Sekarang, bukan lagi tentang perasaan. Semuanya hanya tersisa waktu yang harus dimanfaatkan untuk menggapai asa.
_zedn
Ghina mengamati Daffa yang terduduk lemas di samping Mazaya, melihat prihatin pada keadaan gadis itu. "Semesternya udah selesai, Daff?"
Daffa mengangguk, "katanya Mama mau bawa Mazaya ke Singapura, kapan?"
Ghina mengangguk, "iya, besok kita berangkat."
"Kalo Mazaya nggak mau gimana, Ma?" Daffa berpikir pasti Mazaya akan menolak, gadis itu tidak ingin merepotkan Mamanya.
Ghina mengelus lengan putranya, "nanti Mama yang bilang. Ini semua buat kebaikan dia, Daff."
"Tapi, Ma, kan Mama udah tahu gimana sifatnya Mazaya yang keras kepala. Daffa takut nanti berakibat sama kesehatan mentalnya kalo dipaksain." Daffa masih menyanggah Mamanya, masih berpikir kenapa Mamanya keukeh akan membawa gadis itu ke negara orang.
"Mama lakuin demi kebaikan Mazaya, Daff. Mama sayang sama Mazaya."
"Yaudah, terserah Mama." Daffa meninggalkan dua perempuan itu dengan langkah berat. Mazaya, keadaan gadis itu semakin hari semakin menurun. Bahkan kelenjar-nya sudah membengkak semenjak seminggu yang lalu. Gadis itu mulai tidak masuk sekolah semenjak dua minggu lalu.
Daffa duduk lesu menatap kosong pojokan kamarnya, air matanya turun dengan derasnya. Kenapa laki-laki itu menjadi cengeng semenjak melihat keadaan Mazaya yang melemah?
"Zaya, aku tahu kamu kuat, kamu harus nurut sama Mama. Semuanya buat kebaikan kamu, sayang. Kalo kamu tahu aku nangis gini pasti kamu ejek, daff nangis, jelek banget." Daffa tertawa, bagaimana Mazaya mengejeknya nanti sudah terlintas dipikirannya. Suara Mazaya yang cempreng, dan lagaknya yang sok jagoan. Semuanya, Daffa merindukan yang menjadi ciri Mazaya. Daffa rindu Mazaya yang ceria.
Sehari setelah panggilan video dengan Hizam, keadaan Mazaya mulai melemah. Pikiran gadis itu tidak pernah fokus, bahkan sejak saat itu Mazaya lebih sering melamun.
"Zaya, aku sayang banget sama kamu."
-abj-
Bau obat-obatan menusuk indra penciuman Mazaya, gadis itu mengerjapkan matanya menyesuaikan dengan cahaya yang masuk ke dalam irisnya. "Daff," panggilnya pada Daffa yang sedang bermain ponsel di sampingnya.
"Iya, kenapa, sayang?" tanya Daffa lembut, laki-laki itu mengusap kepala Mazaya yang tertutup hijabnya.
Mazaya mengedarkan pandangan ke sekitarnya, kenapa nampak asing. Catnya berbeda dengan rumah sakit yang dulu ditempatinya. "Ini dikamar siapa, Daff? Kok Bahasa Inggris semua."
"Kamu, di sini sama aku." Daffa terkekeh dengan leluconnya yang mampu membuat Mazaya meliriknya kesal.
"Ih, aku seriusan."
"Aku lebih serius. Aku sayang sama kamu, cepet sembuh ya, cantiknya Daff."
Pintu terbuka menampilkan Ghina yang menenteng dua paper bag yang berisi kebutuhan Mazaya selama di rumah sakit. "Mazaya, alhamdulillah udah bangun."
KAMU SEDANG MEMBACA
KEPADA NUELLA [TAMAT]
Teen FictionSimpan saja rasanya Teruntuk bulan yang tak selalu membersamai bintang, Mazaya tidak kuat sendirian. Teruntuk Hizam, terimakasih waktunya untuk mendewasakan Mazaya. Kepada Semesta, sampaikan rindunya Mazaya pada ketenangan. Kepada Daffa dan kebai...