Bab 10

3.6K 121 1
                                    

Mobil Abhizar berhenti didepan gerbang rumah mewah bercat abu abu. Membunyikan klakson dan menunggu sampai pintu gerbang dibuka oleh sekurity. Setelah gerbang didepannya terbuka, mobil Abhizar melesak masuk dan terparkir dihalaman luas rumah mewah tersebut.

Abhizar terdiam didalam mobil. Memperhatikan rumah mewah bergaya klasik tersebut. Rumah ini memiliki banyak kenangan bagi Abhizar. Kenangan indah dan juga kelam.

Abhizar sebenarnya tidak pernah ingin datang kerumah ini lagi bila mengingat seberapa kerasnya dulu dia ingin keluar dari rumah ini. Tapi, demi Zahra, siang ini Abhizar terpaksa menginjakkan kakinya lagi untuk yang ketiga kalinya dirumah tersebut. Rumah milik Zaki Albirru, lelaki yang memiliki paras hampir serupa dengan Abhizar, yang tidak lain adalah Papa Abhizar.

Setelah terdiam di dalam mobil untuk beberapa saat. Abhizar keluar dari mobil, dan melangkah menuju pintu utama. Memencet tombol bel, dan menunggu respon dari sang penghuni rumah.

Jujur, Abhizar selalu sedikit gemetar jika harus menginjakkan kaki dirumah ini lagi. Masih ada sedikit rasa takut yang bersemayam didalam diri Abhizar. Karena di rumah mewah inilah, tempat Abhizar mendapatkan kasih sayang dan juga kekerasaan.

Saat bayangan masa lalunya melintas dipikiran Abhizar, pintu didepannya mulai tersibak. Menampakkan wanita berusia setengah abad yang langsung berbinar saat menatap Abhizar. Binar itu memiliki kehangatan yang tulus didalamnya, sama dengan milik ibu kandungnya. Wajah wanita ini masih terlihat cantik meski sudah mulai termakan oleh usia.

Wanita inilah yang selalu melindungi Abhizar sejak sang mama meninggal dunia 21 tahun yang lalu, saat Abhizar berusia 8 tahun. Wanita didepannya ini adalah sahabat baik almarhumah mamanya, menikah dengan sang papa lima bulan setelah kematian sang mama. Awalnya Abhizar benci pada ibu sambungnya, karena Abhizar menganggap wanita itu telah mengkhianati mamanya. Tapi, tidak bisa dipungkiri bahwa Abhizar bersyukur akan kehadiran wanita itu yang selalu melindunginya.

“Abhizar” Tanpa sadar memeluk Abhizar “Ya Allah nak, kamu datang” Sambung wanita bernama Mita tersebut.

Abhizar selalu merasa nyaman dipeluk wanita ini. Mungkin karena sejak sang mama meninggal, wanita inilah yang selalu ada untuk Abhizar. Membela dan melindungi Abhizar dari sang papa.

Melepas rengkuhannya yang tidak mendapat balasan, Mita berucap.
“Ayo masuk Zar” Membimbing sang anak tiri untuk masuk dan duduk diruang tamu.

“Kebetulan kamu datang. Tante tadi habis buat cookies. Kamu masih suka cookies kan?”

Ada binar harap dalam tatapan itu. Tidak ingin membuat wanita didepannya kecewa, Abhizar hanya mengangguk. Dulu, untuk dapat meredakan tangis Abhizar yang menangis usai mendapat cambukan ikat pinggang atau pukulan dari sang papa. Ibu sambungnya selalu membuatkannya cookies. Rasa manis dari coklat dan chokochips pada makanan tersebut ternyata berhasil membuat Abhizar kecil lupa akan rasa sakitnya, meski hanya bersifat sementara.

Senang dengan respon Abhizar, wanita itu lantas meminta Abhizar untuk menunggu sebentar. Sementara dia melangkah menuju dapur dan kembali lagi dengan dua toples kaca berisi cookies, tidak lupa segelas jus jeruk dingin.

“Ayo dimakan Zar” Ucap Mita setelah membukakan tutup toples dan mengarahkannya pada Abhizar.

Dari dulu, wanita ini selalu memperlakukan Abhizar dengan sangat baik, menganggapnya seperti anaknya sendiri. Abhizar bahkan tidak bisa lupa dengan deras air mata wanita ini yang menangisi Abhizar yang memilih keluar dari bangunan mewah milik sang papa tersebut.

Abhizar mulai memakan cookies buatan ibu sambungnya. Rasanya tidak pernah berubah. Manis tapi tidak terlalu manis, takarannya begitu pas. Abhizar menatap wajah ibu sambungnya, wanita itu tersenyum hangat padanya. Entah Abhizar salah lihat, tapi mata wanita itu sedikit berkaca, ada tatapan rindu didalamnya. Saat Abhizar ingin bertanya, tiba-tiba ada suara tawa yang membuatnya menelan tanya.

