1. Seruan Bangkit

198 23 2
                                    

Zaya, kamu anak hebat, jangan gampang ngeluh, ya.

_zedn

Sinar mentari menilik dari celah gorden yang sedikit terbuka nampak menyilaukan pandangan seorang gadis yang tengah meringkuk dalam selimut tebalnya. Hawa dingin membuatnya enggan melakukan apapun. Dia juga sedikit menggigil pagi ini, suhu tubuhnya pun tidak bisa dibilang normal. Mazaya demam karena memaksakan diri untuk menerobos hujan malam tadi.

"Zaya!!! Kenapa kamu tidak turun untuk makan?" teriak Saputra--Ayah Mazaya.

Mazaya ingin menjawab tapi tidak bisa, dirinya terlalu lemah untuk sekedar membuka mulut. "Mazaya!! Kamu masih tidur jam segini? Mazaya, bangun!!" gertak Saputra dengan nada lantang yang membuat tubuh Mazaya sedikit terguncang kaget.

Suara tapak langkah terburu-buru mendatangi pintu berwarna putih itu. Disana pria dengan seragam lengkap khas pegawai negeri telah sigap dengan segelas air putih ditangannya. "Mazaya! Bangun!!" teriaknya diambang pintu.

"Maaf, Yah, Zaya lagi enggak enak badan." Lirih Mazaya dengan setitik air mata yang turun di pipinya, terasa panas.

"Kenapa tidak bilang daritadi? Ayah sudah bilang jangan sampai telat turun untuk sarapan, apa kakimu sudah tidak berfungsi, hah?" Saputra mendekat ke arah putri satu-satunya itu, lalu tanpa rasa kasihan dirinya menumpahkan air dalam gelas yang dibawanya tadi.

Mazaya tentu terjingkat kaget lalu dengan terpaksa duduk untuk menstabilkan rasa terkejutnya. Kenapa Ayahnya tega? "Salah Zaya apa, Yah?" lirih Mazaya.

"Salah kamu karena membuat Ayah menunggu lama, dan semalam kamu pulang terlalu larut, itu hukuman untuk anak bandel sepertimu." Ujar Saputra dengan keras tanpa kelembutan sedikitpun.

Zaya kangen ibu, batin Mazaya.

"Hari ini kamu bersihkan rumah, jangan mentang-mentang libur sekolah kamu bisa seenaknya tiduran seolah kamu sakit. Bapak tidak bisa dibohongi, Zaya." Kata Saputra lalu meninggalkan kamar putrinya dan menutup pintu dengan keras.

"Kenapa Ayah giniin Zaya, salah Zaya apa, Yah?" lirih Mazaya.

Dengan langkah terseok-seok gadis itu menuruni satu persatu anak tangga yang nampak curam dimata Mazaya, kepala gadis itu sangat berdenyut tapi dia menganggapnya akan hilang jika dia memberikan rumah.

Disini Mazaya hanya tinggal bersama Ayahnya yang keras kepala dan tidak bisa dibantah. Ayahnya dulu sangat menyayangi Mazaya tapi satu kejadian dimana Mazaya telah lahir, rasa sayang itu kian memudar. Saputra ingin anak laki-laki tapi perempuan-lah yang telah dilahirkan oleh mendiang istrinya. Ibu Mazaya meninggal setelah dua hari kelahiran Mazaya, dan selama masa kecil Mazaya diasuh oleh neneknya.

Prang, tar,

"Arkhh, Ya Allah, sakit banget." Gadis itu mengusap jarinya yang mengeluarkan darah karena terkena serpihan piring yang baru saja jatuh dari tangannya.

"Zaya? Saputra?" panggil seseorang dari pintu utama rumah.

Wanita paruh baya itu terjejut melihat darah dijari telunjuk Mazaya. Gadis yang sedang berjongkok itu terkejut melihat sepasang sepatu yang tak asing dimatanya. Itu neneknya. Mazaya cepat-cepat membawa tangannya ke belakang badan. "Ah-eh nenek? Kapan kesini? Kok Zaya nggak denger suara nenek tadi?" tanya Mazaya dengan gugup.

KEPADA NUELLA [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang