~~•Happy Reading•~~
Setelah pulang dari pemakaman Raya, Joey dan Naka nampak langsung masuk ke kamarnya. Begitu pula dengan Wira yang juga menghilang di balik pintu. Mereka sama-sama butuh waktu untuk sendiri.
Melihat Naka yang terduduk di kasurnya, membuat Joey memilih untuk masuk ke kamar mandi. Ia berniat mandi untuk menyegarkan badannya. Namun baru saja air membasahi tubuhnya, air matanya kembali keluar. Ia pukul dadanya berulang kali berharap beban yang ada di sana menghilang.
Bersamaan dengan air yang turun dari shower, tangisannya pun mengalir. Kepergian Raya untuk selama-lamanya menciptakan lubang besar di hatinya. Rasa sedihnya terlampau dalam. Ia tidak bisa membayangkan hari-harinya setelah ini.
Sementara itu, di dalam kamar Naka masih dengan posisinya semula. Duduk di atas kasur, menatap lurus lantai kamarnya. Pikirannya terasa kosong saat ini. Hingga pada akhirnya ia beranjak menuju lemari baju.
Naka mulai mengemasi baju dan beberapa barang ke dalam kopernya. Ia juga berganti baju dengan yang lebih nyaman untuk bepergian. Tanpa berpamitan kepada Joey, ia pergi keluar kamar.
"Naka, mau ke mana?" tanya Mya. Ia baru saja hendak kembali ke kamar Dias dengan segelas air putih di tangannya. Pandangannya beralih ke koper besar di sebelah Naka.
"Kerja," jawab Naka. "Tolong bilangin ke Bang Dias ya, Kak."
"Tapi ...."
Tanpa menunggu jawaban Mya, Naka berlalu pergi meninggalkan rumah. Di depan sudah ada taksi pesanannya. Tujuannya saat ini adalah Bandung, tempat untuk pemotretannya kali ini.
Mya hanya bisa menghela napas pelan. Ia memang belum mengerti kenapa Naka berangkat kerja di suasana seperti ini, tapi dirinya yakin jika adik iparnya itu memiliki alasan.
Setelah memastikan Dias beristirahat, Mya lantas mengecek Rendra, Wira, dan Joey. Tak jauh berbeda dengan kondisi Dias tadi, mereka bertiga hanya duduk diam. Selepas itu, ia kembali ke dapur. Di saat seperti ini ia memang tak bisa berbuat banyak. Membiarkan mereka untuk menenangkan diri mungkin keputusan yang terbaik.
Hari yang beranjak malam membuat Mya berinisiatif membuat bubur untuk semua orang di rumah. Dirinya tadi sempat melihat makanan yang nyaris masih utuh tersaji di atas meja. Ia tahu pasti makanan ini untuk siapa.
Di situasi dan kondisi seperti ini, mereka pasti butuh tenaga dan harus tetap menjaga kesehatan. Namun Mya juga tahu, jangankan untuk menelan makanan, bernapas saja seolah-olah menjadi hal yang berat untuk dilakukan. Ia tadi sempat memberitahu kedua orang tuanya jika dirinya akan menginap di rumah keluarga Wijaya untuk menemani mereka malam ini, dan mereka mengizinkan.
Di tempat yang berbeda, Wira kini sedang duduk di meja belajarnya. Berkutat dengan buku seperti biasanya. Ia fokuskan diri kepada benda itu. Dirinya harus banyak belajar. Janjinya kepada Raya untuk menjadi mahasiswa dengan lulusan terbaik harus ia tepati. Bagaimanapun caranya.
Ajakan Mya untuk makan malam tak Wira hiraukan. Ia tetap terpaku dengan lembaran-lembaran kertas itu. Hingga malam semakin larut pun dirinya tetap pada posisi.
Sebuah cairan merah menetes di bukunya. Ia dengan cepat meraih tisu di sampingnya, mencegah semakin banyaknya darah yang jatuh. Secara perlahan ia pijat pangkal hidungnya dan sesekali naik ke keningnya, berusaha mengurangi rasa pening yang menghampiri.
Setelah darah berhenti keluar, Wira kembali melanjutkan belajarnya. Ia tak mau ambil pusing dengan kejadian mimisan barusan. Hal ini tentunya wajar dan pasti akan dirinya alami ketika sedang belajar dengan keras. Sama seperti perkataan dan tekadnya tadi, tak akan ada seseorang atau sesuatu apapun yang bisa menghalangi dirinya untuk menepati janji.
===
Sepi. Itulah yang dirasakan Sena saat ini. Sekolah yang awalnya menjadi tempat paling menyenangkan karena bisa bertemu dengan Raya, kini berubah menjadi ladang penghasil rindu untuknya.
Jika deraian air mata bisa mengobati kerinduannya, Sena pasti akan memilih menangis untuk waktu yang lama. Namun itu semua hanyalah sesuatu yang sia-sia. Meskipun dirinya menangis hingga lelah, lubang kerinduan di hatinya tak terobati sama sekali.
Seminggu lamanya semenjak tragedi itu, tapi suasana sekolah saat ini tak seramai biasanya. Wajah para siswa SMA Taruna Bangsa masih diselimuti dengan kesedihan karena ditinggal teman serta guru tersayang. Kejadian ini sungguh membuat mereka terpukul. Kegiatan study banding yang awalnya menjadi sesuatu yang istimewa, kini berubah menjadi ingatan yang pilu.
“Sena, kamu beneran mau keluar dari tim basket ini?” tanya Pak Joko. Ia sangat terkejut ketika Sena tiba-tiba hendak berhenti bermain basket, padahal dirinya tahu betul seberapa besar kesukaan siswa didikannya ini terhadap bidang olahraga tersebut.
“Saya merasa sudah tidak bisa bermain basket lagi, Pak. Kalau saya tetap ada di tim ini, saya takut akan menghambat perkembangan tim,” terang Sena. “Saya harap Bapak bisa mengizinkan.”
Ini bukanlah sebuah keputusan yang mudah bagi Sena. Dirinya masih menyukai basket, tapi setiap kali melihat bola berwarna orange tua tersebut pasti akan mengingatkannya kepada Raya. Bayangan ketika bermain basket bersama Raya berputar di otaknya. Ia tak bisa mengenyahkannya begitu saja karena memang Raya-lah yang membuatnya terjun dalam olahraga tersebut.
“Sudah selesai?”
Sena hanya mengangguk pelan. Rupanya Imel menunggunya sejak tadi. Sama seperti dirinya, Imel juga merasakan kesedihan yang teramat dalam. Meskipun baru mengenal Raya selama beberapa bulan, rasa kehilangan Imel juga tak kalah besar.
“Gue kangen dia.”
Semenjak kepergian Raya, tak ada lagi raut wajah bahagia di diri Imel. Suara cerewetnya yang biasa menghiasi, mendadak menghilang. Tak ada lagi Imel si manusia cerewet. Semua tergantikan dengan ekspresi murung dan tak bersemangat.
Sena menggenggam tangan Imel lembut. Meskipun sahabatnya itu tengah tersenyum tipis kepadanya, ia bisa melihat ada kesedihan di matanya.
“Jangan khawatir. Gue gak bakalan nangis. Gue udah capek,” tutur Imel. “Lagipula, dia bakalan marah banget kalau tau gue nangis terus.”
"Ken belum masuk sekolah juga?" tanya Sena. Semenjak kepergian Raya, ia sama sekali belum bertemu dengan Ken. Entah di mana lelaki itu berada.
"Dia berhenti dari sekolah," jawab Imel membuat Sena terkejut. "Tadi orang tuanya ke sini buat ngurusin itu."
Sena masih tak mengerti jalan pikiran Ken. Dulu dia mengaku sangat mencintai Raya, tapi kenyataannya sekarang malah menghilang seolah-olah ditelan bumi. Ken bahkan tak menghadiri pemakaman Raya. Sungguh kurang ajar.
Tangan Sena terkepal erat saat menghadapi fakta itu. Ia berjanji akan memberikan Ken pelajaran karena telah mempermainkan perasaan Raya. Jika tahu akan seperti ini akhirnya, ia pasti tidak akan memberi restu kepada Ken.
"Gue gak tau bakalan kayak gimana ke depannya," ujar Imel. "Sekarang gue terlalu takut untuk membayangkan masa depan."
"Semua pasti bakalan baik-baik aja," ucap Sena.
Baik-baik saja? Dunia pun tertawa ketika mendengar kalimat tersebut keluar dari mulut Sena. Semesta pun tahu bagaimana kesedihannya saat ini. Kalimat tersebut seolah-olah hadir hanya untuk menipu dirinya agar merasa lebih baik.
"Pastinya. Kita memang baik-baik aja," timpal Imel. "Harus."
~~•To Be Continued•~~
KAMU SEDANG MEMBACA
Klandestin
General FictionRahasia. Kau tahu rahasia? Apakah kau ingin kuberi tahu sebuah fakta tentang diksi ini? Faktanya adalah setiap manusia di dunia ini punya yang namanya rahasia. Aku yakin semuanya pasti tahu, tapi masih banyak yang tidak menyadari hal ini. Kemari...