“Besok-besok kita main sepatu loda lagi ya pa?” Suara lelaki dewasa dengan nada cadel itu bertanya.

“Ah papa nggak mau ah. Nanti Uwais jatuh lagi kayak tadi. Beruntung kaki Uwais nggak berdarah” Jawab yang lain dengan suara lelaki dewasa bernada lembut penuh kasih sayang. Layaknya berbicara pada anak usia lima tahun.

Berdiri dari tempat duduknya, Abhizar lantas berbalik. Melihat dua orang lelaki dewasa namun berbeda usia yang memasuki rumah.

Pandangan Abhizar mengarah pada lelaki paruh baya yang memiliki tubuh besar sama seperti dirinya. Zaki Albirru. Lelaki berdarah Arab-Hawai yang merupakan ayah kandung Abhizar. Tubuh lelaki itu tegap, meski tidak setegap Abhizar, mengingat usianya yang sudah tidak muda lagi. Mata mereka bertemu, mata yang juga sama-sama memiliki tatapan tajam.

Kemudian Abhizar menoleh pada sosok pemuda disamping lelaki paruh baya itu. Pemuda berusia 24 tahun dengan sweater abu itu cemberut dengan wajah menunduk, karena mendengar jawaban sang papa.

Namun, saat wajah itu mendongak dan menemukan sosok Abhizar berada diruangan yang sama dengannya, seketika ronanya berubah menjadi binar gembira.

“Abhi” Dengan senyuman lebar pemuda tersebut berucap, disertai nada seperti anak kecil. Dalam hidup Abhizar, hanya ada dua orang yang memanggilnya dengan panggilan itu. Pertama mamanya dan kedua pemuda ini, Uwais Albirru, adik Abhizar.

Saat melihat perawakan pemuda itu, orang mungkin berpikir tidak ada yang salah. Terlebih pemuda itu memiliki wajah yang tampan.

Jika rupa Abhizar menyerupai sang papa yang bertubuh tinggi besar dan berwajah sangar. Uwais memiliki rupa seperti Jihan, sang mama, yang bertubuh standart, tidak besar dan tidak kecil serta berwajah ceria.

Namun, orang akan berpikir berbeda jika sudah mendengar pemuda itu berbicara. Cara bicara pemuda 24 tahun itu cadel, persis seperti anak berusia 5 tahun. Hal itu disebabkan karena kecelakaan yang menimpanya 21 tahun lalu. Kecelakaan yang juga merenggut nyawa sang mama.

Benturan keras pada kepala pemuda itu saat berusia 3 tahun, membuatnya mengalami gegar otak. Sehingga berdampak buruk pada tumbuh kembangnya yang mengalami penurunan. Menjadikan sosok Uwais yang seharusnya bersikap seperti pemuda dewasa, justru bersikap seperti balita.

Berlari kearah Abhizar, Uwais memeluk tubuh tinggi besar milik saudaranya itu. Tubuh Abhizar hanya terdiam kaku, tidak memberikan balasan.

“Abhi kenapa jalang pulang? Uwais kangen sama Abhi. Abhi malah sama Uwais?” Dengan tangan yang melingkari pinggang Abhizar, wajah polos itu mendongak memperlihatkan raut sendu.

Abhizar hanya diam, menatap wajah sang adik dengan datar. Bencikah Abhizar pada Uwais? Jawabannya tentu saja tidak. Mereka saudara, terlahir dari rahim wanita yang sama, terlebih wajah Uwais yang menuruni sang mama. Jadi bagaimana bisa Abhizar membenci Uwais, disaat wajah itu sangat mirip dengan milik sang mama.

Hanya saja, sikap Abhizar karena ulah sang papa yang dari dulu melarangnya untuk dekat dengan Uwais. Menurut Zaki Albirru, Abhizar adalah penyebab kecelakaan itu terjadi. Yang mengakibatkan terenggutnya nyawa sang istri dan membuat anak keduanya menjadi cacat.

Flashback

Waktu itu, Zaki Albirru sedang pergi dinas keluar kota meninggalkan istri dan kedua anaknya bersama para pekerja dirumahnya. Abhizar yang berusia 8 tahun merasa bosan hanya diam dirumah saja. Biasanya saat Zaki ada dirumah, papanya itu akan mengajaknya untuk bermain bola.

“Abhi, kenapa dari tadi mama lihat kamu diam aja?” Ucap Jihan yang sejak tadi memperhatikan anak sulungnya.

Aku yang kau paksa hancurTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang