GOR Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), pukul 09:00 WIB. Acara kejuaraan propinsi akan segera dimulai. Kejuaraan berlangsung selama tiga hari. Wakil dari SMU empat kabupaten dan satu kotamadya di Yogyakarta siap bertanding.
Masing-masing wilayah diwakili oleh beberapa sekolah yang lolos seleksi.
Tampak di ruang atlit para pemain sedang bersiap-siap.Lia sedang melakukan pemanasan kecil bersama anggota tim yang lain. Dia sedari tadi terlihat gelisah. Lusi pun juga tidak kalah gelisah.
“Kenapa Lia? Tegang sekali kamu?” tanya Yogi melihat gelagat Lia.
“Ahh, enggak kok,” jawabnya.
“Kamu akan melawan tim dari Bantul di babak penyisihan, ya?” tanya Yogi lagi.
“Iya, awal yang bagus!” keluh Lia cemberut, “Hmm, yang mengundi siapa sih? Pinter banget deh!”
“Sudah, main seperti biasanya aja.” Yogi berusaha menenangkan Lia.
Tiba-tiba ada suara yang menyapa Lia dari arah belakangnya, “Halo Lia, apa kabar?”
Lia segera menoleh ke belakang dan dia sangat terkejut dengan orang yang dilihatnya.
“Ehh, halo Pak Dedi,” balas Lia kaget, “Kok Bapak di sini? Jadi Juri, Pak?”
“Tidak, aku jadi pelatih,” jawab Pak Dedi sambil menunjuk ke arah rombongan tim badminton, “SMU Bantul.”
“Hah? Mereka?!” Lia kaget tak percaya.
“Iya, Tim Sekolah Bantul. Aku jadi pelatih di sana sekarang.”
“Hah?! Bapak melatih di sana?! Sudah nggak melatih di klub lagi?!”
“Aku juga masih melatih di klub. Tapi sekolah itu meminta bantuan Bapak.”
“Oh, begitu,” komentar Lia dengan nyali yang semakin ciut.
“Aku tahu, kamu pasti akan muncul di kejuaraan sebesar ini. Aku sudah menunggu-nunggu kamu,” kata Pak Dedi lagi.
Lia hanya tersenyum kecil.
“Mana Mega?”
“Dia tidak ikut bertanding. Dia pindah ke Solo, Pak.”
“Oh ya? Pantas aku tadi lihat daftarnya, pasangan kamu bukan Mega. Kamu akan melawan tim sekolah Bantul kan, di babak penyisihan?”
“Iya Pak.”
“Wah, sayang sekali. Padahal aku ingin melihat kamu bertanding dengan Mega. Aku ingin lihat atlit berbakat didikanku beraksi. Kamu dan Mega.”
Lia kembali hanya tersenyum kecil.
“Yah, bapak berharap, semoga jadi pertandingan seru.”Lia hanya menjawab dengan anggukkan dan senyuman. Pak Dedi kembali ke tim-nya. Lia berdiri terdiam memandangi mantan pelatihnya itu berjalan menuju ke rombongan Tim Bantul.
Wah, keadaan bertambah bagus saja, pikir Lia panik, sudah ditinggal Mega, sekarang Pak Dedi malah menjadi pelatih Tim Bantul. Pantas saja tim mereka jadi hebat.
Melihat Lia yang semakin gelisah, Lusi pun jadi semakin tegang, “Gimana nih, Lia? Itu tadi pelatihmu dulu, ya? Ternyata dia yang melatih Tim Bantul ya, sekarang?”
“Tenang aja, Lusi,” Lia berusaha menenangkan Lusi, padahal dirinya sendiri merasa panik.
Tiba-tiba Lia melihat seorang gadis yang berlari-lari menuju ruang atlit. Seorang gadis yang membawa sebuah tas olahraga. Dan seolah-olah tak percaya dengan apa yang dilihatnya, tapi sosok itu memanglah Mega! Lia melotot kaget.
KAMU SEDANG MEMBACA
Raket Memori
Teen FictionMega dan Lia adalah pelajar SMA sekaligus pemain bulutangkis yang harus menghadapi peliknya pertandingan, cinta dan kehidupan