Yogi dan Lia segera pamit pulang. Sementara Ari dan Nisa berjalan-jalan di trotoar sekitar rumah Nisa. Jalan itu memang lumayan ramai meski disekelilingnya masih banyak terhampar sawah.
“Jadi Mega belum cerita, ya?” tanya Ari.
“Belum sama sekali. Baru tahu sekarang aku kalau Kak Ari ada di Jogja,” jawab Nisa, “Kok nggak sms sih, kalau mau pulang Kak?”
“Yah, kamu kan lama nggak pernah balas sms-ku. Aku kira kamu sudah lupa caranya SMS-an.”
“He he he,” Nisa tertawa kecil.
“Ngomong-ngomong, baru sekarang ini ya kita bisa jalan berdua?”
Nisa tertawa mendengar itu, “Ha ha ha!”
“Dulu kamu nggak pernah mau kalau aku ajak jalan.”
“He he he,” kembali Nisa hanya tertawa kecil.
“Kamu selalu buat alasan, aku masih anak sekolah Kak. Nggak boleh keluar malem. Padahal sebelumnya kan kamu juga sering keluar malem dengan mantan pacarmu dulu.”
“Yah, he he he. Jangan inget-inget yang dulu dong Kak, aku kan malu.”
“Gimana kabarmu Nisa? Udah lulus kuliah? Udah kerja?”
“Emmh. Udah lulus kok, setahun yang lalu. Kemarin aku sempat kerja di perusahaan es krim, tapi sekarang udah keluar.”
“Keluar? Kenapa? Kamu dulu kuliah jurusan apa? Ekonomi ya?”
“Manajemen Kak. Aku keluar karena mau buka rumah makan sendiri di Solo. Kan sekalian keluarga juga mau pindah ke Solo.”
“Oh gitu. Trus kapan nikah nih? Atau jangan-jangan sudah?”
“Ha ha ha. Ya doain aja ya, Kak. Mungkin tahun ini.”
“Oh ya?” tanya Ari kaget. Mereka berhenti melangkah, “Dengan siapa? Sama aku ya? He he.”
“He he he. Dengan temen kuliah Kak. Dia juga asli Solo.”
“Ohh…” komentar Ari pendek dan lesu.
“Kalau kamu kapan Kak? Atau jangan-jangan udah nikah di Kalimantan nih?”
“Hah? Aku belum kok.”
“Masa sih?”
“Iya, bener. Abis kamunya malah mau nikah sama orang lain.”
Nisa hanya tersenyum.
“Tadi ada apaan sih, Kak? Kok pada rame-rame ke rumah? Ada masalah dengan Mega?” Nisa kembali melanjutkan langkah.
“Emm, yah, awalnya sih kita lagi membujuk Mega.”
“Membujuk apa? Masalah badminton itu ya?”
“Iya.”
“Mega itu susah anaknya. Sejak kecil selalu keras kepala. Kalau menginginkan sesuatu pasti akan diraih dengan segala cara, tapi kalau menolak sesuatu, tak akan bisa dibujuk dengan cara apapun.”
“Wah, persis kakaknya dong.”
“Yee, enggak lah!”
“Kamu dulu menolakku dengan segala cara.”
Nisa tersenyum, “Sudahlah Kak, jangan bahas masalah itu lagi. Ini kita kan sudah jalan berdua. Itu kan yang kamu inginkan sejak dulu, Kak?”
“Yah, iya sih, jalan berdua, tapi kondisinya kan lain, sekarang kamu sudah jadi milik orang lain, sebentar lagi mau nikah pula.”
“Jangan gitu ahh, Kak.”
Keduanya terdiam beberapa saat sambil berjalan.
“Jadi inget waktu 17-an dulu ya Nis? Abis aku tinggal itu gimana? Masih seru nggak acara 17-an tahun-tahun berikutnya?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Raket Memori
Teen FictionMega dan Lia adalah pelajar SMA sekaligus pemain bulutangkis yang harus menghadapi peliknya pertandingan, cinta dan kehidupan