Raket-raket itu mengayun dengan tiada hentinya. Menerjang udara di sekelilingnya dan menimbulkan gaya gesek yang entah berapa besarnya. Belum pernah ada soal fisika yang menanyakan seberapa besar gaya gesek udara dari sebuah raket yang diayunkan.
Mereka mempertahankan lapangan mereka dari jatuhan sebuah kok. Yah, sebuah kok yang terbuat dari potongan gabus, stiker, dan bulu-bulu unggas telah menjadi benda yang ditakuti oleh berbagai pemain badminton di seluruh dunia. Mereka mati-matian mengusir benda itu dan mengusahakannya agar jatuh di lapangan lawan.
Aku sendiri tak tahu mengapa permainan ini begitu menarik. Jutaan orang Indonesia selalu antusias untuk menyaksikan pertandingan ini. Dan kami adalah salah-satunya.
Anak-anak muda yang tanpa kami sadari, telah jatuh cinta kepada bulutangkis. Aku suka mengayunkan raket, mendengarkan bunyi gesekannya dengan udara, dan mendengarkan bunyi kok yang terpukul.
Suara yang bagus menunjukkan pukulan yang bagus…
Aku suka meloncat-loncat di lapangan, berlarian kesana-kemari mengamankan lapanganku dari jatuhan kok.
Sehelai bulu unggas mungkin tiada artinya, tapi beberapa helai yang dirangkai dan disusun, telah membuat ketakutan bahkan para pemain badminton terbaik dunia. Lebih menakutkan daripada jatuhnya bom nuklir barangkali.
Inilah kami ; pemukul kok, pengusir kok, peloncat, pelari, dan sekaligus penakut kok. Kami juga penakut net, karena tak kuasa melanggar batas yang diciptakannya.
Dan memang begitulah permainannya…
Seperti dalam kehidupan ini. Kita takut pada sesuatu yang sebenarnya bukan apa-apa. Pada hal-hal yang tak perlu ditakuti. Seperti takutnya kami pada bulu-bulu unggas dan batas tipis sebuah net.
Kita takut pada batas-batas yang sebenarnya kita ciptakan sendiri. Pada sesuatu yang sebenarnya tidak perlu dikhawatirkan. Kita hanya terbawa dengan permainannya saja.
Bukankah begitu?*
Mading terbaru SMU 19 Yogyakarta telah terbit. Pagi ini, mading memuat berita tentang kemenangan tim badminton sekolah pada pertandingan seleksi tingkat kabupaten.
Seleksi dilakukan selama dua minggu sebelumnya. Mereka yang lolos seleksi akan bertanding di kejuaraan badminton SMU tingkat propinsi.
Banyak murid mengerumuni mading dan membaca berita itu. Warga sekolah semakin bangga pada tim badminton. Mereka memang sedang naik daun belakangan ini setelah sering memenangkan kejuaraan.
SMU 19 bisa dibilang sarat dengan prestasi. Selain tim badminton, tim basket dan tenis sekolah juga patut untuk diperhitungkan. Bahkan tim bola voli yang baru dua tahun dibentuk sudah mampu memborong beberapa piala.
Selain dari cabang olahraga, prestasi juga banyak tertoreh oleh bidang lain. Salah seorang murid kelas dua pernah memenangkan Olimpiade Matematika Internasional. Dan seorang murid kelas tiga memenangkan Olimpiade Komputer.
Tim KIR (Karya Ilmiah Remaja) beberapa kali memenangkan lomba karya tulis ilmiah. English club berkali-kali memenangkan lomba debat Bahasa Inggris. Dan klub kesenian juga tak kalah sering pula membawa pulang piala. Baik dari seni lukis, graffiti, musik, maupun teater.
Namun dari kesemuanya itu, yang paling sering menorehkan prestasi adalah tim tonti (peleton inti) baris-berbaris. Mereka hampir selalu memenangkan lomba baris-berbaris dari tahun ke tahun. Peleton inti adalah legenda turun-temurun sekolah ini.
Anggota mereka pun dianggap sebagai anak emas sekolah. Tidak ada yang lebih dikagumi selain anak-anak tonti. Mereka dianggap paling keren di sekolah.
Tim badminton, belakangan, tidak kurang dari satu tahun telah membelalakkan mata semua orang. Mereka hampir-hampir mengalahkan kepopuleran tim tonti.
“Wah, keren, keren, mereka menang lagi,” komentar salah seorang murid laki-laki setelah membaca berita di mading, “Hebat bener mereka, kita mesti nonton pertandingan propinsinya!”
“Aku paling suka dengan gaya Yogi. Tenang, tapi selalu menang, kapan Yogi pernah kalah? Sekalipun belum pernah lho.” Sahut yang lain.
“Bener, jenius emang dia itu. Dengar-dengar, dia pernah ngalahin Rendi, si ketua tim!”
“Masa sih? Rendi anak kelas dua yang hebat itu, sampai kalah sama Yogi?”
“Aku dengar dari anak-anak badminton sendiri. Mereka pernah bertanding sekali, dulu… dan Rendi kalah!”
“Wah, mereka berdua kelihatan sama-sama kuat, sih.”
“Hei, ngapain kalian ngomongin pemain cowok? Kalau aku sih ngefans sama Mega dan Lia. Mereka yang paling mantap!” potong siswa lain yang mendengarkan obrolan mereka.
“Huh, kamu sih memang playboy! Nggak bisa ngelihat cewek!”
“Eh, mereka memang hebat lho! Dan aku memang belum pernah punya pacar atlit sih. Siapa tahu Mega atau Lia bisa kupacari, he he. Mereka kan cantik. Lebih cocok jadi model daripada atlit.”
Itulah sedikit potongan kekaguman para siswa terhadap tim badminton. Ratusan murid dan puluhan guru di sekolah ini telah menggemari atlit-atlit badminton amatir belia itu. Demam badminton memang sedang menyerang SMU ini.
****
(Bersambung)
KAMU SEDANG MEMBACA
Raket Memori
Teen FictionMega dan Lia adalah pelajar SMA sekaligus pemain bulutangkis yang harus menghadapi peliknya pertandingan, cinta dan kehidupan