menunggunya. “Hari ini diantar siapa?” tanyanya.

Semua lelaki yang ada di rumah itu mengangkat tangannya. Dari penampilannya, mereka memang sudah terlihat rapi. Raya pun berjalan keluar sambil membawa helm yang dipinjamnya kemarin. Ia sama sekali tak menghiraukan para Kakaknya di belakang.

Mobil Dias pun melaju. Hening, tak ada seorang pun yang berbicara. Sungguh suasana yang sangat aneh.

“Ray,” panggil Joey membuka suara.

“Hmm,” jawab Raya singkat.

“Helm-nya siapa?” tanya Joey sambil melihat helm di pangkuan Raya.

Raya menghela napas. “Cowok kemarin namanya Ken, dia itu ketua kelas. Karena Raya pulang belakangan, dia nawarin tumpangan. Demi menjaga keselamatan, alhasil dia pinjam helm ini buat Raya. Ada yang mau ditanyakan lagi?” terangnya.

Yang lainnya kompak menggeleng. Raut wajah mereka yang sejak kemarin harap-harap cemas, kini sedikit lebih lega. Jujur saja mereka masih belum siap mendengar kabar jika perempuan satu-satunya di keluarga ini memiliki pacar. Mereka hanya tidak ingin Raya mengalami yang namanya patah hati.

Sesampainya di sekolah, Raya langsung berjalan menuju kelasnya. Tak sia-sia ia menjadikan Sena sebagai tour guide-nya kemarin. Buktinya ia sudah ingat sebagian besar denah sekolah ini.

Raya menatap bangku yang ia tempati kemarin. Ia masih tak percaya jika dirinya ada di sekolah baru dan harus melewati fase adaptasi lagi. Jujur ia sedikit lelah menghadapi fase ini, tapi dirinya harus kuat agar kakaknya tak khawatir.

Saat hendak melangkah, Raya merasa bahunya ada yang menepuk. Ia pun berbalik dan langsung berhadapan dengan Ken.

“Helm-nya sudah dikembalikan?” tanya Ken. Raya pun mengangguk.

Ken pun kembali ke kursinya, begitu pula dengan Raya. Tak berselang lama, seseorang duduk di kursi sebelah Raya.

“Oh, lo teman sebangku gue?”

Raya mengangguk. Ia menyodorkan tangannya. “Raya,” ucapnya.

“Imel.”

Raya tersenyum lebar saat melihat teman sebangkunya ini membalas jabat tangannya dengan penuh semangat. Ia merasa bahagia memiliki teman baru sepertinya.

“Pindahan dari mana?” tanya Imel. Ia mengeluarkan kotak bekal dari tasnya.

Raya tak langsung menjawab. Sejujurnya ia tak ingin mendengar pertanyaan ini. Dirinya bersyukur sekali karena kemarin tak ada yang menanyakan hal ini.

“Gak usah tegang kali. Gue tahu lo anak pindahan dari Ken,” ujar Imel sambil menyodorkan sandwich buatan mamanya.

“Terima kasih.”

Imel tak lagi membahas tentang sekolah lama Raya. Ia kini sibuk dengan sarapannya.

“Bagi, dong,” pinta Sena. Ia datang secara tiba-tiba dan langsung mengambil sandwich milik Raya. Ia pun membaginya menjadi dua dan menyuapkan salah satunya ke mulut Raya.

“Dikunyah, Ray,” ucap Sena. “Iya, kayak gitu. Dikunyah sampai halus,” tambahnya saat melihat Raya menuruti ucapannya.

Pandangan Sena kini beralih ke Imel. “Wih, temen sebangku lo si anak Tarzan,” celetuknya.

Raya menatap dua orang di hadapannya yang kini beradu tatap saling meledek. "Anak Tarzan? Si Imel?" batinnya.

“Ah, anak satu ini suka banget naik gunung. Jadinya dia diberi gelar sebagai anak Tarzan,” jelas Sena.

KlandestinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang