20. Daffa Harus Ikhlas, Ya.

22 9 0
                                    

Semesta, Zaya mau rehat dulu.

_zedn

Hizam menatap tubuh Mazaya yang terbaring lemah di kasur Daffa. Setelah dua minggu dirawat di Singapura, Mazaya meminta pada Ghina untuk membawanya pulang. Meskipun berbagai pengobatannya belum selesai, Mazaya terus saja membujuk Ghina agar membawanya pulang.

"Maafin Hizam, Tan, baru bisa pulang ke Indonesia pas keadaan Mazaya udah drop banget." Hizam menggenggam tangan Ghina, meminta maaf dengan setulus nya.

Ghina mengangguk, "iya, Zam. Kita berdoa semoga keadaan Mazaya cepet pulih."

Pintu kamar terbuka menampilkan Daffa yang acakadut dengan seragam sekolahnya yang sudah kumuh. Bahkan ada noda tanah di bagian lengannya.

"Daff? Kok kotor semua? Habis dari mana?" tanya Ghina seraya menyentuh lengan baju Daffa.

Daffa tergagap, dia bodoh, kenapa tidak melepaskan baju seragamnya sebelum masuk kamar. "Em, eh-itu tadi jatuh dari motor, Ma."

Maafin Daffa bohong, Ya Allah. Kalo Daffa bilang abis tawuran pasti Mama marah. Batin Daffa.

"Yaudah sana bersih-bersih dulu,"

-abj-

"Daff, kangen senja." Mazaya yang nampak sudah segar itu membujuk Daffa agar membawanya menemui senja.

"Emang udah nggak pusing lagi, hm?" tanya Daffa seraya mengusap surai Mazaya yang mulai menipis.

Mazaya menggeleng, "ayo, Daff."

Daffa membawa Mazaya dalam gendongannya lalu berjalan ke taman belakang rumah yang ditanami banyak bunga oleh Ghina. Selain memberikan kesegaran pada penikmatnya, tanaman dan bunga itu ditanam karena hobi Ghina.

"Awww, cantik banget dari sini." Mazaya terkagum dengan pemandangan langit jingga yang menawan. Benar-benar terlihat gagah di ujung barat.

"Cantik, kayak kamu, sayang." Laki-laki itu memejamkan mata menikmati angin yang baru saja berhembus. "Maaf ya, belum bisa lihat senja dipantai. Keadaan kamu belum terlalu memungkinkan buat perjalanan kesana."

Mazaya mengangguk, "iya, nggak apa-apa. Disini juga udah cantik banget."

Daffa tersenyum, guratan ketampanan bak Dewa Yunani terpahat jelas diwajahnya. Mata biru, warna rambut hitam kecoklatan, juga mata sipit yang selalu menatapnya teduh.

Mazaya tidak pernah tahu jika Daffa takut kehilangannya, Daffa terlalu takut akan ditinggal oleh gadis kesayangannya itu. Hingga, laki-laki itu memilih untuk bungkam dan selalu mengupayakan yang terbaik untuk Mazaya. Sebesar itu rasa sayang Daffa pada Mazaya.

Daffa mendudukkan Mazaya di kursi putih yang menatap ke gaung langit barat, kursi yang siap menerima senja dan malam secara sukarela dan tanpa pamrih.

"Zaya," panggil Daffa. Mazaya yang merasa dipanggil itu menoleh dengan raut bertanya. "Kamu nggak bakalan ninggalin aku, kan?"

Mazaya tertegun, tapi sedetik kemudian dia tersenyum seraya mengusap pipi tirus milik Daffa. "Zaya usahain, ya, Daffa ikutan berdo'a."

KEPADA NUELLA [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang