Pertaruhan Lama

26 4 2
                                    

Para pemain hendak pulang setelah pertandingan selesai. SMU 19 memenangkan pertandingan final baik putra maupun putri.

Mereka menjadi juara umum. Mega cukup kaget ketika ia berjalan keluar GOR. Dilihatnya sosok Ari sedang berdiri tersenyum.

“Apa yang kamu lakukan di sini, Kak?” tanya Mega tercengang.

“Aku menonton pertandingan kalian tadi. Pertandingan final tak mungkin aku lewatkan. Selamat ya. Kalian memang hebat!”

“Kenapa kamu di Jogja, Kak?” tanya Mega masih tak mengerti.

“Hmm, aku sudah memikirkan kata-katamu Mega,” jawab Ari mendesah, “Setibanya di Kalimantan, aku langsung mengundurkan diri dari pekerjaanku.”

“Ha?”

“Sekarang aku kembali ke Jogja.”

“Ta, tapi kenapa Kak?”

“Disana aku hanya punya uang dan kebosanan. Disini aku punya segalanya. Dan aku tak ingin kehilangan lagi.”

Mega tersenyum lebar. Ia sungguh senang sekali dengan kembalinya Ari, “Terus, jadi pengangguran dong Kak?”

“Hmm, yah. Katanya teman-teman punya pekerjaan untukku dibidang musik. Mereka butuh aku.”

“Oh ya? Waah, keren Kak!”

Ari hanya tersenyum.

“Terimakasih sudah kembali Kak. Aku benar-benar tidak menyangka!”

“Jadi kamu sudah memaafkanku, Mega?”

“Memaafkan kenapa? Aku nggak pernah marah kok.”

Ari pun memeluk dan mengusap-usap kepala Mega. Keduanya tampak senang sekali.

“Tapi kamu masih punya hutang lho. Katanya mau bertanding denganku kalau aku kembali?”

“Mau coba, Kak?” tanya Mega tak acuh, “Kalau kalah, kamu harus jadi pacarku lho!”

“Boleh juga!”

Mega sedikit terkejut, “Kamu sudah siap jadi pacarku, Kak? Sudah nggak suka Kak Nisa lagi? Kamu tidak akan mungkin menang melawan aku!”

Ari berdiri, “Wah, mentang-mentang baru menang pertandingan propinsi, terus kepedean nih! Kamu meremehkan kemampuanku Mega! Pinjamkan aku raket!”

Mega tersenyum mencibir.

“Ayo, kita selesaikan pertandingan kita Mega!” tantang Ari.

“Sudahlah, Kak. Jangan main-main! Kamu seperti anak kecil saja!” elak Mega sambil tersenyum.

“Dan kamu selalu ingin cepat dewasa!”

Mega menggelengkan kepala sambil tertawa geli, “Biarin!”

“Kenapa? Kamu takut Mega?”

Mega yang telah mengalami semua kisah sampai sekarang, merasa begitu antipati dengan kata ‘takut’. Ia menjawab dengan sinar mata serius (namun tetap saja kelihatan imut),

“Baiklah, kamu yang memaksa Kak.”

Mega mengajak Ari memasuki GOR. Saat ini GOR sedang dibersihkan, tapi lapangan sudah tak dipakai. Mega membuka tas raketnya dan memberikan satu raket pada Ari, “Ingat lho, kalau aku menang kamu harus jadi pacarku Kak!”

“Bagaimana kalau aku yang menang?”

Mega terdiam sejenak, “Terserah apa maumu Kak.”

Mega memakai raket dari kakeknya seperti yang ia pakai selama kejuaraan propinsi berlangsung. Mereka pun bertanding, tapi tidak serius. Mega tertawa cekikikan sepanjang permainan melihat tingkah lucu Ari yang berlarian kesana-kemari menghadapi serangan Mega.

“Andai aku bisa melakukan ini lima tahun yang lalu!” seru Mega gemas sambil tertawa.

“Melakukan apa? Aku belum kalah!”

Tapi berulang kali Ari kebobolan. Bahkan beberapa smash mengenai tubuh Ari.

“Hei, itu curang!”

Mega hanya tertawa semakin kencang.

Sementara di luar GOR, Lia dan Yogi celingukan karena Mega tiba-tiba menghilang. Lia menelpon Mega tapi tak diangkat karena Mega sedang sibuk bertanding.

Mereka pun mencari-cari dan menemukan Mega di dalam GOR. Mereka terkejut melihat pertandingan antara Mega dan Ari.

Mereka mendekat untuk menonton. Ini pasti jadi pertandingan yang menarik, pikir mereka. Sebuah penyelesaian pertandingan lima tahun yang lalu.

Ari terhuyung-huyung saat harus mengejar salah satu drop shot Mega. Ia tak mampu menangkis dan malah terjatuh. Mega tertawa. Ari duduk kecapaian di tengah lapangan.

“Haduh, haduh!” kata Ari mengatur nafas.

Mega mendekati Ari dan duduk disampingnya, “Tampaknya kamu kalah sebelum pertandingan selesai, Kak!”

“Oh ya? Sampai poin berapa ini?”

“17 – 0!”

“Aku dapat 17?”

“Itu aku!”

Ari menggeleng-gelengkan kepala, “Kamu hebat Mega, aku akui itu. Smash-mu yang terakhir benar-benar mengecohku!”

“Itu bukan smash, tapi drop shot.”

“Yah, apalah namanya itu. Kamu keren deh.”

Mega tersenyum geli. Lalu ia mendesah dan memandang ke atap GOR, “Lima tahun yang lalu, aku sangat berambisi untuk bisa mengalahkan kamu Kak. Tapi sekarang, rasa-rasanya itu sesuatu yang konyol.”

“Maafkan aku Mega. Itu salahku. Aku seharusnya tidak pernah menantangmu bertanding dulu. Itu sangat konyol.”

“Tidak apa-apa, Kak. Aku justru berterimakasih. Kalau aku tidak kalah waktu itu, mungkin aku tak akan bisa menang hari ini.”

Ari tersenyum bangga mendengar itu. Mega memang sepertinya sudah beranjak dewasa.

“Terimakasih sudah pernah mengalahkanku, Kak!” lanjut Mega.

Ari tersenyum dan mengusap-usap kepala Mega. Lia dan Yogi tersenyum puas dengan akhir pertandingan yang berlangsung aneh ini.

*

Hari berikutnya di Solo
Nisa yang sedang sibuk di kafe tiba-tiba ia dikejutkan dengan kedatangan Mega.

Ia tidak sendirian, tapi bersama Ari dan Lia. Nisa pun tersenyum menyambut mereka, “Hmm, kayaknya ada yang mau minta makan gratis nih! Kafeku dirampok!”

“Pesan serabi Kak!” kata Mega, “Dan Kak Ari pesan hatimu! Ha ha ha.”

Nisa melotot gemas pada adiknya.

“Adikmu memang nakal!” kata Ari.

Mega tersenyum dan menarik tangan Lia untuk mencari meja. Membiarkan Ari dan Nisa berbincang.

“Hei, Nisa,” Sapa Ari.

“Kenapa kamu kembali ke sini, Kak?” balas Nisa.

Ari sedikit menggeleng, “Hmm, berusaha menundukkan gadis yang keras kepala.”

Nisa pun spontan tertawa kecil yang diikuti oleh Ari. Mereka lalu mulai berbincang lepas seolah dua hati itu telah menemukan sesuatu untuk ditambatkan.

Mega dan Lia duduk memandangi mereka dari jauh.

“Katanya kalau Kak Ari kalah, dia harus jadi pacarmu?” tanya Lia tak mengerti.

“Dia menang!” jawab Mega.

“He? Maksudnya?”

“Dia menang dengan kembali kemari!”

****
(Bersambung)

Raket MemoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang