10. Make Measure

22 8 0
                                    

#Tandai_yang_typo

Suasana tenang tidak akan di dapat tanpa tarik napas.
_zedn

*
*
*
*

Mazaya mengerjapkan kedua mata kecilnya, mencoba untuk menstabilkan cahaya yang menusuk matanya. Kepalanya sedikit berdenyut nyeri, tapi gadis itu mengabaikannya seolah tak ada apa-apa. Hanya sedikit, nanti juga sembuh. Begitu pikirnya.

"Huufff, nggak boleh nangis, Zaya, kamu harus melihat bagaimana tadi kamu kejer. Sekarang penuh senyuman dan semuanya akan baik-baik aja." Kata Mazaya pada dirinya sendiri. Dia bertekad akan mengurangi air matanya, semuanya demi sang Ayah. Mazaya ingin Ayahnya pergi dengan tenang.

"Dek, udah ditungguin Daffa dibawah tuh." Kata Erlangga dari luar pintu kamar Mazaya.

"Iya, Bang, bentar lagi Zaya turun." Sahut Mazaya tanpa beralih dari kasurnya.

Kaki Mazaya memijak lantai yang dingin dengan sedikit bergetar, nyatanya tubuhnya memang tidak kuat jika harus kehujanan selama bermenit-menit lamanya. Mungkin besok dia akan demam, sudah bisa dipastikan.

"Geter gini besok bisa sekolah nggak ya?" gumam Mazaya seraya membawa langkah menuju kamar mandi. Dia ingin mencuci mukanya sekejap, mungkin untuk menghilangkan penat yang masih tersisa di tubuh.

Cermin di depannya adalah bukti kecantikan naturalnya, tanpa polesan make up sedikitpun. Mazaya terlahir cantik, dengan rambutnya yang tebal dan bibir merahnya yang masih kentara hingga beranjak remaja. Jangan lupakan matanya yang sipit seperti orang Korea.

Gambaran dirinya nampak terpahat sempurna dihadapan cermin. Mazaya menatapnya dalam, meresapi keheningan yang tercipta seusai dirinya mematikan air yang mengalir itu. "Ayah? Zaya gimana?" gumamnya penuh kesedihan.

Jika Mazaya diberi pilihan antara tetap tinggal atau pergi bersama Ayahnya, maka gadis itu akan dengan cepat menjawab ikut Ayahnya. Karena segalak-galaknya sangat Ayah, tetap ada rasa sayang yang besar dibaliknya. Mazaya rindu Ayah.

Air matanya kembali menuruni pipi, "hey, kamu kok turun sih. Aku nggak nyuruh kamu turun." Ujarnya lirih kepada air mata lalu mengusapnya pelan.

Pintu kamar mandinya diketuk oleh seseorang bersamaan dengan panggilan dari suara yang sangat dikenalinya. "Zaya? Kamu aman?" tanyanya.

Itu Hizam, batin Mazaya.

"Zaya, kamu di dalem, kan?" tanya Hizam lagi. Tetap saja Mazaya tidak ingin berbicara sedikitpun dengan pria itu. Hizam membuat Mazaya kecewa berat.

"Zaya, maafin aku." Tutur Hizam dari luar pintu.

Mazaya menarik napas panjang, sekarang ia tidak ingin terlihat lemah di hadapan Hizam. "Iya, Izam keluar dulu ya. Nanti Zaya susul di bawah." Sahut Mazaya menahan getaran di bibirnya.

"Tapi kamu baik-baik aja, kan, Zaya?" tanya Hizam lagi.

"Iya," Mazaya menggeleng pelan untuk menguatkan dirinya sendiri bahwa tanpa Hizam dia juga bisa menjadi perempuan kuat.

-(abj)-

"Oh, jadi Mazaya lagi marah sama kamu." Kata Erlangga seraya meneguk teh angetnya. Hawa dingin menyelimuti malam ini dengan iringan hujan deras di luar sana. Hizam dan Daffa duduk bersebelahan tanpa merasa canggung. Sedangkan Erlangga duduk di single sofa bak Raja yang memutuskan perkara. "Terus kenapa nggak kamu jelasin sejak Mazaya lihat? Itu adik kamu, nggak bakalan Mazaya overthinking gini, kan."

KEPADA NUELLA [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang