Malam harinya Lia menelpon rumah Mega dan diangkat oleh ibunya,
“Mega ada, Tante?” tanya Lia.
“Mega baru mandi, tuh. Dari tadi sore dia tidur dikamar, sampai malam-malam gini belum mandi.”
“Oh, kecapean mungkin ya? Eh Tante, kapan mau pindah ke Solo? Kata Mega minggu depan ya?”
“Iya, minggu depan. Tapi sebenarnya Mega nggak usah pindah juga nggak papa. Dia bisa menyelesaikan SMU di sini. Dia bisa tinggal dirumah pamannya yang di Jogja. Tapi dia nggak mau. Dia mau buru-buru pindah.”
“Kenapa Mega nggak mau menyelesaikan SMU di sini Tante?”
“Nggak tahu. Mega akhir-akhir ini agak aneh. Tante justru mau nanya ke kamu Lia, apa Mega lagi ada masalah di sekolah? Kenapa dia pengin sekali cepet-cepet pindah? Dia nggak pernah cerita apapun sama tante. Padahal sebenarnya dia nggak perlu pindah. Besok mau kuliah di Jogja pun juga nggak papa. Kan pamannya ada satu yang di Jogja.”
“Jadi sebenarnya Mega nggak harus ikut pindah ke Solo, Tante?”
“Mega itu dari kecil hidup di Jogja. Dan kamu tahu, dari kecil, dia selalu kami kekang. Sekarang sudah saatnya dia bisa kami lepas untuk mandiri. Sebenarnya kami justru ingin dia tinggal di Jogja saja. Biar belajar mandiri."
"Lagi pula kehidupannya kan sudah melekat di Jogja," lanjutnya, "dan dia juga sudah berteman dengan kamu sejak kecil. Kalian kan pasangan badminton yang bagus. Kami tak ingin memisahkan kalian. Kami ingin kalian tetap meneruskan badminton. Kalian berdua ini kan berbakat.”
Lia hanya terdiam mendengar itu.
“Tapi Mega bersikeras pindah. Padahal sekolah yang dipilihnya di Solo nanti tidak ada klub badminton. Mega bilang, dia akan berhenti bermain badminton. Itu yang sangat tante sayangkan. Kalau ikut pindah ke Solo sih masih mending, tapi kalau berhenti dari badminton kan sayang banget, menyia-nyiakan bakatnya.”
“Wah, Mega mau berhenti main badminton?! Kenapa Tante?!”
“Tante nggak tahu. Kamu tolong bujuk dia ya, biar dia mau tetap tinggal di Jogja, atau biar nggak berhenti bermain badminton. Sayang banget, kan?”
Mega keluar dari kamar mandi dengan mengusap-ngusap rambutnya yang masih basah sehabis keramas.
“Ohh, itu Mega udah selesai mandi, kamu tolong bujuk dia ya, Lia?”
“Siapa Bu?” tanya Mega.
“Ini, Lia,” jawab ibu Mega sambil menyerahkan pesawat telpon.
“Halo,” sapa Mega setelah menerima telpon.
Lia terdiam dan tidak berkata apapun.
“Halo Lia… Lia…. kok diem?”
*
Lia belum juga menemukan pasangan yang cocok saat latihan badminton. Semua pemain tim sudah dicoba, namun tidak ada yang sepadan. Ekstrakurikuler badminton mempunyai tiga puluh anggota. Tapi kebanyakan diantara mereka masih belajar.
Hanya sedikit saja yang punya kemampuan bagus. Dan yang sedikit itulah yang masuk ke dalam tim inti.
Rendi semakin pusing dengan keadaan ini.Salah seorang anggota tim putra berkata, “Wah, kayaknya tim putri besok bisa ancur nih.”
“Huff, nggak tahu deh. Pusing aku. Kayaknya selama ini kita terlalu bergantung pada Mega. Saat dia nggak bisa ikut, kita jadi kelabakan mencari penggantinya.”
“Kayaknya si Lusi tuh yang paling lumayan.” Komentar salah seorang.
“Anak kelas 1.6 itu ya? Menurutku juga begitu.” jawab Rendi, “Tapi tetap saja kemampuannya belum bisa mengimbangi Lia.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Raket Memori
Teen FictionMega dan Lia adalah pelajar SMA sekaligus pemain bulutangkis yang harus menghadapi peliknya pertandingan, cinta dan kehidupan