Lusi masih belum juga bisa mengimbangi kemampuan Lia saat mereka mencoba bermain ganda. Kok selalu lolos dari pertahanan mereka berdua.
Anggota tim lainnya memandang Lia dan Lusi dengan putus asa. Mereka pikir, hancurlah besok tim cewek.
Lia pun berkali-kali tak bisa menyembunyikan kekesalannya kepada Lusi. Kok-kok yang seharusnya menjadi bagian Lusi sering kali lolos dan gagal dikembalikan.
Satu set latihan pertama selesai. Para pemain beristirahat sejenak dipinggir lapangan.
Beberapa teman KIR Lusi memanggil Lusi dari sisi lain lapangan. Mereka tampak membawa beberapa catatan.
“Sebentar ya Lia,” pamit Lusi yang segera berlari kecil menghampiri teman-temannya.
“Wah, gimana Lia?” tanya Rendi, si ketua tim. Anggota tim badminton segera bergerombol menghampiri Lia.
“Jangan tanya gimana lagi Ren, jelas mereka ancur banget mainnya. Melawan Silvia dan Riri saja mereka tak bisa apa-apa. Padahal dulu, kalau Lia berpasangan sama Mega bisa menang,” balas Santos, pemain ganda putra dari kelas dua.
“Iya, gimana besok di kejuaraan, ya?” sambung Fahrul, salah seorang anggota tim putra dari kelas tiga.
Rendi menghela. Sementara Lia hanya terdiam memandangi teman-temannya sambil meminum air mineral.
“Rupanya Lia memang tidak berdaya nih tanpa Mega.” Silvia ikut berkomentar, “Padahal kemarin-kemarin, aku dan Riri tak pernah sekalipun menang melawan kamu dan Mega.”
Silvia dan Riri adalah pasangan ganda putri dari kelas dua. Dan memang hanya dua pasangan ganda putri itulah kepunyaan tim sekolah, yaitu ; Silvia – Riri dan Mega – Lia.
“Kira-kira apa ada pasangan lain selain Lusi, ya?” tanya Silvia lagi.
“Kamu ini gimana, sih? Sudah jelas Lusi itu yang paling lumayan dibanding yang lain.” Jawab Santos.
“Iya, Yuli dan Vita bagus mainnya, tapi mereka kan main tunggal. Besok juga turun di pertandingan. Sementara anggota klub yang lain masih belajar. Memang cuma Lusi lah harapan terakhir kita.” Sambung Damar, pemain ganda pasangan Santos.
“Mega tega banget sih, ninggalin kita.” keluh Santos.
“Kita nggak bisa apa-apa lagi. Pertandingan sudah dekat, dan kita tidak punya pilihan lain. Bagaimanapun juga Lusi harus kita latih mati-matian.” Kata Rendi.
“Yah, tapi melihat kemampuannya, sampai mati pun Lusi tak akan bisa bermain bagus,” kata Fahrul, “Lihat saja tuh teman-temannya. Dia bukan atlit, dia itu ilmuwan. Bakatnya di laboratorium, bukan di lapangan.”
Dari jauh, terlihat Lusi sedang berdiskusi dengan teman-temannya sambil melihat-lihat catatan yang mereka bawa. Sepertinya itu adalah catatan percobaan mereka.
“Iya sih,” sambung Damar, “Lusi itu terlahir bukan untuk badminton. Tidak bisa dipaksakan!”
“Sudah, jangan begitu, Mar!” Santos menyela, “Ganda Lia dan Lusi memang kayaknya tidak ada harapan menang. Tapi kita itung-itung saja untuk sekedar menyenangkan si Lusi. Anggap saja beri kesempatan kepadanya untuk mengenal dunia lain. Biar matanya tidak melulu memandang laboratorium. Kan kasihan tuh? Haha. Sekali-kali kasih kesempatan agar dia merasakan dunia olahraga, hahaha.”
Komentar Santos itu mendapat tawa dari Damar. Mereka berdua memang sering bercanda keterlaluan. Anggota tim lain hanya tersenyum. Sedangkan Lia memandang tajam ke arah mereka.
“Untung saja dia belum berkacamata seperti teman-temannya yang lain. Hahaha,” tambah Santos.
Mendengar itu membuat Lia semakin kesal. Meski Lusi adalah pasangan barunya dan masih payah, namun bukan berarti bisa dijadikan bahan lelucon.
KAMU SEDANG MEMBACA
Raket Memori
Fiksi RemajaMega dan Lia adalah pelajar SMA sekaligus pemain bulutangkis yang harus menghadapi peliknya pertandingan, cinta dan kehidupan