Hari-hari Yang Tak Sama Lagi

17 2 0
                                    

Tim badminton SMU 19 mendulang kemenangan demi kemenangan di setiap partai. Siang ini, selepas sekolah, tim akan berlaga di partai final, baik tim putra maupun putri. Sepak terjang Yogi dan Rendi dua hari sebelumnya juga sangat mengesankan meskipun masing-masing bermain tunggal.

Namun dibalik kegemilangan tim itu, ada sisi lain yang dirasakan oleh Mega. Yaitu kekosongan.

Seringkali ia melihat Rio dan Selly tengah berbincang di sela-sela jam istirahat. Kadang itu membuatnya gundah, namun tak ada yang bisa dilakukannya. Mega sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak bersedih lagi mengingat Rio.

Bel berbunyi, para murid kembali masuk ke kelas. Saat menyiapkan buku pelajaran, tiba-tiba selembar foto terjatuh dari tas Mega. Ia memungut foto itu.

Ternyata adalah potret dirinya ketika masih kecil bersama dengan Kak Nisa dan Ari di acara 17 Agustusan. Ia memandangi lama foto penuh kenangan itu. Benaknya kembali teringat pada Ari.

Sosok pria yang ia sukai itu pun kini sudah jauh keberadaannya dan tidak tahu kapan akan kembali lagi. Pak guru memasuki kelas.

Mega agak terkejut dan segera memasukkan foto kedalam tasnya lagi. Ia bahkan tidak ingat jika membawa foto itu ke dalam tas.

*

Kafe Nisa pagi ini cukup ramai. Banyak orang menghabiskan waktu untuk sekedar minum kopi atau sarapan. Nisa juga menyediakan berbagai macam kerupuk sebagai camilan. Ini juga menjadi daya tarik yang cukup unik juga untuk sebuah kafe. Mirip istana kerupuk.

Ada seseorang yang menarik perhatian Nisa pagi ini. Seorang pengunjung pria. Ia datang sendirian dan tampak sedang memainkan komputer tablet. Ia memesan kopi dan serabi.

Didorong rasa penasaran, Nisa mendekati pria yang sedang memainkan aplikasi piano pada komputer tablet. Sesekali pria itu mencatat nada-nada pada kertas dengan serius. Nisa mengamat-amati pria itu dengan cermat.

"Kak Dean?" tanya Nisa menyapa.

Pria itu menoleh pada Nisa, "Ya?"

"Bener ini Kak Dean? Teman Kak Ari?"

"Ehm, yah."

"Teman band Kak Ari kan? Yang main keyboard?"

"Eh, iya. Kok tahu?"

"Masih inget aku nggak Kak? Aku Nisa, teman Kak Ari. Dulu kita ketemu waktu di FKY di Jogja."

Pria yang bernama Dean itu mengernyit sebentar mengamati Nisa, "Oh, iya, iya. Ingat! Dulu kamu yang bersama adikmu itu kan?"

Nisa tersenyum mengangguk dan duduk di hadapan Dean.

"Ngapain kamu di Solo?" tanya Dean antusias, "Gimana kabarnya?"

"Aku yang buka kafe ini, Kak."

"Oh ya? Wow, hebat banget! Ini kafe baru kan ya?"

"Iya Kak."

"Hebat, hebat. Kafe-mu bagus. Ada kafe baru di daerah sini, aku langsung tertarik mampir."

"Makasih Kak. Kakak sendiri ngapain di Solo?"

"Aku sudah lama pindah kesini."

Tiba-tiba datang seorang pria lagi pada mereka, "Sorry agak lama, tadi mampir ambil gitar pesanan dulu!" kata pria itu pada Dean.

"Eh, Ron, inget nggak, ini Nisa, teman Ari dulu!" jawab Dean.

Pria bernama Roni itu memandangi Nisa dan duduk di samping Dean, "Nisa?" jawabnya berusaha mengingat-ingat.

"Iya, teman Ari yang dulu ketemu di FKY itu lho, sama adik-adiknya."

"Oh, iya. Hei, apa kabar? Ngapain di Solo?" Roni menyalami Nisa.

"Baik Kak."

"Dia yang punya kafe ini Ron!" sahut Dean.

