Puput sedang duduk termenung di pinggir sungai. Terdengar langkah seseorang mendekatinya, “Hei, Put! Aku tunggu kok nggak datang-datang?”
Puput pun menoleh ke belakang dan tersenyum, “Eh Mega, maaf, aku nggak datang ke rumah nenek.”
Mega segera duduk di samping Puput sambil mengatur nafasnya, “Kenapa? Ada apa? Apa yang kamu lakukan di sini? Memancing juga enggak. Aku telpon, kok nomormu nggak aktif?”
“Kamu nanya banyak sekali Mega. Kamu sudah hafal jalan ke sini?”
“Iya, sudah hafal. Aku tungguin kamu nggak datang-datang. Nomormu juga nggak aktif. Jadi aku lari kesini. Ternyata bener kamu ada di sini. Ngapain sih?”
“Aku ingin berhenti berlari Mega.” jawab Puput menatap sungai.
“Berhenti berlari? Jadi kamu nggak akan berlari lagi?”
“Tadi di sekolah, seperti biasa, aku diledek teman-teman.”
“Seperti biasanya?”
“Biasanya, aku hanya lari jika diledek. Tapi siang tadi benar-benar tidak biasa.”
“Kenapa?”
“Aku tidak berlari, tapi memukul mereka.”
“Memukul mereka?!”
“Yaah,” Puput menghela nafas, “Mereka mengatai ibuku. Mereka bilang, ibuku memang lebih baik selingkuh dan mati, daripada harus hidup dengan suami dan anak stress.”
“Wah, kebangetan!” jawab Mega.
“Aku pikir aku akan dilaporkan ke polisi gara-gara memukul mereka. Lalu dipenjara,” Puput mendesah, “Aku berpikir, aku harus lari secepatnya, sejauh-jauhnya. Ingin aku segera berlari ke terminal ataupun stasiun kereta dan pergi jauh. Tapi tidak kulakukan. Aku tetap di sana memandangi teman-temanku ketakutan karena kupukul. Aku tidak boleh berlari lagi.”
Mega masih mengatur nafasnya, “Lalu gimana?”
“Aku diskors kepala sekolah selama tiga hari.”
“Huff, untunglah. Kayaknya berlebihan deh kalau sampai dilaporkan ke polisi. Mereka teman-temanmu itu yang jahat, sudah sepantasnya mereka diberi pelajaran.”
“Ha ha ha, aku nggak tahu apa tindakanku itu benar atau salah. Yang jelas aku sudah berani untuk berhenti berlari.”
Mega memandang Puput dalam lalu memeluknya, “Tenang saja Puput, masih ada aku disini kok. Mereka pasti tidak akan mengganggumu lagi.”
“Iya, terima kasih Mega.”
“Jadi apa yang akan kamu lakukan selama tiga hari?”
“Nggak tahu. Mungkin aku akan membantu bapak dengan menjual topeng. Untuk menambah-nambah pemasukan.”
“Oke, aku akan bantu Put. Toh aku juga masih jadi pengangguran. Kita jual saja di toko nenek.”
“Sebagian sudah dijual di sana. Tapi cuma laku sedikit.”
“Ohh gitu, ya? Kayaknya aku juga pernah lihat topeng yang dibuat bapakmu di sana. Jadi mau dijual dimana? Jangan bilang kalau mau kamu jual keliling rumah ke-rumah, lho!”
“Yah. Aku juga nggak tahu mau dijual kemana.” Puput menggaruk-garuk kepalanya.
Mega lalu tersenyum aneh pada Puput. Rupanya ia memiliki sebuah ide.
*
Pagi itu, Puput sedang menjemur cucian di samping rumah. Hari ini dia tidak masuk sekolah karena diskors.
Tiba-tiba datang dua mobil minivan ke halaman rumahnya. Puput melongok ke arah mobil-mobil itu.
Sungguh aneh sekali ada mobil yang datang ke sini. Apa mereka mau nanya alamat? Atau kesasar? Pikir Puput.
KAMU SEDANG MEMBACA
Raket Memori
Fiksi RemajaMega dan Lia adalah pelajar SMA sekaligus pemain bulutangkis yang harus menghadapi peliknya pertandingan, cinta dan kehidupan