Sepulang sekolah, Emi meminta waktu kepada Mega untuk mewawancarainya. Mega menuju taman sekolah dimana Emi sudah menunggunya bersama Rio.
Mega agak terkejut karena Rio juga ada disitu.
“Terimakasih Mega, ayo duduk.” sambut Emi sembari mengajak Mega duduk di bangku taman yang terbuat dari beton.
Rio hanya tersenyum kecil dan mengangguk pada Mega, dan Mega tidak membalasnya.
“Jadi seperti yang aku bilang tadi pagi Mega, kami ingin mewawancaraimu untuk mading dan majalah sekolah.” kata Emi setelah mereka semua duduk.
Emi duduk disamping Mega, sementara Rio duduk di bangku di depan Mega.
Mata Mega untuk beberapa saat memandangi Rio sebelum menjawab kepada Emi, “Hmm, wawancara apa? Aku kan bukan artis, Kak.”
“Bukan artis, tapi atlit. Mega, seisi sekolah penasaran dengan desas-desus pengunduran dirimu dari tim badminton. Apa kamu mau mengatakan alasannya? Kabar yang beredar, kamu hendak pindah sekolah, tapi sebenarnya kamu tidak harus pindah. Apakah itu benar?”
“Darimana kamu dengar itu, Kak?” tanya Mega terkejut.
“Dari omongan orang-orang. Apa itu benar?”
“Apa kalian mau menuliskan ini di majalah sekolah atau apa?”
“Iyah, mading juga.” Jawab Emi.
Tiba-tiba perhatian Mega teralihkan saat Rio menjepretkan kameranya kearah Mega. Meski tidak menggunakan flash, tapi Mega tetap bisa merasakan jepretan itu.
“Kenapa kamu memotretku?” tanya Mega gusar.
“Tentu saja aku memotretmu.” jawab Rio datar, “Kami kan mewawancaraimu.”
Mega terdiam dan menatap kosong ke arah Rio yang terus saja melanjutkan memotret Mega. Pikiran Mega pun segera tidak fokus dan melayang-layang ke masa lalu.
Ia teringat dengan saat-saat berpacaran bersama Rio. Waktu itu, Rio sering sekali memotret Mega. Bahkan mereka berkenalan saat Rio pertama kali meliput pertandingan Mega di awal semester.
Sejak itu, mereka jadi dekat dan berpacaran. Mega teringat semua kenangan itu. Ia ingat bagaimana Rio selalu memotretnya hampir di setiap kesempatan. Dan Mega pun suka sekali dengan hasil jepretan Rio. Ia selalu bersemangat saat Rio memperlihatkan hasilnya.
Tapi itu semua masa lalu, jepretan Rio kembali menghempaskan Mega ke masa sekarang. Ia tiba-tiba tersadar dengan suara Emi.
“Jadi, Mega. Apakah kamu pikir tim badminton bisa memenangkan kejuaraan propinsi jika kamu keluar?”
“A, aku tidak tahu.” Jawab Mega sedikit terbata.
“Apa benar kamu sebenarnya tidak harus pindah? Apa sebenarnya alasan pengunduran dirimu?”
“Sampai kapan kamu mau memotret?!” kata Mega kepada Rio yang masih saja memotretnya.
“Hmm?” jawab Rio mengangkat bahu merasa tak bersalah.
“Rio!” Emi mengingatkan agar Rio berhenti memotret.
“Apa?” jawab Rio lagi-lagi tanpa merasa bersalah.
“Maaf Mega, bisa kita kembali ke wawancara?” tanya Emi.
“Aku harus pulang.” Jawab Mega beranjak dari duduk.
“Tunggu Mega, maaf, maafin Rio.” cegah Emi, “Kami hanya ingin memberi berita pada murid-murid.”
Mega berdiri terdiam. Begitu juga dengan Emi yang ikut berdiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Raket Memori
Teen FictionMega dan Lia adalah pelajar SMA sekaligus pemain bulutangkis yang harus menghadapi peliknya pertandingan, cinta dan kehidupan