Pagi harinya, Mega dan Lia disambut hangat di sekolah. Dari gerbang hingga menuju ke ruang kelas, murid-murid tersenyum dan menyapa ramah.
“Hai Mega, hai Lia. Selamat ya!” sapa salah seorang murid ketika berpapasan.
“Woi Mega! Lia! Keren deh kemarin!” sapa yang lain, “Terus berjuang!”
Bahkan ketika sampai di selasar kelas, beberapa murid laki-laki yang sedang nongkrong menyoraki keduanya.
“Wei, lihat itu mereka datang!” seru salah seorang siswa.
“Wooeee! Ini mereka pahlawan sekolah kita,” yang lain segera bersorak dan bertepuk tangan, “Keren kalian!”
Mega hanya tersenyum, Lia mengacungkan jempol kepada mereka.
Saat sampai di pintu kelas Mega, mereka berdua dihadang oleh kepala sekolah dan beberapa guru, termasuk Bu Sri.
“Jadi benar?” sambut kepala sekolah, “Kamu kembali, Mega?”
Mega tersenyum mengangguk, “Iya Pak.”
“Selamat datang Mega. Maafkan Bapak!” kepala sekolah menyalami Mega dan Lia.
“Terimakasih Pak,” jawab Mega, “Saya yang minta maaf.”
“Bapak akan berikan beasiswa khusus untuk kamu seperti yang bapak janjikan.”
“Pakai saja dana itu untuk keperluan tim badminton, Pak. Tim lebih membutuhkan dana.”
“Deal! Tapi kalian harus bawa pulang piala!” jawab kepala sekolah tersenyum.
Semua yang mendengarnya tertawa kecil.
Jam pelajaran sudah dimulai. Bu Sri berjalan memasuki kelas Mega. Dan seperti kebiasaannya akhir-akhir ini, dia selalu saja memandang ke arah bangku Mega.
Berhari-hari meja itu selalu kosong. Tapi pagi ini, Bu Sri melihat sosok gadis cantik tersenyum kepadanya. Dia pun membalas senyuman itu.
“Good morning.” sapa Bu Sri setelah sampai di tengah-tengah kelas.
“Good morning, Mam!” jawab seisi kelas.“Well, someone has come back,” kata Bu Sri sambil melirik ke arah Mega.
Seisi kelas pun tersenyum mendengar itu. Hanya Selly yang terdiam memandangi Mega tanpa berkedip.
Mega pun merasa canggung saat menatap Selly yang duduk agak jauh darinya. Perasaan campur aduk pun kembali menyerang Mega.
Sepulang sekolah, Tim Badminton akan segera berangkat menuju ke GOR. Lusi sedang bersiap dan mengambil beberapa barangnya di ruang KIR.
“Mau kemana kamu?” tanya Neni kepada Lusi.
Dia menatap tajam kepada Lusi. Anak-anak KIR yang lain juga ikut menatapnya.
“Ke pertandingan,” jawab Lusi keheranan.
“Ngapain?!”
“Yah, ikut mendukung.”
“Kamu kan sudah didepak?”
“Didepak?”
“Yah, sekonyong-konyong diganti dengan Mega.”
“Ya nggak papa.”
“Kalau begitu kenapa mesti datang ke sana?”
“Karena aku anggota tim.”
“Yang ditendang keluar!” lanjut Neni.
“Hei, jangan bilang gitu. Bagaimanapun juga aku tetap bagian dari tim.”“Kamu kok nggak nyadar sih? Kamu itu cuma pelengkap saja! Setelah ada yang lebih bagus, kamu cuma dibuang begitu saja! Mereka nggak menghargai kamu! Kita saja yang melihat itu merasa sakit hati!”
KAMU SEDANG MEMBACA
Raket Memori
Ficțiune adolescențiMega dan Lia adalah pelajar SMA sekaligus pemain bulutangkis yang harus menghadapi peliknya pertandingan, cinta dan kehidupan