"Wow, keren. Lama tak jumpa, tahu-tahu sudah punya kafe nih."

"Kak Roni juga pindah ke Solo?"

"Aku?" Roni mendesah dan menaruh tas, "Yah, sejak band bubar aku dapat pekerjaan jadi intruktur di tempat kursus musik di Solo."

"Tiga tahun, lalu kami berdua bikin kursus musik sendiri," sambung Dean.

"Hebat Kak. Di mana tempat kursusnya?"

"Di Jalan Slamet Riyadi. Cabangnya di Mall juga ada."

"Wah keren dong, terus anggota band yang lain gimana kabarnya?"

"Fendi, si pemain drum sekarang jadi pegawai bank di Jakarta. Irwan, pemain bass sekarang jadi pegawai negeri di Sulawesi," jawab Roni.

"Cuma kami berdua yang masih bertahan di dunia musik," sambung Dean, "Ari sendiri, kamu tahu kan, di Kalimantan."

"Oh, gitu. Asyik dong kerja kalian. Bermusik terus." komentar Nisa.

"Yah, kami juga sering dapat pesanan bikin musik untuk penyanyi, juga untuk ilustrasi film."

"Wow, keren, keren!"

"Tapi kami kurang puas dengan hasilnya, kami butuh seseorang, yaitu Ari!" jawab Dean, "Lihat ini..." ia menunjukkan komputer tablet, "Dari tadi aku bikin nada nggak nemu-nemu juga yang cocok, untuk pekerjaan semacam ini, Ari ahlinya! Kami butuh insting artistiknya!"

"Ohh." komentar Nisa singkat, "Lagu kalian bagus-bagus."

"Ya itu kebanyakan Ari yang ciptakan," jawab Dean.

"Oh iya, aku ingat..." Sela Roni, "Waktu itu, sebelum Ari berangkat ke Kalimantan, kita mampir ke rumah Nisa ini dulu kan?"

"Oh iya," Dean membelakkan mata, "Jadi gimana, sekarang kalian jadi pacaran? Atau kamu malah sudah menikah sama orang lain?"

"Ah, apaan sih? Enggak kok!" jawab Nisa tersenyum menghela.

"Enggak yang mana?" tanya Dean lagi.

"Enggak pacaran dan belum menikah. Kalau kalian sendiri sudah menikah?" jawab Nisa.

"Sudah, aku punya anak satu, Roni nih, sebentar lagi dua. Satu masih di perut!" jawab Dean.

Roni tersenyum kecil, lalu teringat sesuatu, "Aku ingat waktu mengantarkan Ari ke bandara. Kami hampir sampai di bandara, tiba-tiba Ari menyuruh sopir taksi berbalik. Kami kaget dan terheran-heran. Ari bilang, dia harus berpamitan pada seseorang. Kami bingung, siapakah orang itu. Ternyata yang dimaksud itu adalah kamu, tapi waktu itu kamu tidak di rumah, dan malah ada dua adikmu yang berlari-larian menghampiri Ari."

"Iya, iya, aku juga ingat!" sambung Dean.

Nisa tersenyum simpul, "Adikku cuma satu kok, yang satunya lagi temannya."

"Ari sangat kehilangan kamu," lanjut Roni, "Kulihat dia murung dan tak bersemangat saat berangkat ke Kalimantan. Aku merasa kalian ada hubungan khusus. Sampai sekarang, Ari tak pernah punya pacar ataupun menikah."

Nisa tertunduk diam.

"Dulu aku juga berpikir kalian pacaran," tambah Dean.

*

Yogyakarta

Bel pulang sekolah berbunyi. Para murid segera berhamburan keluar. Hanya Mega yang masih tinggal sendirian.

Ia kembali mengeluarkan foto kenangannya bersama Nisa dan Ari dari dalam tas. Ia kembali memandangi foto itu lama.

Tiba-tiba Lia masuk ke kelas Mega dengan ceria, "Ayo Mega! Kamu sudah siap?"

"Oh, i, iya! " jawab Mega terbata sambil memasukkan fotonya.

Lia mendekat kearah Mega dan menggandeng tangannya, "Ini final Mega! Final!"

"Aku tahu." jawab Mega.

****
(Bersambung)

Raket MemoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang