16. Mazaya Ngerepotin, Ya?

21 6 0
                                    

Sehari, dua hari, itu bukan waktu yang lama untuk melupakan sebuah luka. Aku, tentu butuh ribuan menit hanya untuk menghilangkan rasa usapan tanganmu di kepalaku.

_zedn

"Baiklah, untuk anak-anak yang belum mengumpulkan tugas Informatika, ada Nabila, Putra, Fanisa, Rere, Nayda, Akbar, dan Zidan. Bapak tunggu sampai hari senin besok, tidak mengumpulkan tidak akan mendapat nilai." Pak Gio pamit usai mengabsen nama anak-anak yang mempunyai hutang tugas padanya.

"Tuh, Ngeb, kemarin ngerecokin aku terus. Kamunya aja belum ngumpulin!" Mazaya menatap sengit Nabila, temannya satu ini memang seperti itu. Sering membuatnya emosi tanpa mau meminta maaf.

"Idih, biarin dong. Yang penting, aku nggak pernah absen pas pelajarannya Pak Gio." Sahut Nabila tak kalah sengit. Mungkin jika keduanya digambarkan, sudah ada serangan bertubi-tubi melalui tatapan mereka.

"Idih, hadir terus nggak bakalan ngerubah nasib. Karena bukan cuma kehadiran doang yang dijadiin patokan, nilai kamu juga jadi pertimbangan, Ngeb!!!"

Mazaya yang sudah jengah memilih untuk menumpuk kedua lengannya, memejamkan mata sejenak tidak ada salahnya.

Baru saja akan mengambil sebuah mimpi, dirinya dikejutkan dengan sesuatu yang membasahi lengannya. Mazaya kira, dia ngiler, tapi ini berwarna merah. Itu darah, bukan iler. Mazaya semakin menenggelamkan kepalanya dan tangan satunya sibuk merogoh laci untuk mencari tissu yang selalu dia bawa.

Sudah sepuluh lembar tissu digunakan oleh Mazaya, tapi darah itu tidak kunjung berhenti. Mazaya panik, tapi dia juga tidak mau merepotkan teman-temannya.

zya ;

Daff, ke kls.
aku mimisan,
drhnya gamau brhnti.

Tak butuh waktu lama untuk pesan itu terkirim kepada Daffa, lalu dengan sigap Daffa meninggalkan ruang OSIS menuju kelasnya. Dia panik melihat Mazaya sudah terisak di mejanya dengan darah yang tak kunjung berhenti. Untung saja semua siswa sedang beristirahat di kantin, hanya menyisakan Mazaya dengan pilunya.

"Kenapa? Kok bisa keluar banyak banget, sih? Kamu jedukin ke meja??" Daffa sedikit bergurau untuk menghilangkan gugup pada dirinya sendiri juga berharap isakan Mazaya berangsur mereda.

"Aku nggak tahu, Daff. Keluar gitu aja, aku harus gimana??"

Biarkan Mazaya terlihat lemah dimata Daffa, karena gadis itu sudah berikrar pada dirinya sendiri, bahwa Daffa adalah sosok kedua yang berhak mendapat ruang di hatinya seusai kehilangan Hizam.

"Ke rumah sakit, ya? Aku takut kamu kenapa-napa." Daffa yang hendak membawa Mazaya dalam gendongannya berhenti kala Mazaya menahannya dengan gelengan kepala.

"Aku nggak mau ketemu dokter, aku nggak suka."

Daffa menghela napas lalu turut andil membersihkan darah dari hidung Mazaya, "terus maunya gimana?"

"Mama Ghina," sahut Mazaya.

Laki-laki tampan itu menatap Mazaya lekat, apakah gadis itu serius. "Yaudah ayo, Mama selalu ada buat kamu."

Mazaya menunduk dalam dengan isakan yang masih tersisa, "tapi aku takut ngerepotin. Mama Ghina udah baik banget sama aku."

Daffa menggeleng seragam mengusap kepala Mazaya yang tertutup hijab seragamnya. "Mama, nggak pernah keberatan, justru Mama seneng ada seseorang yang bener-bener butuh sama dia. Mama itu pahlawan, bukan cuma buat aku, sekarang dia juga pahlawan kamu."

KEPADA NUELLA [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang