Ari hendak istirahat makan siang di kafetaria gedung tempatnya diklat. Tiba-tiba dilihatnya Nisa berada di kafetaria itu sedang memilih-milih makanan. Ari memandang tak percaya, lalu mendekatinya.
“Eh, Nisa,” sapa Ari.
Nisa menoleh dan terkejut melihat Ari sudah berdiri disampingnya, “Hai kak Ari.”
“Ngapain di sini, Nis?”
“Mau makan. Hehe.”
“Iya tahu, kenapa di sini makannya?” tanya Ari sambil mengambil piring dan nasi. Kafetaria ini menyediakan makanan secara prasmanan. Pembeli mengambil makanannya sendiri.
“Emang nggak boleh? Ini kan kafetaria umum,” jawab Nisa, “Duh, lauk apa ya enaknya?”
“Udang bakarnya lumayan lho.” Ari menunjuk ke arah udang bakar.
“Coba ahh,” Nisa mengambil sebuah udang bakar, “Apalagi ya?”
“Tuh, bakso ikan. Enak juga.”
“Oh ya? Coba juga deh. Hehe,” Nisa sambil mengambil lauk-pauk yang cukup penuh dipiringnya. Tak diduga, porsi makan Nisa ternyata cukup besar.
Mereka lalu duduk di meja yang sama, “Enak, kan?” tanya Ari.
“Iya, pinter kamu Kak milih makanan.”
“Iya dong, sudah beberapa hari makan di tempat yang sama.”
“Wah, coba dulu kalau aku jalan sama kamu Kak. Pasti kamu bisa milih tempat makan yang enak deh.”
Ari tersenyum, “Terus, kenapa dulu kamu nggak mau?”
“He he, nggak papa. Sudah, sudah, jangan dibahas lagi,” jawab Nisa salah tingkah.
Ari terdiam menatap Nisa yang sedang makan dengan lahapnya. Dilihatnya hari ini Nisa begitu cantik. Rambut lurus panjangnya digerai dan pada salah satu sudutnya di jepit dengan penjepit rambut berwarna biru.
“Suka kerupuk, ya kamu?” tanya Ari melihat Nisa memakan kerupuk dengan rakus.
“He he, iya dong. Nggak lengkap makan tanpa kerupuk. Besok di rumah makanku, akan menyediakan banyak kerupuk yang beraneka rasa. Kamu nggak suka kerupuk, Kak?”
“Suka sih, tapi nggak segitunya. Kamu tuh kayak nggak pernah makan kerupuk aja.”
“He he, abis suka sih. Pokoknya, besok rumah makanku akan dipenuhi macam-macam kerupuk.”
“Jadi restoranmu itu restoran kerupuk?”
“Hahaha, pokoknya pelanggan harus puas makan kerupuk,” cerita Nisa antusias, “Ohh, eh, tau nggak Kak? Jadi inget 17-an dulu.”
“Kenapa?”
“Kerupuk-kerupuk. Inget nggak? Lomba makan kerupuk dulu itu, lho?”
“Memangnya kenapa dengan lomba makan kerupuk?”
“Inget nggak waktu itu, si siapa? Yang kecil itu, lho. Temennya Mega.”
“Siapa?” tanya Ari sambil berusaha mengingat-ingat.
“Si Rian apa ya, namanya? Yang anaknya kecil cerewet itu, lho.”
“Oh ya, kenapa?” Ari mengernyitkan dahi, sepertinya dia memang lupa.
“Inget nggak, dia kan ikut lomba makan kerupuk, terus kerupuknya kan lepas dari tali. Padahal kan kerupuknya nggak boleh jatuh dan nggak boleh dipegang. Terus dia nahan kerupuknya biar nggak jatuh sambil dimakan begini nih. Ehhmmm… eehhmm… eehhmmm…”
Nisa memperagakannya dengan memakan kerupuk sambil menengadah dan mulutnya menahan kerupuk supaya tidak jatuh.
“Hahaha, iya, iya inget, lucu banget!” komentar Ari tertawa.
“Hihihi,” Nisa pun juga ikut tertawa lepas, “Aduh, aku baru bentar aja nggak kuat. Padahal dia sampai habis lho, kerupuknya. Hebat bener. Semua yang melihat sampai ngasih tepuk tangan.”
“Wah, kamu masih inget sampai segitunya, Nis?”
“Inget dong! Hi hi. Kan seksi lomba! Hi hi hi.”
“Kalau Mega dulu menang nggak?” tanya Ari.
“Huh, kalau Mega sih, nggak kuat makan. Dia cuma seneng aja ikut-ikutan.”
“Wah, beda banget sama kakaknya dong. Kuat makannya.”
“Yee, sembarangan kamu Kak! Aku biasa aja kok.”
Ari tersenyum senang melihat tingkah Nisa. Lama sekali dia tidak melihat sosok Nisa yang seperti ini. Nisa yang ramah dan ceria.
“Serius, lagi ngapain kamu di sini sendirian, Nis? Nganter Ditya ke gedung sebelah lagi?”
“Ehm? Enggak kok,” jawab Nisa sambil mengunyah makanan, “Bukan di gedung sebelah. Tapi ke gedung ini.”
“Hai.” sapa Ditya yang tiba-tiba datang dari arah belakang Ari.
“Haiii. udah selesai? Makan dulu yuk, sini.” sambut Nisa kepada Ditya.
Ari menoleh ke belakang dan ia melihat Ditya datang.
“Enggak ah, aku belum lapar. Nanti aja sekalian.” Ditya segera duduk di samping Nisa.
“Ini lho Kak. Paman Ditya mau membeli gedung ini. Dia menyuruh Ditya untuk belajar mengurusnya. Tadi barusan ketemu sama manajer gedung di atas,” jelas Nisa kepada Ari.
“Oh, gitu,” komentar Ari tersenyum.
Ditya pun hanya tersenyum mengangguk.“Udangnya enak lho Dit, sana ambil sendiri deh. Masa kamu nggak laper?” tanya Nisa kepada Ditya.
“Nggak, nanti saja. Abis ini kita harus segera ketemu pamanku.”
“Buru-buru amat.” Nisa cemberut dan mengernyitkan dahi.
“Iya, keburu paman mau ke Jakarta. Abisin dulu deh, makannya.”
Ari terdiam memandang mereka berdua. Dia jadi tidak bersemangat melanjutkan makan siang.
****
(Bersambung)
KAMU SEDANG MEMBACA
Raket Memori
Teen FictionMega dan Lia adalah pelajar SMA sekaligus pemain bulutangkis yang harus menghadapi peliknya pertandingan, cinta dan kehidupan